Banyak cinta seorang remaja yang dianggap hanya sebuah permainan perasaan sesaat. Namun, kali ini berbeda alurnya. Karena ini adalah cinta yang dalam.
•••••
Naya sengaja menggunakan tabungannya hanya untuk menggunakan taksi menuju rumah Arland. Pikirannya sedang tidak normal. Naya sangat takut jika sesuatu terjadi pada cowok itu.
Bahkan, Naya lupa membawa jaket milik Arland yang padahal cowok itu sudah meminta Naya membawanya.
Sebuah rumah besar bernuansa keemasan menyambut Naya ketika ia baru turun dari taksi. Naya menyamai alamat yang Arland kirimkan dengan tulisan yang ada di tembok pagar rumah mewah itu. Cocok.
Naya langsung menghampiri pagar, mencari tombol bel di sekitar sana. Beberapa kali Naya menekan bel yang membuat seorang wanita paruh baya keluar dari pintu garasi. Naya yakin itu adalah Mbok Ijah yang sering disebut-sebut Arland.
"Iya, ada apa?" tanya Mbok Ijah dengan ramah. Wanita tua itu berdiri di balik pagar, belum membuka gerbang besar yang menghalangi pandangannya.
"Ini bener rumahnya Arland?"
"Iya, bener, Non," jawab Mbok Ijah sambil mengangguk.
"Tadi saya di telpon sama Arland ...," ucap Naya terpotong.
"Oh, Non Naya, ya?" Sontak wajah Mbok Ijah berbinar bak menemukan cabai murah di pasar.
Naya mengernyit. Di detik berikutnya ia mengangguki saja karena sekarang rasa cemas masih bergelut di hatinya.
"Masuk, Non, masuk." Mbok Ijah membukakan gerbang besar itu dengan tenaga seadanya. Seharusnya ada satpam di rumah ini, tapi bisa jadi Pak Satpam sedang ke toilet.
Gerbang itu sudah terbuka. Mbok Ijah menggiring Naya masuk melewati pintu utama yang tinggi itu. Pandangan Naya mulai beredar ke sekeliling ruang tamu yang kelap-kelip karena warna benda-benda di sana dominan gold.
"Sebentar, ya, Non. Mbok panggilkan dulu den Arlandnya," ujar Mbok Ijah yang diangguki Naya. Wanita tua itu pun melenggang dari posisinya.
Tidak memerlukan waktu yang lama Naya menunggu, cowok itu muncul. Naya bangkit dengan cepat dan menelisik seluruh tubuh Arland dari atas sampai bawah.
"Kamu gapapa?" tanyanya dengan nada khawatir. Yang ditanya justru senyam-senyum dengan kedua tangan di dalam saku celananya.
"Naik apa ke sini?" tanya cowok itu terlalu santai. Keadaan Arland sekarang jauh dari kata kalau dia tidak baik-baik saja. Langkahnya mendekat ke arah Naya.
"Arland, aku serius. Tadi di telpon kamu bilang kalo kamu ...." Belum sempat Naya melanjutkan kecemasannya, Arland sudah menarik tangan kecil itu untuk ia bawa bersama langkahnya. Menuju sisi rumah ini lebih dalam.
Naya semakin bingung. Dengan tergesa-gesa ia datang ke sini, tapi sekarang cowok itu justru menghadapkannya dengan sebulat kue cokelat yang sudah tersaji sedemikian rupa di atas meja makan.
"Kue cokelat? Buat apa?" Naya mencari wajah cowok itu. Ia sungguh tidak mengerti arti kue di depannya.
"Bantuin gue habisin kue cokelat ini," jawab Arland lebih terdengar seperti sebuah perintah.
Naya bergeming. Ia masih memandangi kue cokelat itu, sampai Arland menarik kursi di dekatnya dan menahan kedua bahu Naya agar duduk di sana.
"Gue nyuruh lo ke sini karena gue mau lo bantuin gue habisin kue cokelat ini," ulang Arland lebih menegaskan lagi kalimatnya.
Naya masih membisu. Lalu Arland memotong kue cokelat itu, meletakkannya di piring kecil yang sudah tersusun rapi, dan memberikannya ke Naya.
"Cobain deh," suruh cowok itu.
Naya memandang kue cokelat, lalu berpindah ke Arland. Dengan kikuk Naya mulai mengambil sendok kecil di sebelah kue cokelat, memotong kecil kue itu, dan menyantapnya pelan-pelan.
"Gimana? Enak?"
"Aku lupa bawa jaketnya." Naya mengeluarkan suaranya. Ia masih mengunyah kue di dalam mulutnya.
"Soal jaket, gue bisa ambil kapan aja. Sekarang kasih tau gue, enak apa enggak kuenya?"
Bisa dibayangkan sebesar apa rasa suka Naya ke Arland. Seharusnya Naya berhak marah karena tindakan Arland yang berbeda dengan ucapannya di telepon tadi membuat sekujur tubuh Naya nyaris mendidih karena saking khawatirnya. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Naya hanya menerima saja apa yang dilakukan cowok itu. Bahkan, Naya terhanyut dengan situasi di mana ia bisa sangat dekat dengan Arland. Naya berada di tempat tinggal cowok itu.
Mungkin baru sekarang Naya benar-benar sadar di mana dirinya berada.
"Kuenya enak." Kue yang sudah hancur itu tertelan perlahan ke dalam tenggorokan Naya.
Arland tersenyum. Entah sengaja atau tidak, tangannya terulur menggapai puncak kepala Naya dan mengacaknya lembut.
"Maaf udah bikin lo khawatir lagi. Gue nggak tau gimana caranya biar lo mau ke sini dan bantuin gue makan kue cokelat ini," ucap Arland. Membuat Naya menghentikan pergerakannya. Matanya bertubrukan dengan Arland yang duduk di sebelahnya.
Suara batuk nyaring mengalihkan pandangan keduanya. Arland dan Naya sama-sama menoleh ke asal suara tersebut.
"Ngapain?" tanya Arland pada Gary yang hendak berjalan ke arahnya. Sepertinya Gary terkejut melihat Naya yang tengah duduk di ruang makan rumah ini. Karena pintu terbuka begitu saja, jadilah Gary langsung melangkah masuk.
"Gue mau nganterin bahan tugas dari Pak Sugeng. Sorry, kalo gue ganggu. Gue pulang aja deh," jawab Gary merasa salah tingkah sendiri. Ia hendak berbalik tapi panggilan Arland menghentikannya.
"Sini, sini. Mana tugasnya?"
Gary menghampiri meja makan. Lalu meletakkan sebuah klipik tebal di sana. Lantas Arland menyambar kliping itu dan membukanya. Sedangkan Gary tengah memandangi Naya yang masih setia memakan kue cokelatnya.
"Lo udah lama, Nay, di sini?" tanya Gary.
"Naya baru dateng," jawab Arland sambil membolak-balikkan kliping itu.
"Yang gue tanya Naya, bukan monyetnya," cetus Gary.
"Monyet?" Kening Naya berkerut.