Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #15

Harian Ke-14 / Guru Privat

Hidup bukan hanya sekadar berjuang untuk bertahan. Tetapi rasa ikhlas harus ada ketika perjuangan tidak berakhir dengan baik.

•••••

Setelah menitip pesan singkat ke teman sekelasnya untuk disampaikan pada Riani, Naya bergegas keluar gedung sekolah agar Riani tidak bisa menghadangnya dan mengajak Naya pulang bersama. Ada yang perlu Naya lakukan hari ini. Hal itu tidak bisa Naya lakukan jika Riani di dekatnya.

Naya menyeka keringatnya yang mulai turun dari pelipisnya. Cuaca kali ini sedang tidak bersahabat dengannya. Apalagi Naya bingung apa yang ingin ia lakukan demi mendapatkan uang guna membeli obatnya yang akan habis. Naya terus bergulat habis-habisan dengan pikirannya. Tidak tahu harus melakukan apa, tetapi Naya harus melakukan sesuatu. Ambigu rasanya.

Yang bisa Naya lakukan sekarang justru berdiam diri di halte bus dekat gedung sekolahnya. Ia duduk tanpa tahu kemana tujuannya. Sampai ketika pandangannya berkeliling, ada sebuah pamflet yang tertempel di tiang halte paling ujung. Naya bangkit hendak menghampiri lebih dekat tiang itu. Membaca baik-baik isi di pamflet dengan warna dasar putih yang sepertinya baru dipasang beberapa jam lalu kalau dilihat lembarannya yang masih bersih, rapi, dan tidak lecek.

Dibutuhkan guru privat untuk anak kelas 3 smp yang akan menghadapi persiapan Ujian Nasional.

Fee : 250.000/minggu

Waktu : Bisa disesuaikan nanti

Segera, Naya mencopot lembaran itu agar orang lain tidak dapat membacanya. Berharap kalau dirinya yang beruntung nendapatkan kesempatan itu.

Dengan tergesa-gesa, Naya menghentikan angkutan umum yang baru melintas di depannya dan naik ke dalam sana. Tidak memerlukan waktu lama untuk Naya sampai di sebuah pemukiman perumahan yang alamatnya sudah tertulis di pamflet. Turun dari angkutan umum, Naya harus memakai jasa ojek untuk sampai ke rumah yang ia tuju.

Akhirnya sampai juga Naya di sebuah rumah besar bernuansa ungu di depannya. Seiringan dengan hatinya yang terus berdoa agar ia mendapatkan kesempatan mengajar privat, Naya mendekati gerbang besar itu. Menekan bel di sana, lalu tidak lama ada seorang satpam dari sisi belakang rumah itu yang membukakan gerbang untuk Naya.

"Permisi, Pak. Apa benar ini rumahnya ...." Naya perlu melihat nama yang tertera di bawah pamflet yang masih ada di tangannya. "Bu Renata?" lanjutnya bertanya.

Satpam itu mengangguk dan berkata, "Benar, Neng. Ada apa ya?"

"Saya menemukan pamflet ini di halte. Apa masih berlaku?" Naya mengangkat kertas itu di udara agar Pak Satpam dapat melihatnya. Dan benar setelah Satpam itu menilik sebentar kertas yang dipegang Naya, sang Satpam mengangguk, lalu membukakan gerbang itu dengan wajah yang senang. Sepertinya seisi rumah ini memang menunggu adanya sang guru privat.

"Silakan masuk, Neng. Bu Renata ada di dalam," suruh Satpam itu dengan ramahnya.

Tanpa berdiam lagi, Naya melenggang masuk lebih dalam ke rumah itu. Baru Naya tiba di depan pintu, sudah ada seorang wanita yang seumuran dengan ibunya tetapi terlihat lebih muda beberapa tahun, membukakan pintu untuknya.

"Silakan masuk," ucap wanita yang Naya yakini adalah Bu Renata pembuat pamflet itu.

Naya mengangguk dan mengikuti arahan wanita itu untuk duduk di sofa.

"Mau minum apa? Biar saya buatkan dulu," tanyanya dengan ramah.

"Enggak usah, Tante. Saya ke sini mau nanya soal ini." Naya menyodorkan pamflet itu ke si wanita.

Sebentar membaca lembaran yang ia buat sendiri, dengan sumringah sang wanita muda itu menjulurkan tangannya hendak memperkenalkan diri.

"Saya Renata. Saya yang membuat pamflet ini untuk mencari guru privat anak saya," kata wanita itu dengan ekspresi yang sulit Naya mengerti. Antara senang dan ada siratan yang sendu di dalam matanya.

"Nama saya Naya." Naya menjabat uluran tangan wanita itu. "Apa bisa saya dapat kesempatan itu? Saya memang masih kelas sebelas. Tapi saya juara satu umum di sekolah, jadi saya enggak akan mengecewakan tante," ucap Naya membanggakan dirinya sendiri dengan tujuan agar si wanita bisa percaya padanya. Lebih tepatnya, kebanggan Naya hanya sekadar harapan agar ia bisa diterima oleh wanita itu.

Renata mengangguk dengan wajah gembira. "Tentu saja. Kamu diterima untuk mengajar privat anak saya. "

Naya senang. Tentu saja. Sejak ia melihat pamflet itu, harapannya jatuh penuh pada kesempatan itu agar ia bisa mendapatkan uang. Agar Naya bisa sedikit mengurangi beban kedua orang tuanya.

"Mulai kapan kamu bisa mengajar?"

"Hari ini saya bisa, Tante," sahut Naya dengan senang hati. Ia bahkan langsung melepas ransel dari pundaknya, menandakan kalau Naya memang bersemangat dalam hal ini.

"Mari saya antar ke kamar anak saya. Dia sedikit pemalu, kamu bisa mengajar di kamarnya saja dulu," kata Renata mulai menggiring Naya menuju kamar sang anak.

Bukan hanya bagian depannya saja, tetapi bagian dalam rumah ini sangat luas sampai Naya berkhayal kalau ia bisa mendirikan sebuah panti jika memiliki rumah seperti ini.

"Namanya Vania. Dia cantik bukan?"

Pertanyaan Renata ditepis keras oleh fokus Naya yang jatuh pada gadis di depannya sana. Gadis yang sedang duduk di sofa dekat ranjang tidurnya sambil membaca sebuah buku dongeng. Gadis itu memang cantik. Namun, ada yang berbeda dari dirinya.

"Saya harap kamu mau menjadi guru privat Vania sampai ia lulus ujian," ujar Renata dengan mata berkaca-kaca. Naya tersentak dan baru bisa menoleh ke wanita di sebelahnya. Sekarang Naya mengerti.

Arti dari gembiranya Pak Satpam, raut senangnya Renata ketika baru membukakan pintu, dan apa yang ia lihat sekarang tentang anak yang membutuhkan guru seorang guru privat.

"Boleh saya masuk?" tanya Naya pelan-pelan. Renata mengangguk dengan sebulir jatuh cepat ke pipinya. Renata masih setia berdiri di ambang pintu, hanya memperhatikan Naya yang sudah berada di sebelah anak satu-satunya itu.

Lihat selengkapnya