Lelahnya hati karena terus berganti hinggap ke banyak tempat, pada akhirnya ada satu tempat yang dapat memulihkan kembali kelelahan ini.
-Arland Nugraha-
•••••
"Kalo suatu saat ada seorang cowok brengsek mau jadi pacar lo, apa lo akan nerima cowok itu?"
Mata Naya mendelik sekali. Setelah menghela napasnya, baru Naya menjawab, "Baik ataupun enggak, aku nggak akan mau pacaran." Dan tersenyum.
"Lo yakin?" Dari jarak beberapa langkah, jelas bagi Arland melihat anggukan pasti dari gadis itu.
"Kalo cowok kayak gue mau jadi pacar lo, gimana?"
Jantung Naya tersentak. Dia tahu kalau Arland suka berganti-ganti pacar. Naya tahu kalau dengan mudah Arland bisa menyatakan perasaan dengan siapa saja. Namun, tidak pernah terpikir bagi Naya kalau cowok itu juga akan mengungkapkan hal itu padanya.
"Lupain aja. Gue cuma iseng nanya. Yaudah, masuk gih," lanjut Arland seketika membolak-balikkan hati gadis di depannya. Lantas cowok itu kembali masuk ke mobil, lalu benar-benar pergi dari hadapan Naya.
Seperti terbang ke langit ketujuh lalu dihempaskan begitu saja ke dasar bumi yang paling dalam. Begitulah kira-kira perumpamaan untuk Naya saat ini.
Dibukanya pintu rumah yang terbuat dari kayu itu. Naya yakin kalau ibunya sudah menunggu di ruang tamu atau di kamarnya. Atau mungkin sang ibu sudah mengintip melalui jendela ketika sinar lampu mobil Arland tersorot ke arah rumahnya.
Benar, Anita tengah duduk dan langsung bangkit menyambut Naya yang baru datang. Tapi kali ini Anita tidak sendirian. Ada Aini di sebelahnya. Yang berarti bukan hanya sang ibu yang menunggu kepulangannya.
"Kamu dari mana, sayang? Ibu sangat cemas karena tidak ada kabar dari kamu. Ibu terus menghubungi Riani tapi dia juga tidak tahu keberadaan kamu. Bahkan, tadi Riani juga ke sini dan mencari kamu," ujar Anita dengan wajah yang amat khawatir dengan putri sulungnya.
Naya duduk di sebelah ibunya. Sekarang Anita diapit oleh dua putrinya.
"Maafin Naya, Bu. Sebenarnya Naya udah mulai mengajar privat hari ini," kata Naya dengan wajah penuh sesal karena sama sekali tidak menghubungi ibunya.
"Kamu mengajar privat?" Anita terkejut. Aini juga sama meskipun tidak begitu kentara. Aini hanya ikut mendengarkan saja tanpa berkomentar apapun.
Naya menangguk. "Iya, Bu. Lumayan bayarannya. Dan letaknya nggak begitu jauh dari sekolah. Sebenarnya waktu mengajar cuma dua jam. Tapi karena tadi pertama kali Naya mulai, Naya banyak ngobrol sama ibu Renata dan Vania, anaknya," papar Naya dengan raut wajah yang antusias.
Lalu Anita mengambil tangan Naya untuk ia genggam. Air muka wanita itu berubah sendu.
"Maafin ayah dan ibu ya, Nay. Kami belum bisa memberikan uang untuk membeli obat kamu," ucap Anita. Entah kenapa membuat wajah Aini juga bersedih.
"Gapapa, Bu. Naya mengajar privat bukan karena untuk membeli obat, kok. Naya hanya ingin membantu anak-anak yang perlu bantuan aja untuk menghadapi ujian. Naya seneng kalo ilmu Naya bisa bermanfaat untuk orang lain." Tangan Naya yang lain menindih punggung tangan ibunya yang masih menggenggam di tangannya. Ucapan Naya setengah berbohong. Tujuan utama Naya mengajar privat memang untuk membeli obat. Hanya saja Naya harus berkata bohong agar tidak membuat sang ibu merasa bersalah.
"Tapi gimana kalau nanti kamu kelelahan, Nak?" Sang ibu semakin cemas.
"Naya udah sehat kok, Bu. Insya allah Naya bisa jaga diri Naya baik-baik. Makasih ya, Bu. Udah khawatir sama Naya." Lalu memeluk sang ibu sambil tersenyum.
"Bukan hanya ibu yang khawatir dengan kamu. Aini juga daritadi tidak pernah berhenti bertanya kemana kamu," ucap Anita dengan sedikit senyum sindiran.
Sontak Naya melonggarkan pelukan sang ibu. Ia berbinar mendengar hal ini. Lalu Naya mencari wajah adiknya itu. Aini menunduk.
"Aini khawatir sama kakak?"
Sang adik mengangguk malu-malu. Lantas Aini cepat bangkit dan melimbai masuk ke kamar. Karena biasanya Aini selalu marah dengan Naya, sekarang gadis itu sudah berubah. Jadi Aini perlu menyesuaikan dirinya untuk bersikap baik dengan sang kakak.
Naya tidak diam saja. Dia terlewat senang dengan perubahan sikap adiknya. Kemudian Naya menyusul Aini ke dalam kamar ibunya.
"De?" Naya berjalan mendekat ke ranjang. Aini dalam posisi tidur dengan menghadap jendela, membelakangi Naya yang mengambil posisi duduk di sebelah punggugnya.
"Makasih, ya, udah khawatir sama kakak. Kakak nggak bermaksud membuat ibu dan kamu khawatir. Kakak janji nggak akan mengulanginya lagi. Kakak sayang kamu, ibu, dan ayah," ucap Naya terdengar lembut di telinga Aini.
Aini tidak menggubris. Ia pura-pura memejamkan matanya. Namun, bibirnya tersenyum.
"Selamat tidur, ya." Dikecupnya pipi Aini oleh sang kakak.
Sekeluarnya Naya dari kamar. Aini membuka matanya. Ia menyentuh pipi yang dikecup oleh Naya. Wajahnya menjadi parau, hingga sebulir itu merosot cepat hingga membasahi seprei bantal yang ditidurinya.
Aini tidak mungkin melupakan dengan mudah apa yang ia baca di surat kesehatan kakaknya.
•••••
Bertepatan ketika Arland baru melangkah ke dalam rumahnya, Mbok Ijah mengibaskan tangannya guna memanggil cowok itu untuk datang menghampiri. Mbok Ijah tengah menerima telepon dari Tomi, papinya Arland.
Dengan langkah yang terbilang biasa, Arland menghampiri. Menerima gagang telepon itu dari Mbok Ijah.
"Iya," sahut Arland sudah menempelkan benda lonjong itu ke telinga sebelah kanan. Tangan satunya dimasukkan ke saku celana abu-abunya.
"Gimana sekolah kamu hari ini? Dari mana aja kamu seharian ini? Kata Mbok, kamu baru pulang," tanya Tomi dari seberang. Dari nadanya biasa saja. Tidak ada tanda-tanda kemarahan sedikitpun.
"Dari tempat billiard sama Cakra dan Gary," jawab Arland seadanya. Ia sebenarnya malas menanggapi pertanyaan papinya yang itu-itu saja. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Arland senang ketika papinya menelepon seperti ini. Menandakan sang papi tidak benar-benar melupakan anak tunggalnya.
"Jangan terlalu sering pulang larut malam. Papi tau kamu kesepian di rumah. Tapi lebih baik pulang lebih awal daripada kamu terus keluyuran begitu."
"Ehm." Untung saja Arland sedang malas berdebat, jadilah ia hanya menjawab singkat apapun yang diucapkan Tomi.