Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #18

Harian Ke-17 / Sikap Polos dan Gugup Naya

Semuanya indah seperti mimpi. Tapi jika harus memilih, aku lebih menginginkan kembali ke dunia nyata daripada harus terlena dengan keindahan yang hanya sebatas mimpi.

•••••

Naya bergeming untuk seperkian detik. Selama beberapa detik itu ia sama sekali tidak bisa bernapas. Jangankan untuk berpikir tangannya dikecup oleh Arland, disentuh oleh cowok itu saja sudah akan membuat jantung Naya berhenti berdetak. Sama halnya ketika cowok itu pernah mendaratkan kecupan singkat di keningnya malam itu.

Sontak Naya menarik tangannya dalam genggaman jari-jari Arland. Ia harus segera bangun dari mimpi indahnya ini.

"Aku nggak ngerti maksud kamu," ucap Naya terbata. Ia perlu menormalkan kembali tenggorokannya setelah tadi ia sulit bernapas dalam beberapa detik.

Cowok itu terkekeh pelan. "Katanya pinter, tapi gitu aja masa nggak ngerti. Atau lo cuma pura-pura nggak ngerti?" Kedua alis Arland terangkat seolah sedang menggurau gadis di depannya.

"Hah?" Naya semakin gugup. Bukannya ia tidak mengerti tentang kalimat, 'gue emang belum bisa jatuh cinta sama lo, Nay. Tapi anehnya gue selalu berusaha keras buat bisa jatuh cinta sama lo', tetapi Naya tidak mengerti maksud kalimat itu. Atau lebih tepatnya, Naya tidak ingin mengartikan sendiri apa yang ia dengar dan pada akhirnya akan menjadi angan saja untuknya.

Oleh sebab itu, Naya lebih memilih untuk tidak mengerti seluruhnya.

"Yaudah, lupain aja yang gue bilang tadi." Arland tersenyum geli. Wajah Naya saat ini sangat polos dan benar-benar seperti gadis yang baru datang dari desa. Lugu dan tidak tahu apa-apa.

Naya mengangguk samar sebagai tanggapannya. Kemudian, Arland maju satu langkah, mendekat ke Naya. Menatap gadis itu dengan serius.

"Intinya, mulai sekarang, gue nggak akan deket sama cewek manapun, kecuali lo. Kalo. Kalimat ini, ngerti?" tanya Arland setelah berbicara setiap penggal kata dengan penuh penekanan agar Naya memahami ucapannya.

Naya meneguk salivanya dan tidak menjawab apakah dia harus berkata 'iya' atau 'tidak'. Dalam hatinya ia sangat mengerti maksud Arland kali ini. Namun, untuk apa Arland melakukan hal itu?

"Yaudah, kalo gitu aku pulang duluan, ya," kata Naya hendak mengalihkan pembicaraan karena dia sudah benar-benar dibuat mati kutu oleh cowok itu.

Naya berbalik hendak meninggalkan Arland di posisinya.

"Lo yakin mau pulang?"

Naya kembali menoleh ke belakang. "Eh?"

"Bukannya siang ini ada jadwal bimbingan sama Pak Robert?" cetus Arland sambil mengulum senyum. Cowok itu tahu kalau sekarang Naya tengah dilanda kegugupan yang besar.

Naya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lalu ia membuang wajahnya ke depan, berusaha menyembunyikan rasa malunya dari Arland. Detik berikutnya, Naya kembali menoleh ke belakang dengan ringisan kecil tampak di wajah mungilnya.

"Iya, maksud aku, aku mau bimbingan sama Pak Robert, hehe."

Arland gemas dengan sikap Naya yang seperti ini. Lantas ia mengacak puncak kepala Naya sambil tertawa kecil.

"Bimbingannya juga kan bareng gue. Kenapa harus pamit duluan. Bareng aja sih," kata Arland lalu menyambar jari-jari mungil itu untuk ia selipkan di antara jari-jari besarnya. Kemudian Arland menarik Naya untuk melangkah bersamanya sepanjang koridor menuju salah satu kelas yang di dalamnya sudah ada Pak Robert.

"Kegiatan olimpiade itu hanya memerlukan waktu kurang dari satu bulan lagi. Kalian berdua harus semakin sering berlatih soal-soal yang sudah bapak berikan kemarin. Juga, perlu mental yang cukup karena lawan kalian tidak sembarangan. Mereka murid-murid yang sering mengikuti olimpiade tingkat nasional," papar Pak Robert sebelum memulai bimbingan.

Arland dan Naya memperhatikan pria berwajah sangar itu dengan seksama. Naya sedikit tegang karena ucapan Pak Robert yang menakutkan dan penuh penekanan. Berbeda dari Arland yang menanggapi wejangan itu dengan santai.

"Oke, baiklah. Kali ini bapak akan membahas satu persatu soal yang kemarin sudah kalian kerjakan di rumah," lanjut pria tua itu dan langsung membuka buku yang sudah ada di tangannya. Pak Robert mulai menjelaskan secara rinci soal nomor satu. Sesekali pria itu juga mencatat sesuatu di papan tulis sebagai penjelas rumus yang menjadi jawaban soal tersebut.

Di sela-sela kegiatan bimbingan, Arland mengarahkan duduknya agar bisa melihat Naya dengan jelas. Tampak jelas di wajah cowok itu kalau ia sedang senyam-senyum ke Naya yang tidak menolehnya. Sang gadis terlalu serius memperhatikan Pak Robert.

Meletakkan salah satu tangannya di bawah dagu, Arland semakin asik memandangi wajah polos Naya dari samping. Sulutan senyum itu semakin jelas terlihat sehingga membuat Pak Robert sadar dengan sesuatu di wajah Arland yang menganggunya.

"Arland? Sedang apa kamu?"

Sontak Naya menoleh ke sebelahnya.

"Saya lagi ngeliatin malaikat cantik, Pak," sahut Arland tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari wajah Naya. Bahkan, Arland tidak peduli dengan teguran sangar dari Pak Robert.

"Bicara apa kamu?" Suara Pak Robert semakin meninggi. Membuat Naya meringis ketakutan dan hanya menunduk. Meskipun Naya sendiri tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melirik ke cowok di sebelahnya.

Lalu Arland membawa pandangannya ke Pak Robert. "Maaf, Pak. Bisa dilanjut penjelasannya?" Sebisa mungkin Arland menyembunyikan wajah sumringahnya sampai Pak Robert melupakan hal itu.

"Tolong perhatikan baik-baik, ya. Bapak tidak akan mengulang penjelasan ini," ujar Pak Robert yang kemudian melanjutkan penjelasannya lagi.

Sama halnya dengan Arland, ia kembali melanjutkan aktivitasnya seperti tadi. Memandangi wajah Naya dari samping diiringi senyuman semringah yang kini membuat Naya sadar kalau ia sedang dipandangi oleh cowok di sebelahnya. Tentu saja fokus Naya yang tadinya hanya untuk Pak Robert, sekarang setengahnya berpindah ke Arland.

•••••

Selesai bimbingan, Naya dan Arland berjalan beriringan di koridor menuju pintu gerbang. Kalau menelisik ke sekitar gedung sekolah, suasana sudah sangat sepi. Mungkin hanya dua atau tiga orang siswa yang masih terlihat di beberapa sudut. Bisa jadi mereka pengurus OSIS atau baru selesai kegiatan ekstrakuliker yang mengharuskan pulang terlambat dari jam normalnya.

"Gue anterin pulang, ya," tawar Arland memecah kesunyian sejak sekeluarnya mereka dari kelas bimbingan tadi.

"Eh, nggak usah. Aku mau ada urusan dulu," tolak Naya sedikit gugup. Pasalnya sedaritadi ia sengaja tidak membuka obrolan terlebih dahulu karena ia tahu kalau suaranya akan bergetar jika berbicara dengan cowok itu.

"Mau kemana? Biar gue anterin. Terus gue anter pulang juga," balas Arland bersikeras dengan tawarannya.

Lihat selengkapnya