Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #19

Harian Ke-18 / Sisi Lain Arland

Tidak perlu melihat kehidupan orang lain yang bahagia dan iri karenanya. Jalani saja apa yang ada di hidup kamu. Karena Tuhan tidak pernah salah alamat ketika memberikan kebahagiaan pada seseorang.

•••••

Di sinilah mereka untuk kedua kalinya.

Layar hitam nan luas yang terbentang di depan sana, dengan bintik-bintik berkilau yang sesekali berkedip seolah ingin mengajak kenalan. Suara lembut dari hembusan angin yang melintas, menjadi alunan yang mengiringi obrolan mereka.

"Beberapa kali ke sini, gue nggak pernah ketemu bokap lo. Lo tinggal bertiga doang sama nyokap dan adik atau ...." tanya Arland sengaja menggantung. Membiarkan Naya yang melengkapi sendiri pertanyaannya.

"Ayah aku di Yogya. Ayah jualan batik di sana. Pulangnya nggak nentu. Bisa sebulan sekali atau lebih," jawab Naya dengan nada bicara yang tenang. Berbeda dari sebelumnya ketika rasa gugup lebih mendominasi. Mungkin karena sekarang ia menjadi tuan rumah, Naya bisa lebih merasa nyaman dengan tempat obrolan ini.

Arland manggut-manggut sebagai tanggapan dari jawaban Naya.

"Emang sih, yang namanya kepala keluarga harus cari nafkah. Tapi seenggaknya masih ada nyokap dan adek lo di rumah. Jadi lo nggak kesepian. Nggak kayak gue yang selalu sendiri tanpa satu orangpun keluarga," kata Arland dengan bahu terangkat sesekali.

Sebentar Naya menoleh ke cowok di sebelahnya. Memandangi wajah bersinar itu dengan menyimpan sedikit rasa iba. Mungkin tidak banyak atau bahkan tidak ada yang tahu tentang pengakuan dari Arland baru saja. Naya merasa beruntung bisa mengetahui sisi lain dari cowok itu.

"Bukannya ada Mbok Ijah? Terus ada Pak Satpam juga kan?"

"Iya, emang masih ada mereka berdua. Tapi mereka nggak ada hubungan darah sama gue. Beda aja gitu. Kadang gue juga butuh keluarga yang bisa nemenin gue, gue ajak cerita, makan malem bareng, atau hal lainnya yang biasa dilakuin bareng keluarga," tutur Arland dengan pandangan ke depan. Ia tidak sadar kalau gadis di sebelahnya masih memandanginya terang-terangan.

Naya membisu. Perlahan hatinya tersayat sedikit demi sedikit ketika mendengar sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Arland. Rasanya Naya ingin sekali menjadi seorang peri yang mewujudkan semua keinginan itu.

Arland menoleh ke arah Naya. Ia mulai sadar kalau gadis itu tidak memberi tanggapan apapun setelah mendengar ceritanya.

"Gue aneh, ya?"

"Aneh kenapa?" tanya Naya berbalik dengan kerutan di keningnya.

"Karena gue sendiri ngerasa aneh kenapa gue jadi cerita mellow gini ke lo. Jadinya lo tau aib tentang gue kan." Arland terkikik geli dengan ucapannya sendiri. Namun, di dalam kegelian itu tersirat sebuah derita yang bisa Naya rasakan.

"Aib? Seseorang yang membutuhkan kehangatan keluarga, itu bukan aib." Naya menggeleng dengan kuat. "Tapi itu semua wajar dan setiap orang memang berhak mendapatkan semua itu. Kamu nggak boleh bilang kalo itu sebuah aib," ucap Naya sangat yakin karena untuk saat ini hanya kalimat ini yang bisa ia keluarkan untuk Arland. Setidaknya Naya berharap kalau Arland bisa mengubah cara berpikirnya.

Arland mengembuskan napas kasar seraya menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

"Kalo boleh milih, gue pengen punya posisi kayak lo, Nay. Sederhana tapi punya keluarga yang lengkap," lanjut Arland berandai-andai dengan pandangan yang mengadah ke langit di atas sana.

"Jangan!" seru Naya dengan menaikkan nada suaranya. Sontak membuat Arland yang masih sedikit mengadah, menoleh ke gadis itu.

"Kenapa jangan?"

"Pokoknya kamu nggak boleh ada di posisi aku," kata Naya dengan mantap. Wajahnya juga tampak menjadi panik yang sama sekali Arland tidak mengerti.

Lalu Arland bangkit dari kursi dan berpindah posisi duduk di lantai dengan kedua kaki berpijak di tanah.

"Iya, gue tau. Pasti lo juga nggak akan mau nyerahin posisi lo itu ke orang lain. Jadi lo pasti selalubahagia kan?" tebak Arland yang pada dasarnya ia tidak tahu sama sekali apa yang sebenarnya ada di hidup Naya.

"Bukan gitu. Setiap orang emang udah digariskan kehidupannya. Nggak ada hidup yang selalu bahagia. Setiap kehidupan pasti ada lubang derita di dalamnya. Jadi kamu nggak bisa asal men-judge kehidupan seseorang yang kamu sendiri nggak tau gimana pastinya," ucap Naya panjang lebar. Karena sesungguhnya Naya meyakini bahwa hidupnya tidak lebih baik dari Arland.

Arland terkekeh hambar. "Iya, bener juga kata lo. Mungkin emang guenya aja yang udah terlalu lama nggak ngerasain bahagia. Jadinya gue menganggap kalo orang-orang di luar sana selalu bahagia daripada gue."

"Kalo boleh tau, emang orang tua kamu kemana? Mereka kerja?" tanya Naya dengan sangat hati-hati. Sesungguhnya ia takut kalau cowok itu akan marah dengan pertanyaan ini. Namun, setelah Arland banyak bercerita sedaritadi, membuat Naya sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Arland bergeming dengan bibir yang terkunci rapat. Ia mendengar jelas pertanyaan Naya, hanya saja ia enggan untuk menceritakan deritanya pada gadis itu.

Arland memilih untuk bangkit dan menghadap Naya yang masih setia duduk di kursi.

"Udah malem. Gue balik dulu, ya," pamitnya dengan tujuan menyudahi pembicaraan yang semakin menusuk jantungnya.

Naya menghela napas pendek, lalu sambil tersenyum ia mengangguk. Naya juga bangkit hendak mengantar Arland ke depan gerbang rumahnya.

"Besok pagi gue jemput, ya?" tawar cowok itu. Sekarang mereka sudah berada di depan gerbang, di samping pintu mobil kemudi.

"Jemput kemana?"

"Ke sekolah. Kita ke sekolah bareng. Mau kan?"

"Enggak usah. Aku sendiri aja. Dan kadang Riani juga suka ngajakin bareng. Jadi kamu nggak perlu jemput aku," tolak Naya benar-benar tidak ingin hal itu terjadi.

"Bilang ke Riani kalo besok nggak usah jemput lo. Gue aja yang jemput. Okay?" Kali ini tatapan mata Arland membuat Naya tidak bisa berkutik atau menolak tawaran tersebut. Jadilah tanpa sadar atau tidak, kepala Naya mengangguk dengan kikuk.

Merasa gemas untuk kesekian kalinya, Arland tersenyum geli dengan ekspresi Naya saat ini. Tangannya terjulur mengacak rambut depan Naya dengan gemas. Baru setelahnya cowok itu masuk ke mobil dan berlalu.

Lihat selengkapnya