Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #20

Harian Ke-19 / Sisi Buruk

Ketika kamu selalu mendekat, rasanya aku ingin menjauh karena terlalu sesak. Namun, sebentar saja kamu menghilang, rasanya aku tidak ingin berhenti untuk selalu mencarimu.

Arland Nugrha

•••••

"Gue ke kantin bentar, ya, Nay. Paling gue cuma beli batagor doang. Abis itu gue langsung balik ke kelas nemenin lo makan," ucap Riani yang hanya diangguki oleh Naya. Segera gadis dengan wajah lebih putih dibanding Naya itu melesat menuju kantin.

Kemudian Naya mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. Kotak bekal berwarna hijau berukuran sedang. Dipandangi sebentar kotak bekal itu dan pandangan Naya berpindah ke Arland yang hendak bergegas keluar kelas bersama Cakra dan Gary.

Ketika tiga cowok itu hampir melewati pintu, Naya memberanikan diri untuk bangkit dan sedikit berteriak, "Arland! Bisa ngomong sebentar nggak?" tanyanya sedikit tampak ragu.

"Uhuy! Udah makin akrab aja nih, romannya. Siap-siap kelewat lagi deh kita, Cak," celetuk Gary yang diamini oleh Cakra.

"Iya, Nay. Bisa kok," sahut Arland. "Lo berdua duluan aja. Gue cuma bentar," lanjutnya menginteruksi kedua sohibnya itu.

"Lama juga gapapa kok, Land. Kita mah sudah biasa jadi ajudan yang setia menunggu sampai kapanpun," balas Cakra dengan mendramatisir ucapannya.

Cakra dan Gary melenggang. Sedangkan Arland kembali memutar arah hendak menghampiri meja Naya.

"Ada apa?" Cowok itu sudah berdiri di sebelah meja Naya.

"Ini," gumam Naya setengah gugup sambil menyentuh kotak bekalnya dengan kedua tangan.

Arland melirik ke benda hijau di meja dengan kening berkerut. "Kotak bekal?" tanyanya mengklarifikasi.

"Ini buat kamu." Naya menyodorkan kotak bekal itu ke Arland. "Ibu aku yang buatin," kata Naya dengan kepala tertunduk. Ia takut kalau Arland akan menolak pemberiannya ini.

Cowok itu tersenyum. Lalu mengambil dengan entengnya kotak bekal itu. Dia menerimanya. Sontak membuat Naya mengangkat pandangannya dengan wajah mendadak sumringah.

"Makasih, ya. Bilangin ke nyokap lo buat bekal makanannya. Lain kali nggak perlu repot-repot kayak gini," kata Arland dengan wajah yang membuat Naya tidak bisa berhenti tersenyum. Raut cowok itu tampak berbinar.

"Nggak repot kok. Ibu senang kasih ini buat kamu," balas Naya dengan antusias. Bagaimana tidak seorang ibu diam saja ketika putrinya merasa bahagia ketika ada seorang laki-laki yang mampu membuatnya lebih semangat dalam menjalani hidup kelam itu. Tentu saja Anita akan berterimakasih kepada orang tersebut.

"Terus lo makan apa?"

Dengan cepat Naya mengambil kotak bekal kedua dari dalam tasnya. Kotak bekal berwarna merah. "Ibu buat dua. Lauknya juga sama kok," ucap Naya dengan wajah amat riang.

Arland manggut-manggut. "Okedeh. Kalo gitu gue ke kantin dulu, ya. Gapapa kan kalo gue nggak nemenin lo makan?"

Naya menggeleng cepat sambil berkata, "Gapapa. Nanti Riani nemenin aku, kok."

"Yaudah. Gue duluan," pamitnya dan melenggang.

"Arland!" panggil Naya ketika Arland baru beberapa langkah menjauh dari posisinya tadi. Cowok itu berbalik. "Ya?"

"Jangan dibuang, ya. Kalo kamu nggak suka, kamu bisa kasihin ke orang lain. Yang penting jangan dibuang," ujar Naya mewanti-wanti cowok itu.

"Enggaklah, Nay. Masa dibuang. Pasti gue makan kok, " sahut Arland.

Naya tersenyum. Hatinya berdesir dengan jawaban yang terdengar sangat meyakinkan itu.

Arland sudah sampai di kantin. Ia langsung menemukan di mana kedua temannya duduk. Dari arah yang berbeda, Riani dengan mata menyipit tengah menelisik kotak bekal yang cowok itu bawa. Riani tampak familiar dengan kotak bekal hijau dengan tutup berwana putih. Juga ada simbol huruf N kecil di sisi penutup atasnya.

"Wedeh, dapet kotak bekal dari penggemar sejati," canda Gary menyambut kedatangan Arland yang langsung mengambil posisi duduk di depannya.

"Dari Naya, Land?" tanya Cakra hendak memastikan.

"Hm," sahut Arland seadanya. Cakra dan Gary saling membagi pandang sambil menyunggingkan senyum meledek.

"Dari jaman dahulu kala sampe jaman now, baru kali ini ada cewek di sekolah yang ngasih lo beginian. Biasanya mereka lebih suka ngasih lo yang mulus-mulus. Ya, nggak, Land?" kata Gary merasa puas bisa mengejek Arland.

"Nggak usah banyak ngomong. Nih, mau nggak." Arland menggeser kotak bekal itu ke hadapan Gary dan Cakra.

"Wew. Orang lo yang dikasih, malah lo ngasih balik ke kita. Lo nggak mau nih?" tanya Cakra untuk memastikan kalau Arland tidak menyesal dengan keputusannya. Sementara tangan Gary sudah menyentuh-nyentuh dan mengendus kotak bekal itu.

"Baunya enak, Land. Yakin lo nggak mau makan ini?" Sekarang giliran Gary yang bertanya.

"Bukannya nggak mau, gue masih kenyang sama sarapan tadi pagi. Lo berdua aja deh yang makan. Tapi nanti kalo ditanya Naya, bilang gue yang abisin."

"Dih, dasar bege! Kasian anak orang lo boongin," cibir Gary yang dianggukan oleh Cakra.

"Gue beneran kenyang. Udah buat lo berdua aja," kata Arland semakin ingin merelakan isi dari kotak bekal itu.

"Eh, Land. Sebenernya lo gimana sih, sama Naya? Gue denger lo mutusin Rere? Terus tadi pagi lo dateng ke sekolah bareng Naya. Lo mau jadiin dia pacar apa gimana?" selidik Cakra tampak serius. Untuk sementara kotak bekal tadi tidak dipedulikan karena Gary pun sama penasarannya dengan jawaban Arland kali ini.

"Gue nggak suka sama Naya. Tapi gue penasaran sama dia. Dia pernah bilang sama gue kalo dia nggak mau pacaran. Cuma gue yakin kalo dia suka sama gue. Jadi gue pengen aja bikin dia kalah sama dirinya sendiri," paparnya panjang lebar.

"Dari awal gue juga udah tau banget sih, kalo Naya suka sama lo," kata Gary memberi tanggapan.

"Tunggu, tunggu. Maksud lo bikin Naya kalah sama dirinya sendiri gimana?"

"Dia bilang nggak mau pacaran. Tapi di satu sisi dia suka sama gue. Jadi gue pengen bikin dia ngelanggar prinsipnya dengan pacaran sama orang yang dia suka."

"Kalo nyatanya lo salah sangka. Taunya dia nggak suka sama lo, gimana?" tanya Cakra.

"Iya, Land. Kali aja dia sukanya sama gue atau Cakra. Makanya dia pura-pura belaga suka sama lo buat cari perhatian sama kita berdua. Ya, nggak, Cak?" Satu toyoran di pipi Gary melayang begitu saja dari tangan Cakra.

"Ngomong sama meja sana lo," geram Cakra. Gary hanya menaikkan sudut bibirnya dengan cibiran.

"Insting gue nggak pernah salah," tegas Arland. Membuat kedua temannya hanya mendelik serius.

"Lo nggak kasian sama cewek polos kayak Naya?" tanya Cakra lagi seolah saat ini ia sedang mengintrogasi seorang tersangka.

"Gue nggak akan nyakitin dia kok. Karena kalo emang dia nyerah sama prinsipnya dan pacaran sama gue, ya, gue bakalan serius sama dia."

"Lo mau tobat gitu ceritanya?" Gary melebarkan matanya.

"Gue tetep beranggapan kalo semua cewek sama. Gue anggap mereka punya sisi buruk di balik mukanya yang polos. Makanya gue mau cari itu dari Naya." Arah pandang Arland tampak melayang jauh dari posisinya sekarang ini. Sepertinya ada sesuatu di otak cowok itu yang sudah disusun rapi olehnya.

Lihat selengkapnya