Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #21

Harian Ke-20 / Kekhawatiran yang Besar

Aku memang tidak mencintaimu, atau mungkin belum. Namun, entah kenapa di detik kamu menghilang, seluruh organ tubuhku seperti mendidih di atas bara api besar sampai aku tidak tahu bagaimana mendinginkannya.

Arland Nugraha

•••••

Arland tidak sadar dengan emosinya yang sudah meninggi. Kegeramannya karena tidak bisa menemukan Naya dimanapun, membuat Arland ingin sekali meratakan gedung sekolah ini dengan puluhan buldozer besar. Alam sadarnya pun tidak yakin kalau rasa cemas kian menggerogoti perasaannya.

Setelah semua kelas dan semua tempat didatangi, kini Arland berakhir di depan ruang komputer. Mulanya ia mengintip melalui celah pada jendela yang sedikit terbuka. Tidak puas dengan itu, akhirnya Arland mendobrak pintu ruang komputer yang terkunci dengan sekali tendangan kuatnya.

Dengan napas yang masih tersengal, Riani mengikuti Arland dan berakhir di tempat yang sama. Riani juga tidak kalah cemasnya dari cowok itu.

"Lo kemana sih, Nay," gumam Riani berdiri di depan pintu ruang komputer. Sedangkan Arland masih mencari di dalam ruangan itu.

"Lo udah coba telpon Naya?" tanya Arland sudah selesai pencariannya di dalam.

"Hapenya Naya dipegang sama adeknya," jawab Riani dengan pandangan yang masih beredar kesana-kemari.

Arland kesal. Kenapa jaman sekarang masih ada anak SMA yang tidak mempunyai ponsel. Sepertinya Arland harus secepatnya ke toko ponsel untuk membeli satu dan diberikan pada Naya.

"Eh, tapi katanya tadi sih, dia udah pegang hape. Coba bentar gue telpon dulu," kata Riani yang baru mengingat obrolannya dengan Naya tadi pagi. Perihal Aini yang memberikan kembali ponselnya.

"Yaudah, telpon buruan," suruh Arland tidak sabar.

Sementara Riani tengah menghubungi nomor ponsel Naya, Arlang tetap bergerak mencari Naya ke belakang gudang sekolah. Letak ruang komputer berada tidak jauh dari gudang itu.

Masih sama. Arland tidak bisa menemukan Naya di belakang gudang. Namun, ketika ia hendak kembali ke posisi Riani, ada suara terdengar samar dari arah dalam gudang itu.

"Nggak diangkat!" pekik Riani mencoba memberi laporan ke Arland yang masih berjalan menghampirinya.

"Coba telpon lagi! Gue denger sesuatu di dalam gudang," suruh Arland setengah berteriak.

Riani pun kembali menghubungi ponsel Naya. Bersamaan dengan itu, Arland mendengar lagi suara samar dari dalam gudang. Langsung saja cowok itu mendekati pintu gudang yang terkunci. Mendekatkan telinganya di pintu.

Langkah Riani bergerak ke posisi Arland. Riani masih terus menghubugi nomor yang sama. Sampai akhirnya kaki Arlang kembali mendobrak pintu gudang hingga terbuka.

"Ya, ampun, Nay!" pekik Riani sejadinya ketika melihat Naya yang tersungkur di lantai dengan kedua tangan terikat di belakang. Bahkan, mulut Naya juga didekap oleh sebuah kain panjang.

Kepanikan semakin menjadi ketika mata Naya terpejam. Arland tidak berkomentar apapun, tetapi ia langsung mengangkat tubuh Naya dengan satu tangan terselip di bawah lutut, lalu satunya lagi di belakang tengkuk gadis itu.

"Bawa ke klinik!" seru Riani sangat panik. Ia menggiring Arland untuk mengikutinya menuju klinik sekolah.

Terkunci dan tidak siapapun ketika mereka sudah sampai di depan klinik yang kebetulan masih berada di lantai yang sama dengan gudang.

"Njir! Pake nggak ada orang lagi," gumam Riani dengan umpatan karena saking paniknya ia saat ini.

Lalu Riani mengambil posisi duduk di bangku panjang di depan klinik. "Sini, sini. Kepalanya Naya taro di atas paha gue. Kakinya selonjorin," kata Riani sambil menginterupsi Arland agar meletakkan tubuh Naya di bangku panjang itu.

"Nay, bangun, Nay," ujar Riani sambil menepuk-nepukan tangannya di pipi Naya.

Cowok itu masih diam dengan semburat wajah merah api yang membuat sebulir keringat mengalir lembut dari pelipisnya. Arland terus menatap mata Naya agar mata itu cepat terbuka. Posisinya kini setengah berjongkok di depan Naya yang berbaring di bangku.

"Nay, bangun dong, Nay. Lo kenapa bisa begini sih?" Airmata sudah mengembang di pelupuk mata Riani. Ia selalu takut jika mata Naya terutup seperti ini. Entah sudah ke berapa kalinya Naya membuat Riani ketakutan.

"Ini semua gara-gara lo! Kalo aja lo nggak deket-deket sama Naya, nggak akan ada yang ngancem Naya buat nyelakain dia. Semua ini pasti ulah Lala," sergah Riani yang akhirnya meluapkan emosi pada Arland.

Pupil mata cowok itu membesar. Bukan karena kemarahan Riani padanya, melainkan karena isi dari kemarahan itu yang membuat emosinya naik drastis. Mata Arland semakin memerah melebihi dari sebelumnya.

Cowok itu masih bisu. Matanya kembali mencari wajah Naya yang pucat dan belum membuka matanya. Lantas Arland menggerakan tangan kanannya guna menggapai salah satu tangan Naya yang bergeming. Arland menggenggam telapak tangan mungil itu dengan erat.

Perlahan, mata Naya terbuka secara samar. Membuat Arland dan Riani terkesiap. Pelan-pelan Riani mendorong kepala Naya agar memposisikan sahabatnya itu menjadi duduk setengah menyandar di sisi bahunya.

"Tolong ambilin minumnya Naya di tas," suruh Riani yang langsung dilakukan dengan sigap oleh Arland.

Masih dengan mata yang terbuka secara samar, Naya menerima sodoran air minum dari Arland.

"Nay, lo gapapa?" tanya Riani hendak memastikan.

Naya menggeleng samar. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya masih buram.

"Sekarang lo cerita, kenapa lo bisa ada di gudang dengan dua tangan keiket dan mulut dibekep gitu?" selidik Riani. Arland sama penasarannya dengan jawaban Naya, tetapi ia lebih tidak tega melihat wajah Naya yang pucat.

Cowok itu menyodorkan air minum lagi ke bibir Naya. Tangannya juga terangkat untuk merapikan rambut Naya yang terlepas sebagian dari ikatannya. Gadis itu berkeringat tapi keningnya terasa dingin ketika Arland menyentuhnya.

"Aku nggak tau siapa yang ngelakuin ini," kata Naya mulai bersuara, dengan lirih. Sebelum melanjutkan ceritanya, Naya tengah mengatur napasnya agar normal kembali. Beberapa menit disekap di gudang cukup membuat dadanya sesak karena kehabisan pasokan udara segar.

"Pas aku sampai di depan ruang komputer untuk nemuin Bu Alma, pintunya terkunci. Terus saat aku mau balik ke kelas, dari belakang ada yang nyekap hidung aku. Setelah itu aku nggak tau lagi," lanjut Naya mencoba berusaha keras mentuntaskan ceritanya. Ia sendiri bingung kenapa sekarang tubuhnya terasa lemas dan berada di tengah-tengah Arland dan Riani.

"Gue yakin pasti Lala!" celetuk Riani dengan emosinya yang masih sama.

"Apa alesan lo nuduh Lala yang udah nyelakain Naya?" tanya Arland dengan lantang.

"Pasti dia lah. Asal lo tau ya, tadi pagi dia nyamperin Naya dan ngancem Naya. Begonya lagi semua itu cuma karena Naya jalan bareng lo di koridor. Sekarang lo tau kan apa alesannya gue ngelarang lo buat deket-deket sama Naya?!" geram Riani yang sama sekali tidak peduli kalau Naya akan membela cowok itu lagi pada akhirnya.

Salah satu tangan Arland terkepal kuat. Memang tidak sepenuhnya ia percaya dengan cerita Riani mengingat gadis itu selalu mengajaknya berdebat. Namun, ketika pandangannya berpindah ke Naya yang hanya bergeming, membuat emosinya semakin membumbung tinggi.

"Lo bawa mobil apa dijemput?" tanya Arland kemudian.

Sebenarnya Riani malas menjawab setelah kemarahannya baru saja, tetapi akhirnya dia menjawab dengan malas, "Gue dijemput. Supir gue udah di parkiran."

Segera, Arland kembali menggendong tubuh Naya dan membawanya menuju mobil Riani di parkiran.

"Nay, lo pulang bareng Riani dulu, ya. Gue harus ke suatu tempat buat ngasih pelajaran ke orang yang udah bikin lo kayak gini," kata Arland sudah memposisikan Naya di dalam mobil Riani.

"Tiap hari juga emang Naya pulang bareng gue," gerutu Riani setengah berbisik.

"Kamu mau ke mana? Belum tentu Kak Lala yang lakuin hal ini. Kamu nggak boleh berprasangka buruk dulu," kata Naya yang sepertinya sudah mulai membaik.

"Nggak mungkin gue salah, Nay. Ini semua pasti ulah nenek lampir Lala itu. Siapa lagi bukan dia. Selama ini nggak ada yang pernah macem-macem sama lo. Baru tadi pagi itu doang dia pake ancem-ancem lo segala," cerocos Riani dengan rasa kesalnya. Ditambah sikap Naya yang terlalu baik pada orang yang bahkan sudah berbuat jahat padanya. Membuat Riani semakin gemas bercampur sebal.

"Gue akan pastiin dulu siapa orangnya. Kalau pun bukan Lala, gue akan cari siapa yang udah bikin lo kayak gini," balas Arland dengan tegas. Seolah sekarang ini Naya seperti mempunyai super hero kedua selain Riani, sahabatnya.

"Tapi aku udah gapapa, kok. Jadi udah nggak perlu diperpanjang lagi masalahnya," kata Naya masih saja bersikukuh. Sampai Arland harus membuat gadis itu tidak lagi berkata-kata dengan mengecup keningnya cepat.

"Dih, apa-apaan sih, lo," gerutu Riani yang melihat adegan itu.

"Tolong jagain Naya. Gue cabut dulu," ujar Arland memberi pesan pada Riani dan langsung melesat ke mobilnya yang terparkir di ujung.

Tanpa sepengetahuan Riani di sebelahnya, sudut bibir Naya terangkat samar. Dia terkejut dengan kecupan di keningnya, tetapi perasaannya tidak bisa berbohong kalau rasa lemas di tubuhnya tadi, musnah dalam sekejap.

Lihat selengkapnya