Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #22

Harian Ke-21 / Sebuah Keinginan

Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang berbeda. Jika aku menginginkan untuk menjagamu, maka berada di dekatmu adalah sebuah kebutuhan untukku.

Arland Nugraha

•••••

Terpancar rona bahagia dari wajah Arland sepulang ia dari rumah Naya. Pasalnya tidak ada hal yang lucu atau moment spesial sekalipun yang Arland rasakan. Namun, janjinya pada Naya untuk selalu menjaga gadis itu, membuat Arland merasa geli dengan ucapannya sendiri. Bahkan, Arland tidak yakin sudah mengucapkan kalimat itu pada seseorang yang tidak ia suka.

Ingin melindungi Naya, adalah sebuah keinginan yang terjadi begitu saja. Sebelumnya Arland tidak pernah terpikir untuk mengatakan kalimat itu atau merencanakannya sekalipun. Hanya saja lidahnya sangat mulus ketika ia berucap kalimat itu, terlebih sambil menatap Naya sangat dalam.

Sampai tiba di rumahnya pun, Arland masih saja mengulum senyum diam-diam. Namun, langkahnya terhenti ketika sang papi berdiri di depannya. Bukan untuk menghalanginya, tetapi hanya sekadar ingin menyambut kedatangan putra tunggalnya tersebut.

"Kamu udah makan malam?" tanya Tomi.

"Belum."

"Yaudah, kamu bersih-bersih dulu. Habis itu kamu turun dan kita makan malam sama-sama."

Suasana di antara keduanya dingin. Selalu sama memang. Karena kedua orang ini terlalu kaku dan gengsi untuk bersikap lebih hangat satu sama lain.

"Arland nggak lapar. Papi makan duluan aja," ucap cowok itu datar.

"Papi tetap menunggu kamu di ruang makan." Tomi berbalik dan menuju ruang makan. Lalu Arland bergegas ke lantai dua, ke kamarnya tanpa mempedulikan ajakan papinya tersebut.

"Jangan lama-lama, Land. Papi sudah nggak sabar nyobain masakan Mbok Ijah yang aromanya udah harum sekali," ujar sang papi sambil berteriak. Sepertinya pria itu ingin menggoda sang anak yang ia sendiri tidak yakin apakah hal ini berpengaruh dan membuat Arland segera turun dari kamarnya.

Lebih dari lima belas menit Tomi menunggu di ruang makan. Pria itu benar-benar menunda makan malamnya hanya untuk menunggu sang anak. Aroma yang tadinya menyeruak hingga ke hidung, kini sudah nyaris tidak tercium karena bisa dipastikan kalau sajian di meja sudah dingin.

Pria itu menoleh ke belakang. Menilik anak tangga hingga terdengar langkah seseorang yang turun dari lantai dua. Segera Tomi membuang wajahnya kembali ke posisi semula.

"Papi yakin kamu pasti turun juga," ucap Tomi menyambut kedatangan putranya di meja makan.

Arland tidak menyahut sepatah katapun. Ia lebih tertarik untuk segera membalik piring yang tersedia di depannya, lalu mengambil dua centong nasi dan beberapa lauk yang ada di meja.

Dengan sepasang alis terangkat diikuti sudut bibir yang tertarik ke bawah, Tomi pun mulai menyiapkan santapannya sendiri. Kini hanya suara dentingan sendok garpu dengan piring yang mendominasi di ruang makan ini.

"Kata tante kamu, bulan depan kamu akan mewakili sekolah dalam olimpiade matematika tahun ini?" tanya Tomi dengan tujuan ingin memecah keheningan saat ini.

"Hm," jawab Arland singkat. Bahkan, pandangannya sama sekali tidak berpindah dari piring miliknya.

Tomi hanya manggut-manggut sambil berharap dalam hati kalau putranya mau menoleh kepadanya, sekalipun hanya sesaat.

"Papi punya klien baru. Dia wanita. Secara terang-terangan dia menyatakan ketertarikannya sama papi."

Cerita klasik itu akhirnya membuat Arland menoleh ke sang ayah. Sesaat ia menghentikan aktivitas makannya.

"Terus papi terima?" tanya Arland penasaran. Pasalnya pernah beberapa kali Arland meminta sang papi untuk menikah lagi. Mencari pendamping hidup agar bisa melengkapi keluarganya ini. Namun, jawaban Tomi selalu sama.

Pria paru baya itu menggeleng pelan. "Tentu papi menolak."

"Karena rasa cinta papi ke wanita itu?" Pertanyaan itu terucap dengan kesan kalau Arland tengah menahan kemarahan di dadanya. Ia tidak pernah suka dengan jawaban papinya yang seperti ini.

"Kamu sudah tau jawabannya."

Arland melempar garpu dan sendok ke piring karena kesal. Ia menghentikan makannya dan menghempaskan punggung belakangnya ke sandaran kursi makan.

"Seenggaknya buat alasan lain agar papi bisa menerima wanita itu. Arland nggak bisa hidup sendirian terus kayak gini. Arland juga butuh sosok ibu yang bisa merawat keperluan Arland," pungkas Arland yang pada dasarnya hanya dua yang ia ingingkan. Kelengkapan keluarga dan kasih sayang seorang ibu.

"Kan ada Mbok Ijah," balas Tomi begitu mudahnya. Ia masih terus melanjutkan makannya sampai hidangan di piring miliknya hampir habis.

"Seharusnya papi bisa mikirin sedikit gimana perasaan Arland. Dan nggak ada gunanya buat papi masih punya perasaan ke wanita yang udah ninggalin papi mentah-mentah. Nggak seharusnya papi kalah sama satu wanita," ucap Arland panjang lebar. Beberpa detik lalu duduknya sudah menegak lantaran emosinya yang tertarik dari dalam dan tidak sadar ia keluarkan untuk menohok papinya sendiri.

Benar, Tomi mulai tersulut api dengan penghakiman dari anaknya sendiri. Pria itu menggebrak meja sampai Arland terkesiap.

"Kamu nggak berhak berbicara seperti itu. Kamu belum pernah merasakan bagaimana hanya mencintai satu wanita dalam hidup kamu. Kamu tidak tahu beratnya menahan semua itu. Jadi tidak mungkin bagi papi menikah lagi ketika mami kamu masih ada di hati papi," balas Tomi tak kalah geram.

Napas Arland memburu bagaikan banteng yang siap menyeruduk. Sayangnya ia masih menghormati sang papi sebagai orang tua, lantas ia bangkit dari kursi, menatap papinya sebentar dengan tajam, lalu meninggalkan ruang makan.

Tomi menopang dagunya dengan kedua tangan yang terkepal menjadi satu. Ia sendiri tidak sadar dengan emosinya yang keluar begitu saja. Hatinya serasa diremas ketika Arland harus membahas soal perasannya kepada Renita, mantan istri sekaligus ibu kandung putranya.

Setelah membanting pintu kamar cukup keras, pandangan Arland tertuju ke ransel sekolah yang tergeletak di atas meja belajarnya. Bukan ransel sebenarnya yang ia pandangi, tetapi sesuatu di dalam sana yang membuat kebenciannya pada wanita yang melahirkannya itu semakin kuat.

Arland melangkah cepat guna menyambar ransel dan membukanya. Ia mengambil kotak bekal yang Naya berikan tadi siang padanya. Kemudian Arland membuka kotak bekal itu dan menatap isi bekal dengan mata menyipit.

Setelahnya Arland berpindah ke nakas. Memanggil seseorang via telepon berkabel dengan suara garang.

"Mbok, tolong ke kamar Arland sekarang," suruhnya pada wanita tua itu.

Mbok Ijah tahu dari nada bicara Arland yang seperti itu. Tanpa menunggu lama, pintu kamar Arland terketuk oleh Mbok Ijah. Bisa jadi wanita tua itu berlari dari dapur ke lantai dua ini.

"Ada apa, Den?" tanya Mbok Ijah ketika Arland sudah membukakan pintu.

"Tolong cuci kotak bekal ini. Besok mau Arland bawa," ujarnya sambil menyerahkan kotak bekal di tangannya.

Mbok Ijah membuka kotak bekal itu karena setelah menerimanya, benda tersebut terasa berat yang berarti ada sesuatu di dalam sana.

"Isinya gimana, Den? Ini makanan kesukaan Den Arland, lho."

"Isinya dibuang aja."

Mata Mbok Ijah melebar. "Kenapa dibuang? Sayang, Den." Mbok Ijah menyomot satu cumi tepung itu dan dicicipi. "Ini masih enak, kok, Den."

"Dibuang, terus dicuci kotak bekalnya," kata Arland dengan tatapan dingin. Membuat bulu kuduk Mbok Ijah berdiri dan langsung bergegas menjalankan perintah dari sang majikan.

Alasan Arland melakukan perbuatan bodoh ini bukan karena seseorang yang memberikan kotak bekal itu padanya, melainkan pada isi kotak bekal itu yang mengingatkan Arland pada wanita dari masa lalunya.

Sama halnya ketika kita menemukan sebuah benda yang mempunyai kenangan buruk, lalu membenci benda tidak bersalah itu karena orang yang kita benci. Pasti semuanya pernah mengalami hal itu, bukan?

•••••

Pagi Arland sengaja datang ke sekolah sangat awal. Yang dilakukannya ketika baru sekali sampai di parkiran, ia melesat ke pintu gerbang. Berdiri di sisi pintu untuk menunggu kedatangan seseorang. Tentu saja hal itu membuat banyak siswa-siswi yang pasti mengenalnya, mengerutkan kening karena merasa aneh dengan seorang Arland yang bersikap tidak biasa. Cowok itu tersenyum kepada siapapun yang melintasi gerbang.

Sudah lebih dari lima belas menit Arland berdiri di posisi yang sama. Sampai senyumnya melebar karena satu mobil yang berhenti di depan gerbang sekolah, lalu dari dalam sana keluar dua orang yang salah satunya sudah ditunggu oleh cowok itu.

"Pagi, Nay," sapa Arland pada Naya yang berjalan beriringan dengan Riani.

"Hai," balas Naya dengan senyum pagi yang membuat Arland semakin ingin terus berada di dekat gadis itu. Arland sendiri belum mengerti arti dari semua keinginannya ini.

"Alibi," gumam Riani seperti biasa ketika bertemu dengan orang yang tidak disukainya itu.

"Gue nungguin lo buat ke kelas bareng," ucap Arland praktis membuat Naya mendelik tidak percaya.

Lihat selengkapnya