Memiliki setengah kesadaran saat di dalam toilet tadi, membuat perasaan Naya digerogoti rasa takut yang amat besar. Ia takut tidak bisa bangkit dan terus terduduk lemah di dalam toilet.
Sebenarnya Naya mendengar suara Riani. Naya mendengar sahabatnya memanggil. Namun, ia tidak ingin Riani tahu kalau kondisinya sedang melemah. Naya tidak ingin Riani cemas ketika melihat wajahnya pucat, serta bekas cairan merah yang masih tersisa di sekitar bibirnya.
Sepeninggalnya Naya dari kantin tadi, ia berlari ke toilet. Untungnya masih tidak siapapun ketika Naya masuk. Karen Naya harus membersihkan cairan merah yang keluar dari mulutnya. Akan jadi bencana baginya jika ada satu orang saja yang tahu hal itu.
Pandangan Naya buram ketika ia bercermin. Dadanya sakit terutama di bagian ulu hatinya yang seperti diremas oleh benda tajam. Naya tidak sanggup kembali ke kantin menemui Riani dan yang lainnya. Naya lebih memilih untuk berdiam diri di salah satu bilik toilet itu. Ia duduk di dalam sana sampai kesadarannya nyaris hilang.
Tidak sampai di situ saja. Sekuat tenaga Naya harus bangkit dan kembali ke kelas demi menghilangkan rasa cemas Riani di toilet tadi. Teriakan Riani memanggil nama Naya sangatlah jelas kalau dia tengah cemas padanya.
Pelukan sesaat yang berasal dari Arland, seketika membuat ketakutan di dalam toilet tadi hilang. Seolah ada yang siap menjadi dinding kokoh untuk Naya ketika suatu saat pertahanannya runtuh.
Kini Naya harus lebih berusaha lagi menahan rasa sakitnya sampai jam pelajaran berakhir. Lalu Naya juga perlu mengikuti bimbingan dengan Pak robert, serta kegiatan mengajar privat di rumah Vania hingga sore nanti.
Kuatkah Naya melalui hari ini?
"Gue nungguin lo, ya, Nay. Nanti gue anterin lo ke tempat ngajar juga," ucap Riani ketika bel tanda akhir pelajaran hari ini berbunyi.
"Nggak usah, Ri. Nanti kamu kelamaan." Naya merapikan buku-buku di meja itu dengan lesu. Untungnya Riani tidak menyadari ekspresi tersebut.
"Enggak. Pokoknya gue nungguin lo. Gue bisa makan dulu di kantin sambil main game." Riani selesai merapikan bukunya dan sudah siap bangkit dari bangku.
Naya menghela napas pendek. Ia tidak lagi ingin berdebat sedikitpun dengan Riani. Namun, ia juga tidak ingin lama-kelamaan Riani tahu tentang keadaannya sekarang.
"Iya, yaudah, Ri," kata Naya pada akhirnya.
Sementara itu, Arland sudah berdiri di sisi pintu dengan pandangan yang tak berpaling dari posisi Naya. Cowok itu sudah seperti pangeran yang siap menuntun sang putri ke sebuah pesta dansa.
"Jagain Naya. Jangan sampe dia ilang lagi," ujar Riani pada Arland dengan gaya mengancam.
"Pasti lah, gue jagain. Lo nggak usah khawatir kalo Naya lagi sama gue," balas Arland mengambil tangan Naya dan digenggam tangan itu.
"Eh, apa-apaan pake gandeng-gandeng segala. Nggak ada pokoknya," sergah Riani menepis tangan Arland hingga terlepas dari tangan Naya.
Wajah Naya saat ini hanya biasa saja tanpa ekspresi. Karena sesungguhnya, gadis itu tengah menahan rasa sakit yang sedang bergemuruh di dalam tubuhnya, untuk tidak terlihat Riani atau Arland sekalipun.
Sekitar 60 menit sudah Naya lalui untuk mengikuti bimbingan dengan Pak Robert. Selama itu juga Naya perlu menahan sekuat mungkin rasa sakit dalam dirinya. Berusaha agar rasa sakit itu tidak tampak oleh siapapun.
"Hari ini lo ngajar privat?" tanya Arland sekeluarnya mereka dari kelas bimbingan.
"Iya," jawab Naya dengan singkat.
"Gue anter, ya," tawar cowok itu.
Dari arah belakang Riani menerobos untuk menyamai posisinya dengan dua orang itu. "Gue yang nganter Naya ke tempat ngajar," sergahnya tidak ingin kalah.
"Lo lagi," gumam Arland sambil mengembuskan napas malas.
"Iyalah gue lagi. Gue kan sahabatnya Naya. Jadi ada di mana pun Naya berada. Emangnya lo nggak tau siapanya Naya," cibir Riani sesekali menyunggingkan bibirnya kesal.
Arland bungkam. Ia sendiri tidak tahu harus mengartikan dirinya sebagai apa di hati Naya. Teman, sahabat, pacar, atau bukan ketiganya. Selagi dua orang itu kembali berdebat, Naya hanya meringis pelan dan tengah mengatur daya tahan tubuhnya yang semakin lemah.
Arland tetap pada pendiriannya. Dari belakang mobil yang ditumpangi Riani dan Naya, mobilnya mengekor sampai di tempat mengajar privat Naya. Arland keluar dari mobilnya ketika Naya sudah hendak beringsut memasuki gerbang besar rumah Vania. Mobil Riani sudah beberapa detik lalu melaju pergi.
"Nanti sore gue jemput lo, ya, Nay," teriak cowok itu menghentikan langkah Naya sehingga gadis itu berbalik.
"Aku naik ojek aja nanti," balas Naya.
"Jam lima gue di sini, oke?" Tanpa perlu menunggu jawaban Naya, Arland hendak pergi dari posisinya. Namun, Arland terkesiap ketika tubuh Naya tersungkur di tanah secara tiba-tiba.
Helaan Napas Arland berikutnya tertahan untuk sesaat. Ia berlari menghampiri Naya dan menggendong tubuh mungil itu ke dalam mobilnya.
•••••
"Gadis ini harus dibawa ke rumah sakit. Saya harus melakukan tes laboratorium serta tes lainnya untuk memastikan kalau diagnosis saya tidak salah. Karena kalau dilihat dari kasat mata, untuk saat ini gadis ini hanya kelelahan. Tapi saya kurang yakin kalau tidak melakukan tes secara keseluruhan," jelas dokter panjang lebar. Dokter pribadi keluarga Arland sejak lama, Dr. Riko.
Arland bingung harus mengambil keputusan yang di luar jangkauannya. Sebelum melakukan saran dokter, ia perlu meminta persetujuan dari keluarga Naya tentunya. Tidak mungkin Arland langsung mengambil keputusan sepihak.