Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #24

Harian Ke-23 / Rumah Sakit

Tidak peduli jika pada akhirnya akan ada kebencian darimu untukku. Namun, untuk sekarang biar saja aku merasakan sedikit bahagia itu.

Ainaya Valyria

•••••

Menjadi alasan seseorang melakukan sesuatu yang buruk adalah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Naya. Selama hidupnya, ia selalu berusaha menjadi gadis baik yang hanya ingin melakukan hal baik tanpa tahu berbuat hal yang tidak baik.

Sejauh ini Naya merasa dirinya hanyalah gadis biasa yang sedang mencoba bertahan hidup ketika dokter sudah memastikan ada sebuah penyakit mematikan yang menggerogoti tubuhnya. Dan kepahitannya itu ada yang melebihi sekarang. Menjadi alasan kenapa Arland membenci semua perempuan adalah hal terburuk dalam hidupnya. Bahkan, Naya mengesampingkan penyakit mematikan itu.

Yang di pikirannya sekarang adalah bagaimana Naya harus mengambil keputusan. Menyambut hadirnya kembali Arland di dalam hidupnya dengan menyembunyikan kenyataan yang perlu cowok itu ketahui, atau siap kehilangan Arland dengan berkata jujur kalau teman masa kecil yang dibenci cowok itu adalah dirinya.

Hanya sedikit kata-kata yang bisa Naya tulis di dalam buku hariannya. Lingkaran kecil yang berasal dari tetesan air matanya lah yang memenuhi satu lembaran itu. Naya menangis tanpa bersuara. Dan itu sangat menyesakkan dadanya sampai menggantikan rasa sakit yang ia rasakan sejak siang tadi.

Sontak Naya menutup buku hariannya ketika pintu kamarnya terbuka oleh seseorang.

"Kak, Aini bawa susu hangat buat kakak," ujar Aini melangkah mendekat ke meja belajar Naya. Meletakkan segelas susu putih di meja itu.

"Makasih, ya, De," ucap Naya yang sebelumnya sudah menghapus bekas air mata di pipinya.

Hening. Aini masih berdiri di sebelah Naya tanpa membuka obrolan apapun dalam beberapa detik.

"Gi-gimana keadaan kakak sekarang?" tanya Aini tampak ragu. Didekapnya nampan kecil dengan kedua tangan gadis itu karena gugup.

"Kakak baik-baik aja, kok. Makasih ya, kamu udah mau perhatian sama kakak. Kakak senang," jawab Naya diakhiri dengan senyum sumringah.

"Aini tau kakak sakit apa. Aini nggak sengaja liat catatan dari rumah sakit di lemari ibu." Wajah Aini tertunduk. Sejak ia membaca catatan itu, Aini tidak pernah sampai hati menatap wajah kakaknya terlalu lama. Semakin Aini mencoba, semakin perih hatinya karena tidak ingin kehilangan kakak satu-satunya itu.

Hening lagi. Naya tidak memberi tanggapan apapun. Hanya helaan napas samar yang bisa ia keluarkan saat ini. Lalu tangan Naya terjulur, menyentuh lengan Aini.

"Kakak akan baik-baik aja kok, De. Kamu nggak usah khawatir ya. Kakak pasti sembuh," kata Naya berusaha meyakinkan sang adik.

Aini tidak tahan lagi dengan situasi ini. Ia berbalik dan berlari keluar dari kamar kakaknya. Bahkan, tanpa menutup pintu lebih dulu. Sedangkan Naya yang tahu arti sikap adiknya, ikut merasa teriris hatinya. Lagi, airmata itu keluar dari tempatnya.

"Maafin kakak, De," gumam Naya pelan sambil membiarkan airmatanya terus berderai.

Detik berikutnya Naya semakin terisak tanpa henti. Ia harus menenggelamkan wajah di antara lipatan tangannya di atas meja belajar agar suara tangis itu tidak terdengar oleh siapapun. Ini begitu sakit dan menyesakkan.

•••••

Berulang kali Riani terus bertanya pada Naya tentang semua cerita yang ia dengar dari sahabatnya itu. Riani nyaris tidak percaya kalau Naya tidak menangis di mobilnya sehingga membuat Riani yakin kalau Naya benar. Sebuah cerita yang juga membuat hidup Naya terperosot ke dasar jurang yang paling dalam.

Tentu saja Naya tidak menceritakan bagian dimana ia jatuh pingsan di depan rumah Vania. Bisa dipastikan Riani akan berbalik pembahasan kalau tahu hal itu. Riani pasti lebih mencemaskan alasan Naya pingsan. Karena ada hal yang membuat Riani takut akan keadaan Naya yang tiba-tiba bisa menjadi lemah seperti itu.

Sekarang mereka berdua sudah berada di kelas. Masih terlalu pagi dari biasanya karena sejak semalam Naya tidak bisa tertidur pulas. Yang Naya tunggu adalah pagi dan bisa secepatnya bertemu Riani agar bisa menceritakan kenyataan pahit ini.

"Nay, gue sendiri bingung harus gimana. Gue sendiri nggak nyangka sama cerita itu. Separah itukah akibat lo ninggalin Arland siang itu?"

"Aku juga nggak berpikir sejauh itu, Ri. Aku nggak tau harus gimana. Apa aku harus jujur sama Arland kalau aku teman masa kecilnya dulu?" Naya menatap Riani penuh harap agar jawaban dari sahabatnya kali ini bisa membantunya keluar dari masalah mematikan ini.

Sontak Riani menggeleng tanda ia tidak menyetujui tindakan Naya. "Enggak. Lo nggak boleh bilang ke Arland yang sebenernya. Bisa-bisa Arland akan ngelakuin hal yang buruk ke lo, Nay. Lo sendiri yang bilang kalo mukanya Arland bener-bener nunjukin kebencian saat dia cerita tentang masa lalunya itu," kata Riani memberi tanggapan.

"Terus aku harus gimana, Ri?" Naya akan menangis sebentar lagi. Pikirannya terus berputar-putar, mencari jalan keluar terbaik. Tidak ada hal lain yang ia pikirkan lagi termasuk olimpiade matematikan yang sudah di depan mata.

"Duh, gimana, ya." Riani sama bingungnya. Keduanya sama-sama gusar. Jarum jam terus berjalan dan membuat kelas semakin ramai. Termasuk Arland yang sudah datang, lalu langsung menghampiri meja Naya.

"Dari semalam gue telpon ke hape lo nggak dijawab. Tadi gue juga jemput ke rumah lo, ternyata lo udah berangkat sama Riani. Lo menghindar dari gue atau gimana? Semenjak pulang dari rumah gue, lo aneh," sergah Arland tanpa berbasa-basi. Dengan tatapan tajam dan dingin Arland mengunci mata Naya agar menjawab pertanyaan tegas itu.

"Aku ... Aku nggak menghindar dari kamu. Semalam aku langsung tidur, jadi aku nggak tau ada telpon dari kamu," jawab Naya tersendat. Ia bahkan tidak mau menatap mata tajam cowok itu.

"Pesan gue juga nggak lo baca? Gue kan bilang kalo hari ini gue jemput," kata Arland lagi masih dengan nada yang sama. Seperti mengintrogasi seorang tersangka.

"Ribet banget sih. Orang Naya mau berangkat sama gue. Bukan sama lo. Terima aja kalo Naya lebih milih gue daripada lo," sela Riani mencoba menggantikan jawaban Naya. Riani tahu kalau Naya sedang ketakutan dengan jari-jarinya yang tidak bisa diam sejak datangnya Arland.

Cowok itu mengembuskan napas kasar. "Keadaan lo gimana? Udah gapapa?" tanya Arland pada akhirnya. Karena sebenarnya ia hanya cemas dengan gadis itu sejak semalam.

Riani melebarkan matanya. "Keadaan? Emang lo kenapa, Nay?" tanya Riani mencari wajah Naya yang perlahan terangkat ke arahnya.

"Aku gapapa. Aku kan lagi pms. Jadi kemarin sedikit sakit perut aja," kata Naya dengan cepat. Lalu pandangannya berpindah ke Arland, memberikan kode samar agar cowok itu tidak menjawab pertanyaan Riani.

Lihat selengkapnya