Tidak peduli seberapa lemahnya kita, karena seorang sahabat sejati pasti akan siap menopang kelemahan itu kapanpun.
Riani Andrayana
•••••
"Tumor otak?" ulang Arland guna klarifikasi dengan kening berkerut lantaran terkejut. Bagaimanapun juga dia harus memastikan kalau pendengarannya tidak sedang bermasalah.
Naya bergeming. Napasnya berhenti detik itu juga dan tidak tahu apakah ia bisa mendapatkan oksigen lagi untuk bernapas.
"Tapi Anda tidak usah khawatir. Tumor yang saya maksud di sini adalah tumor jinak yang masih memiliki banyak peluang untuk sembuh," kata dokter memberi penjelasan dengan tersenyum sebagaimana seorang dokter yang harus bersikap tenang di depan sang pasien.
Bertepatan dokter selesai berbicara, Naya sudah bisa mengembuskan napas lega dengan mata terpejam menahan rasa takut yang baru saja berteriak-teriak dalam hatinya.
"Bukannya tumor bisa berindikasi ke kanker, dok?" tanya Arland yang bisa dibilang terlalu santai dengan diagnosis dokter ini.
"Jika tidak ditangani dengan cepat, kemungkinan iya. Namun, jika pasien memiliki kemauan yang besar untuk sembuh total, maka pasien harus menjalani segala pengobatan secara intens sejak tumor itu masih dini."
Naya dan Arland hanya diam. Pandangan mereka jatuh di wajah sang dokter, tetapi pikiran mereka berdua sedang melayang jauh saat ini. Meskipun tampak santai, jauh di pikiran Arland kini menyimpan keterkejutan yang amat besar bisa memiliki penyakit seperti ini. Sedangkan Naya, gadis itu amat takut dengan hal buruk sekecil apapun yang menimpa pangeran hatinya.
"Saya punya kenalan dokter di Tokyo. Baru minggu kemarin beliau menginformasikan ke saya kalau ada alat medis baru khusus penyembuh tumor yang sudah berhasil menyembuhkan orang-orang seperti Anda. Kalau mau, saya bisa bantu buat janji dengan beliau di sana. Bagaimana?"
Sontak Naya menoleh ke Arland di sebelahnya. Naya menginginkan cowok itu langsung menyetujui saran dokter tersebut. Saran yang sangat cemerlang sehingga bisa melegakan perasaan Naya dari ketakutan.
"Kalau untuk keluar negeri, saya harus bicarakan hal ini dulu dengan papi saya," kata Arland memberi tanggapan.
"Baik kalau begitu. Ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya kapanpun kamu siap." Dr. Darma menyodorkan sebuah kertas kecil berwarna putih yang langsung diraih oleh Arland. Cowok itu memandangi kartu nama tersebut dengan pikiran yang masih sama, tertuju pada penyakit yang sekarang hinggap di tubuhnya.
Setelah mendengar pernyataan dokter secara singkat dan jelas, serta mendapatkan beberapa resep obat dari sang dokter, Arland dan Naya keluar dari ruangan sederhana itu. Mereka melangkah menyusuri setiap bangsal dengan bisu.
"Kamu harus kasih tau hal ini ke papi kamu secepatnya," ucap Naya membuka obrolan. Sejak tadi wajah gadis itu masih dilanda kebingungan yang samar.
"Papi gue selalu sibuk. Gue nggak yakin kalo gue bisa kasih tau hal ini ke dia," balas Arland dengan bahu tergedik.
"Gimanapun caranya, papi kamu harus tau soal ini. Kamu harus jalanin pengobatan itu secepatnya. Nggak bisa ditunda-tunda," ucap Naya dengan nada setengah panik dan terdengar sangat tegas. Membuat senyum di bibir Arland tersulut lantaran gemas.
"Emangnya kalo gue jalanin pengobatan, udah pasti tumor ini bisa ilang? Nggak ada yang bisa jamin juga kan?" Salah satu alis Arland tertarik ke atas. Mereka sudah berbelok di sebuah pertigaan yang langsung menghubungkan mereka dengan apotek di ujung sana.
"Bisa. Tumor itu bisa hilang kalau kamu benar-benar jalanin pengobatan itu secara intens. Aku pernah baca soal jenis-jenis tumor dan besar kecilnya kemungkinan tumor itu bisa sembuh. Tumor kamu masih tergolong paling jinak dan itu bisa sembuh," jelas Naya panjang lebar tanpa tahu kalau cowok di sebelahnya sedang memperhatikan dengan seulas senyum di bibirnya.
"Iya, iya. Nanti gue ikutin apa saran dokter, deh. Tapi lo ngapain baca-baca soal tumor? Nggak ada bacaan lain emangnya?" kata Arland pada akhirnya, lalu diakhiri dengan pertanyaan lainnya.
Naya menghela napas akan usahanya yang menghasilkan akan keputusan Arland. Lantas Naya tersenyum dan menjawab pertanyaan Arland, "Aku punya cita-cita jadi dokter kanker. Jadi aku suka baca hal-hal yang bersangkutan dengan profesi itu."
Kening Arland berkerut. "Kenapa harus dokter kanker? Kenapa enggak dokter anak atau dokter kandungan?"
"Aku mau bantu mereka yang punya penyakit-penyakit seperti itu. Ya, walaupun aku nggak bisa menyembuhkan karena hanya Tuhan yang bisa, seenggaknya aku bisa melakukan yang terbaik untuk berusaha membantu mereka," jawab Naya sambil tersenyum. Seperti di wajahnya sedang mengimajinasikan sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Arland tersenyum melihat wajah polos Naya sedang berbicara. Wajah yang tampak sangat tulus yang belum pernah Arland lihat di gadis manapun.
Di ujung pembicaraan mereka ini, tiba-tiba Naya terbatuk. Awalnya masih biasa saja sampai batuk itu terus terdengar semakin keras dan membuat Naya menghentikan langkahnya.
"Lo gapapa?" tanya Arland yang juga menghentikan langkahnya. Ia sekarang cemas pada gadis itu.
"Aku gapapa," jawab Naya masih belum bisa menghentikan batuknya. Naya harus membungkam mulutnya dengan telapak tangan jika suara batuknya tidak ingin begitu kentara.
"Lo lagi batuk apa gimana?"
"Aku ke toilet dulu sebentar."
"Gue anter, ya."
"Nggak usah. Kamu di sini aja dulu. Aku bisa sendiri," ujar Naya yang langsung melesat meninggalkan Arland di dekat ruang tunggu salah satu koridor.
Sebelumnya wajah Naya tampak sumringah awalnya, tetapi sejak batuk itu muncul, wajah Naya tampak pucat seketika. Pucat yang sebelumnya pernah Arland temui di wajah gadis itu. Pucat yang serupa pada saat di kantin Naya hendak ke toilet juga.
Arland khawatir.
Naya berlari sekuat yang ia bisa untuk cepat sampai di toilet rumah sakit. Ia tidak habis pikir kenapa hal ini harus terjadi sekarang ketika ia sedang bersama dengan Arland. Seharusnya jangan sekarang.
Setibanya Naya di depan wastafle dengan cermin besar yang menghadang wajahnya, batuknya semakin sering sampai Naya tidak mempunyai kesempatan untuk bernapas. Terlebih ada cipratan darah kental dari dalam mulutnya. Detik itu juga kepalanya ikut terasa sedikit pening.
Naya segera membersihkan bercak darah di dalam wastafle ketika seorang wanita keluar dari salah satu bilik toilet di belakangnya. Sekalipun Naya tidak mengenal siapa wanita itu, Naya tidak ingin ada yang tahu tentang darah yang keluar dari mulutnya. Siapapun. Hanya Naya dan Tuhan yang boleh tahu perihal ini.
Kemudian Naya mencari obat di dalam tasnya. Naya menemukan wadah kecil itu. Namun, tidak ada satu obat pun yang tersisa di dalam sana. Naya baru ingat kalau semalam ia juga mengalami rasa sakit seperti ini dan mengharuskan ia meminum obat yang tersisa.
Naya menghela napas putus asa. Rasa sakit di tubuhnya akan terus menyerang jika obat tersebut tidak bisa ia dapatkan. Lalu di detik berikutnya, Naya tersentak. Sekarang ia tengah berada di sebuah rumah sakit yang mana pasti ia mudah mendapatkan obat tersebut. Lantas Naya bergegas keluar dari toilet dan menuju apotek di rumah sakit ini.
Namun, ada hal yang Naya lupakan. Tujuan sebelumnya Arland adalah tempat yang sama dengan tujuannya sekarang. Jika besar kemungkinan Arland lelah menunggu datangnya Naya dari toilet, maka tujuan cowok itu sudah dipastikan adalah apotek.
Mau tidak mau Naya harus menggunakan jalan lain untuk sampai di apotek. Ia bahkan mengendap-endap seperti pencuri yang sedang beraksi.
"Semuanya Rp. 475.000,-," kata seorang wanita di balik kaca apotek itu.
Naya membuka isi dompetnya. Lagi-lagi ia harus mengembuskan napas putus asa karena sesuatu yang buruk yang ia alami sekarang.