Jika aku hanya bisa mencintaimu tanpa ada seorang pun yang bisa menggantikan adalah sebuah kutukan, maka aku akan tetap memilih jalan hidup seperti itu ketika Tuhan melahirkan aku kembali.
Arland Nugraha
•••••
Setelah bergulat dengan pikirannya dalam waktu seperkian jam, akhirnya Arland memutuskan untuk mengetuk pintu di depannya ini. Sudah lima menit ia hanya berdiri sambil melanjutkan pemikirannya seperti di kamar tadi.
Selesai menghela napas panjang, pintu itu akhirnya terbuka. Pria tersebut tersenyum karena jarang sekali anak tunggalnya ini mau lebih dulu menemuinya. Bisa dibilang hal yang langka dalam beberapa tahun ini.
"Ada apa, Land?" tanya Tomi tampak sumringah.
"Ada yang mau Arland omongin sama papi. Arland tunggu di ruang tv," ujar cowok dengan setelan boxer dan kaus oblong hitam itu dengan datar. Lantas sang papi mengangguk dan mengikuti dari belakang anak laki-lakinya yang sudah lebih dulu menuju ruang tv.
Sunyi bercampur sedikit ketegangan yang mengawali suasana ruangan ini ketika dua laki-laki itu duduk berhadapan dengan tatapan berbeda. Kalau Tomi tampak senang karena sang anak yang memintanya lebih dulu, akan tetapi Arland justru tampak seperti tidak ingin melanjutkan keinginannya untuk berbicara.
"Sekarang kamu mau ngomong apa sama papi?" Pria itu yang akhirnya memecah keheningan ini.
Arland belum memulai dengan sepatah katapun untuk menjawab.
"Soal sekolah kamu? Atau kamu mau beli mobil baru lagi?" Tidak, tidak. Selama ini Arland tidak pernah meminta. Namun, sang papi yang terlalu menyayanginya sehingga rajin membelikan sang anak mobil keluaran baru setiap beberapa bulan sekali.
Arland menggeleng dengan bibir terkatup.
"Lalu? Soal apa?" Kedua alis Tomi tertarik ke atas. Karena saking senangnya ia tadi, sebagai Ayah, Tomi tidak sabar mendengar obrolan dari sang anak.
"Arland sakit."
Bibir Tomi terkatup ke dalam seraya meneguk salivanya. "Sakit?" Nada suaranya sedikit meninggi dari sebelumnya.
"Tumor otak."
Mata Tomi mendelik tidak percaya. Di samping itu salah satu tangannya juga terkepal kuat karena sangat terkejutnya Tomi dengan berita besar ini.
"Tumor otak? Kenapa bisa?" ulang pria itu karena masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Masih stadium awal."
Tomi memejamkan matanya untuk sesaat. Wajahnya tertunduk dengan kedua tangan terkatup yang menyanggah keningnya.
"Seharusnya papi lebih perhatian ke kamu. Papi sudah menjadi seorang ayah yang gagal," kata Tomi dengan parau. Bahkan, ia tidak mampu menatap Arland yang duduk di depannya.
"Gagal enggaknya seorang ayah bukan karena anaknya sakit atau enggak. Kata dokter ini masih bisa sembuh." Datar memang nada bicara Arland, tetapi tetap saja dia tidak ingin menyalahkan siapapun karena penyakitnya ini.
Pandangan Tomi terangkat berubah menjadi sedikit lega dengan pernyataan Arland.
"Berapapun biaya yang dikeluarkan akan papi bayar asal penyakit kamu bisa hilang. Papi akan berusaha untuk meluangkan banyak waktu untuk kamu. Papi tidak ingin lalai lagi," ucap Tomi memindah duduknya di sebelah sang anak. Ingin sekali Tomi menyentuh Arland walaupun hanya sebentar sekadar untuk memberi kehangatan seorang ayah. Namun, Tomi tidak ingin membuat Arland menjadi risi akan pergerakan itu.
"Ada alat medis canggih di Jepang untuk pengobatan tumor secara sempurna," lanjut Arland yang masih sama cara bicaranya sejak awal. Terlalu santai dan tidak menatap kedua mata papinya dengan benar.
"Minggu ini papi pastikan kita berangkat ke Jepang. Besok papi akan langsung urus secepatnya," balas Tomi tidak sabar.
Sejujurnya Arland senang dengan kepedulian sang papi yang memang sudah ia yakini sebelumnya karena Tomi amat menyayanginya. Hanya saja ada satu hal yang membuat Arland tidak ingin terlalu cepat untuk berangkat ke negara tirai bambu itu. Karena ada seseorang yang akan ia tinggalkan entah dalam waktu berapa lama.
Lantas Arland mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah Tomi. Posisi yang lebih dekat dari sebelumnya.
"Arland nggak mau berangkat ke Jepang dalam minggu ini."
"Kenapa?" tanya Tomi dengan heran. Tatapan Arland yang tidak biasanya membuat Tomi menilik sebentar raut wajah anaknya itu.
"Karena ada seseorang yang Arland akan tinggalin di sini." Tanpa sadar, keluar begitu saja kalimat yang sebenarnya tidak ingin Arland ucapkan pada Tomi.
Pelan-pelan sudut bibir Tomi tertarik membentuk senyuman. "Seorang gadis?"
Arland tersentak dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia baru sadar sekarang. "Pengobatan itu bisa dilakukan setelah ujian semester dua bulan lagi," ucapnya yang sengaja mengalihkan pembahasan.
"Tapi penyakit kamu harus segera diobatin, Land. Papi tidak bisa membiarkan begitu saja keadaan kamu yang nyatanya tidak baik-baik saja. Papi nggak mau terjadi apa-apa sama kamu."
"Nanti Arland bisa konsultasi sama dokter. Pasti ada pengobatan sementara yang bisa dilakukan di sini."
"Yasudah, kalau memang itu mau kamu. Besok papi akan carikan dokter terbaik di Indonesia untuk konsultasi soal pengobatan tumor." Tomi menepuk bahu Arland dengan pelan yang ditanggapi sebuah lirikan sedikit canggung oleh sang anak.
Arland mengangguk. Perasaannya lega karena dengan penyakitnya ini, Arland bisa mendapatkan kembali perhatian dari sang papi.
Sama halnya dengan Tomi yang merasa musibah ini justru membawa kebaikan untuk hubungannya dengan Arland. Bahkan, sebelum Arland menaiki tangga menuju kamarnya, Tomi bahagia lantaran mendapat senyuman selamat malam dari sang anak.
Line Mesaage
Udah tidur, Nay?
Sent to Ainaya Valyria
Baru saja Arland akan meletakkan ponselnya di nakas setelah mengirim pesan singkat itu, getaran di benda pipih itu langsung membuat Arland menyambarnya dengan senyum sumringah.
Ainaya : baru mau tidur. Baru selesai nulis.
Senyum cowok itu semakin mengembang. Lantas Arland menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan kedua tangan terangkat sambil meletakkan ponsel di udara, di atas pandangannya.
Arland : nulis apa sih?
Ainaya : nulis diary.
Arland melebarkan matanya lantaran terkejut apa yang ia baca di layar ponselnya.
Arland : what? Diary? Hari gini masih jaman nulis buku begituan?
Ainaya : lho, emangnya nggak boleh, ya?
Arland : ya, gapapa sih, Nay. Tapi kan itu biasanya dilakuin sama anak smp.
Ainaya : aku nulis diary sejak aku sd. Dengan nulis diary setiap malam, hati aku bisa lega. Selain sama Tuhan, aku bisa mengulang segala cerita aku hari ini ke sebuah tulisan. Jadi sewaktu-waktu aku bisa baca lagi diary ini buat mengulang hari-hari aku sebelumnya.
Sudut bibir Arland tertarik ke bawah seraya dengan kedua alisnya yang tertarik ke atas. Menurutnya kebiasaan Naya sedikit aneh, tetapi sayangnya Arland harus tersenyum karena hal aneh tersebut.
Arland : iya aja deh. Kapan-kapan gue boleh dong baca diary lo, hehe.