Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #29

Harian Ke-28 / Leukimia

Setiap manusia sudah memiliki kadar kehidupannya masing-masing. Berbeda tentunya. Namun, ada satu hal yang serupa yang harus mereka lakukan untuk kehidupan yang berbeda itu ... Bersyukur.

Ainaya Valyria

•••••

"Yang gue tanya sekarang, lo sama Naya pacaran apa enggak?" selidik Cakra yang bagaimana pun caranya ia harus bisa mendapatkan jawaban dari Arland. Namun, yang ditanya justru senyam-senyum tidak jelas sambil memutar-mutar sedotan di dalam gelas berisi es jeruk itu.

"Iya, Land. Awalnya gue sama Cakra sempet ngira kalo kedeketan lo sama Naya nggak akan bertahan lama. Palingan lo bosen dan bakalan cari mainan baru," tambah Gary yang dianggukan oleh Cakra.

Arland membawa pandangannya ke Gary, lalu bergantian ke Cakra. Masih sambil senyum yang tidak dimengerti oleh dua temannya itu.

"Lo bener. Gue akan kasih lo hadiah besar karena lo bener," kata Arland pada Cakra yang praktis mengerutkan kening lantaran bingung.

"Gue bener apaan dah?" Cakra dan Gary saling beradu pandang. Pasalnya sekarang Arland semakin mengembangkan senyumnya yang menurut mereka sangat menjijikan.

"I'm lose," jawab Arland meneguk minumannya sampai habis tak tersisa.

"Kalah apaan?" tanya Cakra yang masih belum mengerti sama sekali maksud temannya itu.

"Kalo ngomong yang jelas, setan! Jangan kayak mbah mijan pake teka-teki segala," gerutu Gary mulai habis kesabaran.

Arland terkikik. Padahal kalimat Gary bukan sesuatu yang pantas ditertawakan dalam suasana saat ini.

"Gue ...," ucap Arland terjeda. Gary dan Cakra mulai membuka kedua telinganya selebar mungkin, juga memandang Arland dengan sorot mata yang begitu intens.

"Nggak akan ...," lanjut Arland yang dengan sengaja menghentikan kalimatnya lagi untuk membuat dua orang di depannya penasaran berat.

Cakra dan Gary mengangguk. Masih serius menunggu kelanjutan kalimat Arland.

"Pernah ... Ke cewek lain lagi ... Kecuali, Naya."

Cakra dan Gary mendelik, lalu saling memutar untuk beradu pandang dalam beberapa detik. Kemudian Gary yang sepertinya baru memahami kalimat Arland, menyentak pandangannya ke cowok itu.

"Maksud lo, lo jatuh cinta sama Naya beneran?" Suara Gary membuat sebagian siswa di kantin menoleh ke arahnya. Diikuti dengan bisikan-bisikan yang sepertinya juga sama terkejutnya dengan pertanyaan itu. Tetapi sayangnya Arland sama sekali tidak peduli dengan hal tersebut. Ia bahkan menginginkan semua orang di sekolah ini tahu tentang perasaannya.

Arland tidak mengangguk atau menggeleng demi menjawab pertanyaan heboh dari Gary. Dia hanya tersenyum tipis sambil mengaduk-aduk es batu di dalam gelasnya dengan sendok.

"Lo serius, Land? Apa ini cuma bagian dari rencana lo aja buat ngerjain Naya?" Kali ini Cakra yang harus memastikan kalau Arland tidak memiliki niat buruk untuk Naya.

"Kalo gue ngerjain Naya, sama aja gue nyakitin dia. Dan nyakitin dia, sama aja bikin gue ancur."

"Wedew!!" seru Gary dan Cakra bersamaan seraya telapak tangan mereka yang beradu di udara.

"Berarti sekarang lo udah insaf?" tanya Cakra setelah menghentikan kehebohannya dengan Gary.

Arland hanya mengangkat alisnya seraya menekan sudut bibirnya ke bawah menjadi garis lengkung. Sambil mengangguk sekali.

"Alhamdulillah, ya allah!! Akhirnya playboy sekolah ini udah di kasih petunjuk oleh-Mu!!" seru Gary dengan heboh sambil mengangkat kedua tangannya ke udara seperti orang yang sedang berdoa.

"Seneng deh, gue dengernya. Tapi gimana ceritanya, Land? Bertahun-tahun lo yang anggep semua cewek sama sampe lo tega sama mereka, sekarang lo malah jatuh cinta begini sama Naya?" tanya Cakra.

"Nah, iya tuh, Land. Gue juga penasaran gimana caranya lo bisa jatuh cinta sama Naya? Terus berarti lo resmi kan, pacaran sama dia?" tanya Gary tidak ingin kalah.

Arland menggeleng. "Gue nggak pacaran sama Naya. Dia masih teguh sama prinsipnya kalo dia nggak mau pacaran."

"Kok, bisa? Berarti semacam hubungan tanpa status gitu?" tanya Gary lagi. Topik obrolan kali ini benar-benar topik yang paling berharga untuk dilewati begitu saja. Karena biasanya sebelum ini, yang mereka obroli hanyalah seputar mantan-mantan Arland yang terus menghubunginya dan meminta balikan dengan cowok itu.

Pembahasan yang membosankan bagi Cakra dan Gary.

Belum Arland menjawab pertanyaan beruntun itu, tangannya melambai ke udara lantaran gadis yang sejak tadi ditunggunya sudah memasuki area kantin. Arland memberi intruksi Naya untuk menghampirinya dan berada di satu meja yang sama.

"Hai, Naya," sapa Gary dan Cakra bersamaan sambil melemparkan Naya senyum yang begitu manis.

"Hai," sahut Naya. Lantas Arland memberikan kode ke Naya untuk duduk di sebelahnya. Sementara Riani yang memang datang bersama Naya, duduk di sebelah Cakra, berhadapan dengan Naya.

"Kamu mau makan apa?" tanya Arland dan mengundang ledekan secara terang-terangan dari Cakra dan Gary. Berbeda dengan Riani yang sudah mengetahui apapun hubungan Naya dan Arland, bersikap lebih biasa.

"Aku mau nasi goreng aja. Kamu mau makan apa, Ri?"

"Samain kayak lo aja deh, Nay. Lo yang traktir kan?" Pandangan Riani berpindah ke Arland.

"Iya, tenang aja. Selama lo jadi sahabat Naya, apapun yang lo mau, gue traktir," sahut Arland begitu percaya dirinya. Tidak peduli dengan umpatan Cakra dan Gary yang sudah sangat menganggu telinga.

"Ck," gumam Riani.

Setelahnya tidak ada obrolan penting lagi sampai makanan Riani dan Naya datang. Karena sebelumnya ketiga cowok itu sudah lebih dulu mengisi perut mereka. Hanya obrolan kecil yang terdengar samar antara Gary dan Cakra. Sesekali mereka berdua juga asik sendiri dengan permainan tidak jelasnya.

Sementara Riani dan Naya tengah menyantap nasi gorengnya tanpa bersuara. Dan Arland, cowok itu mengunci bibirnya yang menyimpulkan senyum karena begitu asik memperhatikan aktivitas makan Naya dari arah samping. Sambil menopang dagu dengan telapak tangan yang sikunya bertumpu di meja. Juga sedikit memiringkan kepalanya ke arah Naya.

Naya menoleh dan mendapati Arland yang memandangnya. "Ada apa?"

Cowok itu menggeleng sambil mengubah posisinya seperti biasa. Tidak lagi mengarah ke gadis di sebelahnya.

"Oiya, soal pengobatan ke Jepang, aku udah bilang ke papi," ucap Arland. Sontak membuat Gary dan Cakra menoleh bersamaan ke arahnya. Dengan mata melotot dan kening berkerut. Tidak dengan Riani yang sudah tahu apa yang terjadi pada Arland. Tentu saja Naya yang menceritakannya.

"Oya? Bagus dong. Terus gimana? Kapan kamu sama papi kamu berangkat ke Jepang?"

"Tunggu, tunggu. Ngapain lo ke Jepang, Land? Terus maksudnya pengobatan apaan dah? Lo sakit Land?" sela Cakra menghujani Arland pertanyaan yang wajib cowok itu jawab. Hal ini dua kali lipat lebih mengejutkan daripada perihal jatuh cintanya Arland dengan Naya sebelumnya.

"Gue kena tumor otak. Nggak parah sih. Tapi kata dokter kalo mau sembuh total dengan cepat, harus ke Jepang buat jalanin pengobatan canggih di sana," ungkap Arland terlalu santai dalam menjawab kalimat mengerikan ini.

"Anjir! Lo kena tumor ... Otak?" Suara Gary memelan lantaran ia sadar kalau posisinya sedang berada di tempat ramai.

"Ehm," sahut Arland menyomot potongan sosis dari piring nasi goreng Naya.

"Hal sepenting ini lo nggak ngasih tau ke kita?" tambah Cakra tampak tidak terima dinomorduakan.

"Sekarang kan, udah gue kasih tau."

"Iya, tapi telat, bagong!" sewot Gary.

"Yang penting kan, sekarang lo berdua udah tau."

"Ck," gumam Gary yang diamini oleh Cakra.

"Terus kapan kamu berangkat ke Jepang?" ulang Naya dengan pertanyaan yang sama sebelum Cakra memotong pembicarannya tadi.

•••••

Riani sengaja ingin memastikan kalau di dalam toilet ini tidak ada satu pun siswi selain dirinya dan Naya. Riani mendorong pelan-pelan setiap pintu yang ada di toilet. Sebab apa yang akan ia bicarakan dengan Naya sekarang akan menjadi berita besar jika ada satu siswi yang mendengar.

"Awalnya gue nggak percaya kalo Arland punya tumor. Udah kayak di film drama aja kan? Masa iya cowok yang bisa dibilang ... Okelah, dia nyaris sempurna, bisa punya penyakit kayak gitu," celoteh Riani tanpa memperhatikan mimik wajah Naya yang datar sambil menatap dirinya sendiri di cermin besar wastafle itu.

"Nggak ada yang nggak mungkin, Ri. Kamu tinggal lihat aja ke orang di sebelah kamu. Penyakit seperti apa yang ada di dalam diri aku." Naya mulai membuka keran yang mengalirkan kucuran air ke tangannya.

"Eh, maaf, Nay. Gue nggak bermaksud apa-apa. Sumpah gue nggak ada maksud buat nyinggung lo." Riani merutuki dirinya sendiri. Sesungguhnya Riani melupakan apa yang sahabatnya alami selama ini.

"Gapapa. Aku tau maksud kamu. Aku sendiri juga nggak nyangka. Aku kaget pas dokter bilang sesuatu yang mengerikan kayak gitu. Aku tau rasanya." Lalu Naya terdiam sebentar. "Tapi aku yakin Arland akan sembuh secepatnya." Dan tersenyum ke arah Riani dari pantulannya di cermin.

"Lo juga akan sembuh, Nay."

Naya mengangguk. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau ia bisa menang melawan penyakit dalam tubuhnya.

"Aku takut kalo Arland pergi ke Jepang," ucap Naya memandang dirinya sendiri di pantulan cermin di depannya.

"Kenapa takut?" tanya Riani penasaran.

Naya kemudian menoleh ke Riani sambil tersenyum tipis. "Kok, kita jadi ngobrol di toilet. Sebentar lagi udah mau bel. Ke kelas yuk," ujarnya dan beringsut pergi lebih dulu keluar dari toilet. Riani mengikutinya.

Lihat selengkapnya