Aku selalu siap jika kebahagiaan itu pergi. Namun, nyatanya semua hanyalah egoku saja. Karena sesungguhnya kenyataan itu bisa menghancurkanku.
Ainaya Valyria
•••••
Pagi ini semuanya tampak berjalan seperti biasanya. Dari mata terbuka sebelum mentari muncul, Naya sudah menyiapkan diri dengan apapun yang akan dia alami hari ini. Entah itu duka atau bahagia. Naya sudah siap dalam segala keadaan.
Dan kesiapannya itu membuat Naya mendapatkan hari yang indah. Di mulai dari ayahnya yang menghubungi Naya di waktu sarapan pagi. Datangnya Arland dan Riani secara bersamaan untuk menjemput Naya ke sekolah bersama, membuat Naya merasa begitu dipedulikan oleh dua orang berharganya itu.
Tidak sampai di situ, karena ketika Naya menginjakkan kakinya di sekolah, Bu Alma memintanya untuk datang ke ruangan wakasek yang sangat disegani oleh setiap siswa itu. Bu Alma menyampaikan sebuah kabar gembira kalau beasiswa Naya akan diperpanjang sampai kelulusan tiba. Juga akan berlanjut di universitas kelak. Semuanya sangat membahagiakan untuk Naya.
Begitu sempurna. Bahkan, Naya bisa melupakan apa yang ada di dalam tubuhnya. Naya merasa normal seperti kebanyakan orang-orang.
"Sorry, ya, Nay. Gue nggak bisa pulang bareng lo dulu. Gue harus nemenin nyokap gue ke acara kantornya. Gapapa kan?" tanya Riani merasa tidak enak.
"Gapapa, Riani. Kamu biasa aja, jangan kayak gitu. Aku malah yang ngerasa nggak enak karena selalu ngerepotin kamu mulu selama ini," balas Naya dengan senyum yang lebar.
"Lo pulang bareng Arland kan tapi?"
Bahu Naya tergidik pertanda tidak tahu apakah cowok itu akan menawarkan tumpangan.
"Gue bilangin deh, sama Arland-nya." Riani akan memanggil cowok itu yang masih terlihat mengobrol dengan Cakra dan Gary di bangkunya. Namun, segera Naya menghentikan pergerakan itu.
"Nggak usah, Ri. Kalo Arland nggak nawarin aku pulang bareng, aku bisa naik angkot aja. Udah lama juga aku nggak naik angkot. Nggak usah bilang ya," ucap Naya setengah memohon.
"Yaudah, deh. Kalo gitu gue duluan, ya. Nyokap gue udah nelponin mulu nih," kata Riani melirik ke ponsel yang ia genggam sejak tadi.
Naya mengangguk. Lantas Riani melimbai dengan langkah cepat keluar dari kelas. Sebagian siswa pun juga sudah berhambur keluar sejak bel tanda pulang berdering lima menit lalu.
"Kok, nggak pulang bareng Riani? Biasanya kamu sama dia," tanya Arland menghampiri Naya di bangkunya dengan pandangan mengikuti perginya Riani yang sudah menghilang di balik pintu.
"Riani ada acara sama mamanya," jawab Naya menoleh ke cowok yang baru saja berdiri di sebelahnya.
"Kebetulan banget dong."
"Kenapa emangnya?"
"Hari ini aku mau minta tolong kamu buat anter aku ke rumah sakit. Aku mau ketemu sama dokter buat konsultasi soal jalannya pengobatan sakit aku ini. Gimana? Kamu bisa?"
"Ke rumah sakit?" ulang Naya dengan wajahnya yang berubah getir.
"Iya, rumah sakit yang kemarin pernah kita datengin juga. Kamu mau kan, nemenin aku?"
Naya berpikir sebentar. Ia perlu mengusir ketakutannya terlebih dahulu ketika kakinya lagi-lagi harus kembali ke tempat mengerikan itu.
"Iya, aku bisa. Tapi aku pulang dulu, ya. Ganti baju sebentar sekalian pamit sama ibu. Hari ini aku nggak bawa ponsel." Akhirnya Naya mengiyakan tawaran itu, meskipun masih dengan sedikit keraguan yang tersirat samar.
"Kamu pake satu ponsel berdua ya, sama adik kamu? Soalnya waktu kapan itu, aku pernah telpon kamu. Tapi yang angkat adik kamu."
Naya mengangguk. "Iya, aku suka gantian pake ponsel sama Aini."
Cowok itu tampak sedang berpikir sambil mengusap dagunya dengan ibu jari. "Kalo gitu abis dari rumah sakit kita langsung ke toko ponsel, ya."
"Ngapain?" Naya mengernyit bingung.
"Yuk, buruan. Nanti keburu siang." Tidak menanggapi pertanyaan Naya, akhirnya Arland segera mengambil sikap. Ia menarik tangan Naya agar bangkit dari bangkunya, dan menarik tangan itu untuk mengikuti langkahnya.
Tiba dirumahnya, Naya menilik sebentar keadaan rumahnya yang terbilang sepi seperti tidak ada siapapun di dalam. Biasanya Aini sudah pulang sekolah. Tetapi sepertinya sang adik bisa dipastikan tidak ada di dalam.
"Sepi, Nay. Ibu sama adik kamu nggak ada di rumah kayaknya," kata Arland yang juga menyadari suasana sepi rumah Naya.
"Mungkin mereka lagi pergi." Naya mengintip dari cela jendela yang sedikit terbuka.
"Terus gimana? Kamu nggak jadi ganti baju?"
Naya mengembangkan senyum atas pertanyaan itu. Lantas ia membungkuk dan mengambil sesuatu yang terletak di bawah keset.
"Biasanya ibu naro kunci di sini," ucap Naya yang kembali menegak dengan sebuah kunci di tangannya. "Bener kan."
Kemudian Naya membuka pintu rumahnya. Ketika Arland akan mengikuti Naya melewati pintu itu, Naya menghadangnya.
"Kamu jangan masuk. Kamu di sini aja. Nggak enak kalo cuma berdua di dalam rumah dalam keadaan nggak ada siapapun."
"Iya, iya," sahut Arland sambil menyulut senyum.
"Aku ambil air minum dulu buat kamu. Mau minum apa?"
"Air dingin ada?"
Naya mengangguk. "Yaudah, tunggu sebentar, ya."
Setelah Arland mengangguk, Naya masuk ke dalam rumahnya. Baru beberapa detik setelahnya, Arland tampak gusar di bangku teras rumah Naya. Berulang kali ia menoleh ke dalam rumah Naya untuk menunggu kedatangan gadis itu.