Mencintaimu adalah hal terindah untukku. Namun, ketika setitik kebencian datang untukmu, itu adalah bagian yang paling terburuk dalam hidupku. Karena aku harus merasakan cinta dan benci dalam satu waktu yang sama.
Arland Nugraha
•••••
Perlahan Naya menekan gagang pintu sebuah ruangan serba putih itu. Di dalamnya sudah ada sepasang suami istri yang sedang terisak tangis. Terutama sang istri yang perlu mendapatkan rangkulan dari suami untuk menopang tubuhnya yang bisa saja jatuh karena kesedihannya sekarang ini.
Ruangan yang tidak begitu banyak menghasilkan suara ini, lebih didominasi dengan suara mesin detak jantung yang terdengar nyaring. Di bangkar itu terbaring seorang gadis kecil yang membuka setengah matanya, tetapi dalam keadaan setengah sadarkan diri.
Pelan-pelan Naya mendekat ke bangkar. Bersama Riani yang mengekori dari belakang.
"Permisi," sapa Naya dengan suara pelan. Membuat Renata dan suaminya menoleh bersamaan ke belakang. Segera Renata bangkit dari bangkunya dengan tergopoh-gopoh, lalu memeluk Naya sangat erat.
"Tante yang sabar, ya. Tante harus kuat," ucap Naya mengusap belakang punggung Renata. Naya juga sudah mengeluarkan airmata sejak kakinya melangkah masuk ke ruangan ini.
Masih sambil terisak, Renata melepaskan pelukannya. "Vania tidak bisa banyak bicara. Tapi tadi dia sempat memanggil-manggil nama kamu. Makanya saya langsung hubungi kamu," kata Renata, lalu membiarkan Naya mendekat ke bangkar. Mengambil posisi duduk di samping Vania yang tengah terbaring lemah.
Renata dan suaminya berdiri di ujung bangkar. Sementara Riani berdiri tepat di belakang Naya. Suasananya semakin haru ketika Naya mulai menyentuh tangan dingin Vania dan mengelusnya.
"Kak Naya," sebut Vania yang melirik kedatangan Naya di sebelahnya. Gadis itu sulit bergerak karena seluruh wajahnya sudah dipenuhi alat-alat medis guna menunjang pernapasannya.
"Hei," sahut Naya yang semakin bercucuran airmata. Ia tidak sampai hati melihat keadaan Vania yang sudah berada di titik paling ujung. Wajahnya yang pucat pasi, pandangan mata kosong, juga tubuhnya yang sangat kurus dan dingin.
"Kak Naya," sebut Vania lagi. Sepertinya ada yang ingin disampaikan gadis itu. Tetapi sayangnya sulit sekali dilakukan.
"Sesuai janji kakak kemarin, kakak akan kasih tau kamu sebuah rahasia besar. Kamu harus janji buat jaga rahasia ini, ya."
Vania mengangguk pelan dengan sebisanya.
Lalu Naya setengah bangkit untuk mendekatkan bibirnya ke telinga Vania. Naya masih tidak bisa menahan airmatanya dengan kondisi Vania yang seperti ini.
"Kamu nggak sendirian, Vania. Karena bukan hanya kamu yang sakit," ucap Naya dengan berbisik. Bahkan Riani yang berdiri di belakangnya tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Naya pada Vania.
"Kakak juga sakit. Kakak bisa merasakan apa yang kamu rasakan sekarang." Naya meneguk salivanya banyak sekali karena tenggorokannya terasa tidak mampu melanjutkan apa yang ingin ia ucapakan.
"Kamu nggak perlu takut. Secepatnya kita akan bertemu lagi ... Di dunia yang berbeda, dunia yang lebih indah. Nggak akan ada rasa sakit lagi untuk kita." Lantas Naya bergerak mendekat ke wajah Vania, mengecup kening gadis itu cukup lama.
Setelahnya Naya cepat kembali duduk di posisinya semula. Jantungnya berdetak cepat karena Naya mulai merasakan takut. Entah karena alasan apa Naya harus takut.
"Mah, pah," sebut Vania meliri ke arah Renata dan suaminya. Segera sepasang suami istri itu bergegas menghampiri panggilan sang anak. Berdiri di sisi lain sebelah bangkar.
"Iya, sayang. Mama sama papa di sini," ucap Renata mencoba menahan isak tangisnya agar tidak membuat Vania khawatir akan hal itu. Renata mendekat ke Vania, mengelus kepala Vania dan mengecup kening itu berkali-kali. Sedangkan Tio, ayah Vania sedang berusaha berdiri kokoh untuk menjadi penyemangat bagi anak dan istrinya sekarang.
Pelan-pelan tangan Vania bergerak. Berusaha meraih tangan mamanya dan menggenggamnya.
Tuuuuuuuuuut...
Praktis hawa dingin yang menelusup ke setiap lapisan kulit siapapun yang ada di ruangan ini, semakin membekukan tubuh ketika kehidupan seorang Vania diambil oleh Yang Maha Kuasa. Isak tangis Renata semakin menggelegar. Juga sang suami yang tidak bisa berdiri kokoh lagi seperti sebelumnya.
Begitu pula Naya. Dia bahkan tidak kuat melihat wajah Vania yang sudah tidak bergerak sedikitpun. Naya lebih memilih menyembunyikan wajahnya di pelukan Riani. Dada Naya ikut sesak karena kepergian Vania. Di samping itu, ada ketakutan yang menggumpal di dadanya, kalau cepat atau lambat, dirinya akan mengalami hal sama dengan Vania.
•••••
Untuk sebagian orang, tempat ini adalah tempat yang menyeramkan. Sebagian orang lagi mungkin sudah terbiasa ketika berada di tempat ini. Sedangkan untuk Naya, tempat yang mempunyai banyak pusara ini adalah tempat yang bisa membuat perasaannya bercampur aduk.
Takut, gelisah, dan duka.
Naya tidak bisa lagi mengeluarkan airmatanya ketika jasad Vania memasuki liang itu. Ketakutannya lebih mendominasi perasaannya. Bahkan, Naya tidak sadar kalau cengkraman tangannya sudah hampir membuat lengan Riani memerah.
Jantungnya berdegup sangat cepat ketika pikiran Naya melayang semakin jauh. Membayangkan bagaimana jika nanti dirinya juga akan menempati salah satu sudut di tempat ini.
Setelah mendapat bagian untuk mengusap batu nisan Vania, segera Naya memohon izin kepada Renata untuk segera pergi. Langkahnya terlalu cepat untuk dibilang jika Naya tidak ingin berlama-lama di tempat ini.