Cinta adalah salah satu tiang yang menguatkan pondasiku hingga sekarang. Dan akan segera hancur tak tersisa jika cinta itu pergi.
Ainaya Valyria
•••••
Kalau saja Naya tidak memiliki otak yang terbilang cerdas, mungkin sekarang nilai-nilainya sudah hancur karena apa yang sedang ia hadapi saat ini sangatlah tidak mudah. Naya bisa bertahan untuk menopang penyakitnya selama bertahun-tahun, tetapi menahan kebencian yang ia terima dari seorang Arland sangatlah menghancurkan pertahanannya.
Setiap malam, Naya tidak pernah bisa fokus pada tulisan-tulisan di buku pelajarannya. Yang dilakukannya hanyalah menulis kata 'maaf' di setiap bagian buku hariannya, sambil menangis, sambil mengingat berulang kali tatapan super dingin dari cowok itu.
Seperti sekarang pun sama ketika pelajaran berlangsung di kelasnya. Penjelasan para guru di depan sana sangat mudah ditepis oleh kedua telinga Naya. Tatapannya tidak pernah berpindah dari bangku milik Arland yang sekarang sudah ditempati oleh orang yang berbeda. Cakra dan Gary yang menempati bangku itu. Sementara Arland, entah di mana cowok itu berada.
Bel tanda pergantian jam pelajaran berdering. Setelah memberikan tugas harian, guru berhijab itu segera meninggalkan kelas sebelas IPA satu. Begitupun Naya yang bangkit dari tempatnya hendak menghampiri Cakra dan Gary.
"Ada yang mau aku tanyain ke kalian," kata Naya sudah berdiri di depan cowok itu.
"Tentang Arland?" Cakra menaikkan alisnya.
Naya mengangguk. "Hari ini dia nggak masuk sekolah atau gimana?"
"Mulai hari ini dan seterusnya, Arland pindah ke kelas IPA lima," jawab Gary.
Naya terdiam. Ucapan Arland semalam tidak hanya sekadar ancaman. Cowok itu benar-benar tidak ingin menemuinya lagi, sedikitpun.
"Sebenarnya lo ada apa sih, sama Arland? Tuh, anak kita tanyain terus nggak pernah jawab. Sikapnya juga melebihi dari sikap arogan biasanya. Kenapa sih?" tanya Cakra sangat penasaran.
"Arland marah sama aku."
"Kenapa?" tanya Gary.
Sebelum Naya menjawab, Pak Robert sudah memasuki kelas dan akan segera memulai jam pelajaran berikutnya. Segera Naya kembali ke bangkunya, yang membuat Cakra dan Gary semakin penasaran dengan masalah antara Naya dan temannya itu.
"Kumpulkan tugas lusa kemarin. Hari ini kita ulangan harian. Cakra, tolong bagikan soalnya ke yang lain," perintah Pak Robert.
"Iya, Pak," sahut Cakra dan segera bergegas mengikuti apa yang diperintahkan sang guru.
"Gimana? Kemana si Arland?" tanya Riani ingin tahu hasil pertanyaan Naya tadi.
"Arland udah benci sama aku banget, Ri. Mulai sekarang dia pindah ke IPA lima," jawab Naya dengan lesu. Kemudian menerima lembar soal dari Cakra yang baru tiba di mejanya.
"IPA lima? Nggak salah?" Riani sedikit terkejut dan tetap berusaha memelankan suaranya.
Naya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar frustasi. Semakin kecil peluangnya untuk berusaha memudarkan kebencian Arland padanya.
"Harusnya aku jujur dari awal. Mungkin aja itu akan lebih baik dari ini." Pandangan Naya mulai berpindah ke lembar soal di tangannya.
"Gue rasa, kapanpun lo jujur, respon Arland akan sama aja, Nay. Lo cuma bisa berusaha buat ngelupain dia seutuhnya. Dengan begitu rasa sakit lo akan berkurang," ucap Riani.
"Aku nggak bisa, Ri."
"Naya! Ada masalah?" teriak Pak Robert yang mendengar suara Naya mengobrol.
"Enggak, Pak. Maaf," sahut Naya sambil meringis.
"Ya sudah. Silakan kerjakan soalnya. Tolong jangan ada yang berdiskusi."
Seketika kelas yang sudah sepi menjadi lebih sunyi seakan jarum yang jatuh ke lantai pun akan bisa terdengar.
•••••
Di kantin.
Sepasang mata Cakra dan Gary melebar lantaran menemukan satu temannya yang sudah lebih dulu menduduki bangku di kantin ini bersama dengan dua siswi cantik yang mereka tidak kenali.
Arland duduk di tengah-tengah antara dua siswi itu. Tangan kanannya merangkul salah satu siswi berambut pendek dengan wajah yang cukup kentara dengan riasan. Arland terlihat tengah bergurau dengan dua siswi tersebut, tertawa sebegitu asyiknya.
"Katanya nggak mau ada cewek lain?" tanya Gary dengan nada meledek. Lalu mengambil posisi duduk di depan Arland, bersama Cakra di sebelahnya.
Tidak ada tanggapan dari Arland. Cowok itu bahkan semakin mengasikkan diri bersama dua siswi yang duduknya terlalu menempel dengannya.
"Baru kemaren gue ngerasa jijik sama cowok yang lagi kasmaran nggak ketolongan sama satu cewek. Bilangnya sih, nggak akan deketin cewek manapun lagi selain belahan jiwanya itu. Tapi nyatanya? Cuma bullshit, Bro!" ucap Cakra dengan gaya menyindir.
"Ternyata cuma alibi doang. Ck," tambah Gary ikut-ikutan. Meskipun teman dekat, Gary dan Cakra tidak menyukai sikap Arland yang mereka anggap sebagai pecundang ini.
"Bukan gue yang alibi, tapi cewek yang kalian maksud yang ternyata kebuka kedoknya," ucap Arland dengan sinis.
Cakra dan Gary sama-sama mengerutkan keningnya lantaran heran. Memang mereka ini belum mengetahui sedikitpun masalahnya, tetapi tetap saja Arland sudah keterlaluan.
"Lo nya aja kali yang terlalu negative thingking. Kalo diadain adanya cewek tulus di sekolah ini, gue pribadi sih pilih Naya," balas Cakra yang langsung membuat Arland melepas rangkulan pada siswi di sebelahnya. Beralih menatap Cakra dengan tajam.
"Lo berdua nggak tau apa-apa. Apapun yang gue lakuin, lo berdua nggak berhak buat berkomentar. Besok gue mau berangkat ke Jepang, jadi jangan sampai pertemuan terakhir kita ini bikin pertemanan kita jadi hilang karena satu cewek," ucap Arland dengan dingin. Seketika membuat dua temannya itu bergeming.
Kemudian Naya dan Riani baru tiba di kantin. Dan kedatangan mereka disadari oleh Arland yang langsung bangkit dari bangku, beringsut pergi sambil menggandeng salah satu siswi di sebelahnya. Seolah Arland memang sengaja membuat Naya melihat hal tersebut.
"Woi, Land! Mau kemana!" teriak Gary yang sama sekali tidak dipedulikan oleh sang empunya.
"Biarin, Ger. Nanti dia sendiri yang nyesel sama perbuatannya. Bagus juga si Naya nggak deket-deket lagi sama cowok brengsek kayak dia," kata Cakra mulai kesal.
"Gilak, ya! Gue pikir dia udah beneran insaf. Naya ke cowok lain baru tau rasa," celetuk Gary sengaja mengeraskan suaranya. Berharap orang yang dimaksud mendengarnya.
Sementara itu Naya yang melihat sangat dekat tangan Arland menggenggam seorang siswi sangat mesra, harus mengesampingkan rasa sakitnya demi menahan lengan cowok itu. Masih tetap berusaha meminta maaf.
"Arland," sebut Naya ketika cowok itu tepat melintas di depannya.
Arland berhenti sebentar dengan menghadap ke samping. Karena egonya masih tinggi, tekad Arland sudah bulat untuk tidak menatap wajah Naya. Meskipun hanya sedetik.
Tidak ada sahutan apapun dari cowok itu. Hanya beberapa detik Arland membiarkan Naya menyentuh lengannya. Lantas Arland menarik tangannya dengan kasar. Menjauhkan sentuhan Naya tanpa kelembutan sedikitpun. Dan hal itu sangat membuat perasaan Naya memburuk.
Arland melimbai pergi. Meskipun ia tahu secara samar kalau mata Naya berkaca-kaca, Arland justru sengaja membuat dirinya seperti monster bagi gadis itu.
•••••
"Gue mau ngomong sama lo sebentar," ucap Riani berdiri di tengah lapangan. Sengaja menghentikan permainan basket ketiga cowok itu.
Arland menghentikan pergerakannya ketika akan melempar bola oranye itu ke dalam ring. Tatapannya pada Riani tidak lebih baik dengan tatapannya untuk Naya.
"Gue nggak ada urusan sama lo. Dan gue juga nggak ada waktu," kata Arland dengan ketus. Lalu kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.
"Penting kali, Land. Istirahat dulu deh," ucap Cakra seraya menangkap bola yang jatuh dari dalam ring.
"Nggak ada yang penting kalo cuma ngebahas orang yang udah nggak penting lagi buat gue," balas Arland merebut bola di tangan Cakra. Juga sengaja mengeraskan suaranya sehingga Riani yang masih berdiri di belakang sana bisa mendengarnya.
"Lo pecundang!" teriak Riani, praktis membuat Arland berbalik dengan tatapan lebih tajam dari sebelumnya.
"Temen lo yang pembohong! Dan hal yang paling gue benci di dunia ini adalah cewek pembohong!"
Melihat perdebatan antara Arland dan Riani sudah dimulai, Cakra bersama Gary perlahan meninggalkan area lapangan. Sengaja membiarkan dua orang itu berbicara.
"Naya nggak pernah bohong soal apapun. Dia cuma menunda penjelasannya mengenai siapa dirinya. Dari awal Naya sengaja nggak mau memperkenalkan diri sebagai teman masa kecil lo karena dia berharap kalo lo akan ngenalin dia sebagaimana mestinya."
Arland membuka telinganya. Tetapi tetap penjelasan Riani tidak berarti apa-apa atau membuat kebenciannya pada Naya memudar.
"Tapi ternyata lo nggak ngenalin Naya. Naya anggap lo lupa sama dia. Naya anggap kalo dia emang nggak berarti apa-apa buat lo sejak dulu. Jadi Naya ngebiarin lo nggak tau siapa Naya. Dan alasan lainnya karena ...," ucapan Riani berhenti.
"Karena apa?"
"Dia takut lo membenci dia. Karena itu adalah hal terburuk dalam hidupnya," jawab Riani yang membuat Arland bergeming dengan sebuah sengatan kecil di hatinya. Namun, pada akhirnya tetap saja sama pilihannya. Membenci gadis itu.
Pandangan Arland bergeser dari wajah Riani yang sudah mulai kepanasan karena teriknya matahari. Pikirannya sedang mengulang kembali setiap ekspresi Naya ketika meminta maaf padanya. Gemetaran, pucat, dan sangat ketakutan pastinya. Hampir saja kemarahannya mereda, namun tetap saja pada akhirnya kalau pilihan Arland sama seperti awal. Membenci gadis itu.
"Gue udah nggak peduli sama apapun alasan kebohongan itu. Gue nggak akan pernah mau kenal lagi sama gadis kecil yang udah ninggalin gue siang itu." Tangannya mengepal seraya rahangnya yang menegang. Semakin menambah rasa bencinya ketika memori pahit itu berputar kembali di otaknya. Terlihat jelas di layar matanya.
"Kalo lo emang sayang sama Naya, lo akan menyesal dengan keputusan lo ini." Riani berbalik, melangkah dengan kekesalan yang menggumpal di dadanya. Karena seandainya Arland tahu mengenai hidup Naya yang sedang berada di ujung tanduk, mungkin saja keputusannya akan berubah. Dan pikiran itu membuat Riani menghentikan langkahnya, kembali berbalik karena berniat memberitahu Arland rahasia besar itu.
"Naya ...."