Kesekian kali aku pernah melakukan kebodohan, menyakitimu adalah yang paling terburuk dari segala kebodohanku.
Arland Nugraha
•••••
Dengan lesu Arland kembali ke ruang tunggu ICU. Selama kakinya berjalan, selama itu pula pikirannya tidak pernah berhenti tentang bagaimana cara membuat penyakit Naya menghilang. Bagaimana caranya agar Naya bisa hidup lebih lama di dunia ini tanpa perlu bergantung dengan obat-obatan atau semacamnya. Sekalipun hal itu akan ditukar dengan hidupnya. Arland akan siap sedia memberikan hal itu.
Harapannya kini terletak pada hasil kecocokan hatinya untuk bisa didonorkan ke Naya. Tindakan bodoh memang bagi seseorang yang mau-maunya memberikan nyawanya dengan mudah kepada orang lain. Namun, tidak ada di pikiran Arland selain bagaimana cara membuat Naya bertahan hidup. Hanya itu. Cintanya untuk Naya sudah menenggelamkan Arland terlalu jauh ke dasar samudera.
"Nak Riani, tante mau pulang sebentar. Kasian Aini di rumah sendirian. Tante bisa minta tolong sebentar untuk jaga Naya? Secepatnya tante balik lagi ke sini."
"Iya, tante. Riani jagain Naya sampai tante balik lagi," sahut Riani dengan senang hati.
"Kalo gitu biar Arland yang antar tante pulang," sela Arland yang baru menginjakkan kakinya di antara onbrolan dua orang itu.
"Nanti malah merepotkan Nak Arland," kata Anita merasa sungkan.
"Sama sekali enggak, Tante. Yaudah, mari saya antar."
Akhirnya Anita mengangguk meskipun masih dengan wajah yang sedikit segan atas tawaran cowok itu.
"Jagain Naya, ya. Secepatnya gue balik lagi," kata Arland pada Riani.
"Tenang aja. Tanpa lo suruh pun pasti gue lakuin kok. Lo hati-hati bawa mobilnya," balas Riani sebelum akhirnya Anita dan Arland melangkah menjauh dari posisinya.
Sesampai di rumah sederhana itu, ada hawa dingin yang menyambut kedatangan Arland ketika ia memasuki ruang tamu. Bukan karena hal gaib atau semacamnya, melainkan karena terakhir dia di tempat ini adalah waktu yang paling buruk karena membuat Naya menangis tersedu. Pemandangan yang sebenarnya kala itu sangat menghimpit hatinya hingga menyesakkan, tetapi harus diabaikan karena ego besarnya yang lebih mendominasi.
Kalimat kasar yang harusnya tidak pernah ia keluarkan hanya karena trauma masa lalunya yang pahit. Dan tindakan paling bodoh sehingga membuat Naya menangis tanpa henti. Hal yang sangat-sangat disesali Arland sekarang.
"Bu, gimana keadaan Kak Naya? Aini nggak bisa fokus di sekolah. Aini mau lihat Kak Naya di rumah sakit," sergah Aini keluar dari kamar dengan mata berkaca-kaca ketika menemui sang ibu yang baru sampai.
Anita memeluk Aini sambil mengelus rambutnya. "Kak Naya belum sadarkan diri, Nak. Tetapi insya allah kata dokter keadaannya sudah stabil. Kita terus berdoa aja, ya."
"Aini sayang sama Kak Naya, Bu," ucap Aini yang kemudian menangis.
"Kakak kamu pasti baik-baik aja, Nak. Kamu sudah makan?"
"Udah, Bu."
"Nak Arland, tunggu sebentar tante buatkan minum dulu, ya."
"Iya, tante."
Kemudian Anita bersama Aini meninggalkan ruang tamu menuju dapur. Sementara Arland masih sibuk dengan pikirannya sendiri sambil memandangi kembali setiap sudut rumah ini. Dan entah sadar atau tidak, Arland bangkit dari sofa ketika melihat pintu kamar Naya yang terbuka sedikit. Langkah kakinya membawa Arland mendekati pintu kamar itu dan mendorong pintu terbuka lebih lebar. Lalu memasuki kamar Naya semakin dalam.
Diambilnya perlahan botol air minum yang tertata rapi di meja belajar Naya. Botol berwarna biru miliknya ketika masa anak-anak dahulu. Botol itu juga yang pertama kali membuatnya mengingat segala hal buruk masa lalunya sehingg membuat emosi besar dalam dirinya dan lepas kendali.
Arland menggenggam sambil memandangi botol air minum itu. Matanya berkaca-kaca ketika mengulang kembali kalimat yang ia lontarkan sendiri kepada Naya siang itu. Pasti sangat menyakitkan untuk Naya. Dan bodohnya Arland tidak mempedulikan rasa sakit Naya pada siang itu.
Bego, bego, bego.
Karena terlalu menyalahkan dirinya sendiri, Arland tidak sadar dengan kedatangan Anita yang menghampirinya. Lebih tepatnya wanita itu menghampiri meja belajar Naya dan membuka sebuah laci kecil di meja itu. Lalu mengambil sebuah buku di dalam sana.
Arland mengerutkan keningnya lantaran bertanya-tanya dengan pergerakan Anita yang kemudian menyerahkan buku itu padanya.
"Tante nggak tau apa isi buku ini. Tapi tante yakin ini adalah buku harian Naya. Naya menulis sejak dokter memvonis dengan penyakitnya itu. Setiap malam Naya selalu menulis di buku ini. Tante tau karena sebelum tidur, tante selalu melihat hal itu dari celah pintu kamar Naya."
Arland mendengarkan secara jelas apa yang diucapkan Anita. Namun, pandangannya sekarang tengah jatuh pada buku harian di tangannya dengan lekat.
"Tante pun tidak tau pasti apakah di dalam buku itu tertulis nama kamu atau tidak. Tapi sejak Naya duduk di kelas lima SD, hanya satu nama laki-laki yang sering dia sebutkan di depan tante. Sampai sekarang, hanya nama 'Arland' yang selalu diucapkan Naya sambil tersenyum. Meskipun Naya tidak pernah mengakuinya, sebagai seorang ibu tante yakin kalau kamu adalah salah satu orang yang penting bagi Naya." Mata wanita paru baya itu mulai tergenang gumpalan air yang siap jatuh kapan saja.
"Terutama dalam berjuangnya Naya melawan kanker hati selama ini. Mungkin kamu termasuk orang yang bisa menguatkannya sampai sekarang," sambung Anita, lalu membuat Arland membawa pandangannya ke wanita itu dengan tatapan nanar.
"Kamu bisa bawa buku harian ini. Kamu bisa baca sehingga kamu tau apa yang Naya rasakan selama ini. Dan kalau benar di dalam buku harian ini tersebut nama kamu, berarti buku ini memang diperuntukkan ke kamu."