Tidak pernah berhenti, terus berputar, dan akan ada di mana dia hilang selamanya. Dia adalah waktu. Yang sekarang aku miliki sedang berjalan, tetapi akan segera berhenti ketika waktunya sudah ditentukan.
Ainaya Valyria
•••••
Akhirnya malam itu Naya tersadar dari tidurnya selama beberapa jam. Tidak terlalu lama memang, tetapi cukup membuat orang-orang di sekelilingnya merasakan ketakutan tiada henti. Orang tua, sahabat, terutama satu cowok yang menjadikan ketidaksadaran Naya adalah hukuman terberat untuk kebodohannya.
Setelah Naya membuka matanya kala itu, seharusnya banyak waktu yang diperlukan untuk membuat kondisi Naya kembali pulih seperti semula. Terlebih sudah terlalu lama tubuhnya menunggu donor hati dari seseorang yang tak kunjung cocok. Bagaikan tanaman yang sudah lama tidak diguyur hujan. Layu, lemah, dan akan segera mati jika hujan itu tidak segera turun dari langit.
Arland, yang pada saat itu sangat berharap hatinya bisa didonorkan untuk Naya, sayangnya kenyataan tidak lagi berpihak padanya. Doa sang papi lebih kuat terkabul karena hasil dokter menyatakan tidak cocok. Yang artinya Arland harus memusnahkan harapannya untuk bisa membuat Naya sembuh.
Namun, hari-hari setelah kesadaran Naya malam itu adalah hari yang baru untuk Arland dan Naya. Keduanya semakin dekat dan terikat. Memang belum ada hubungan yang diutarakan melalui lisan. Akan tetapi dengan kedua hati yang mempunyai tujuan sama sudah menjawab bagaimana hubungan mereka sekarang. Tujuan untuk tidak saling menyakiti, saling melengkapi, dan saling membahagiakan.
Dan hal itu benar-benar membuat kekuatan baru bagi Naya. Hidupnya yang sedang berada di ujung jurang, seolah berubah drastis sehingga membuat hidup Naya berpindah ke udara. Di mana setiap detiknya Naya merasa terbang sambil didampingi oleh pangeran masa kecilnya dahulu. Benar-benar sesuatu yang bisa melebihi obat-obatan Naya guna menunjang hidupnya bertahan lama.
Sampai akhirnya di hari keenam Naya berada di rumah sakit, ia memaksa dokter untuk mengizinkannya pulang. Naya mulai merasa ada belenggu yang terus menahan kebebasannya ketika sudah ada banyak yang siap sedia menopang tubuhnya jika nanti akan tumbang lagi. Naya hanya perlu orang-orang yang menyayanginya. Karena jika Naya terus berada di rumah sakit, itu berarti kehidupannya tidak akan berarti lagi untuk dijalani.
Jadilah kini Naya sudah berada di rumahnya. Dengan catatan dirinya harus rutin meminum obat dan kembali ke rumah sakit dalam beberapa waktu yang sudah ditentukan sang dokter untuk sekadar cek kondisinya. Naya sendiri merasa sudah sehat sempurna. Seperti penyakit dalam tubuhnya sudah hilang dan takkan pernah kembali lagi.
Selain itu, kebahagiaan Naya terus berlanjut dengan kepulangan sang ayah dari kota gudeg itu dan akan memutuskan untuk menetap di Jakarta. Robi memilih untuk melanjutkan usaha dagangnya di sebuah pasar tradisional daerah Jakarta. Salah satu alasan terbesarnya sebagai ayah yaitu tidak ingin terlalu lama jauh dari keluarga. Terutama sang putri sulungnya yang sudah lama menginginkan hal itu.
Ya, kini Naya memulai harinya yang baru. Entah ini awal menuju akhir, atau memang ini adalah akhir yang akan segera berakhir. Naya akan tahu jika waktunya benar-benar berhenti.
•••••
Sebut saja Naya pernah menganggap bahwa kehidupannya akan segera berakhir ketika berada di tempat ini. Karena malam itu adalah malam yang indah untuknya. Malam yang bisa menyaksikan bunga-bunga bermekaran di hatinya.
Salah satu kejadian yang tertulis secara rinci di dalam buku hariannya. Malam di mana Arland mengajaknya ke suatu tempat dengan pemandangan sangat indah. Sebuah restaurant milik keluarga Arland yang kini dipersiapkan lebih indah lagi dari sebelumnya.
Kedua kalinya Arland membawa Naya ke tempat ini. Sebab kala itu Naya tersenyum ketika berada di sini. Sehingga membuat Arland ingin terus membuat senyum itu abadi. Tidak akan pernah hilang lagi dari wajah Naya yang kian hari semakin memucat. Sekalipun tubuhnya terasa lebih baik, tetapi kekuatan itu tetap tidak bisa melunturkan pucat setengah pasi dari wajah Naya.
Namun, sejak tiba di tempat ini, Naya selalu sumringah. Pandangannya tidak pernah lepas dari suasana pegunungan yang mengelilingi restaurant ini. Arland sungguh menyadari apa yang tampak jelas di hadapannya. Secara praktis juga membuat sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis karena kebahagiaan gadis itu.
"Kamu seneng aku ajak ke sini?" tanya Arland di tengah-tengah aktivitas makan malam saat ini. Atau bisa dibilang sejak tadi Arland belum menyentuh makanannya. Matanya terlalu fokus memperhatikan setiap inci pergerakan Naya. Dari cara makannya, menyeruput minuman dengan anggun, termasuk ketika Naya mengunyah makanan itu sampai habis. Naya menyadari pandangan Arland yang terlampau lekat ke arahnya, tetapi Naya lebih memilih membiarkan cowok itu menatap sepuasnya.
"Sama seperti kamu ajak aku ke sini pertama kali. Aku selalu bahagia ketika aku berada di ketinggian seperti ini. Rasanya aku kayak ada di langit," jawab Naya memperlambat pergerakannya.
Senyum Arland mengembang dengan jawaban itu. Matanya masih saja tidak berkedip memandangi Naya sambil menopang salah satu dagunya dengan kepalan tangan.
"Kita pulang besok, ya," ujar Arland sontak membuat kening Naya berkerut.
"Besok?" balas Naya sedikit terkejut.
"Di dekat sini ada vila keluarga aku. Kita nginep semalam dulu di sana. Kita nggak cuma berdua, kok. Ada dua mamang penjaga vila dan dua bibi yang nanti akan ngurusin keperluan kita. Mereka anak-anaknya mbok Ijah," jelas Arland yang pada akhirnya membuat Naya mengangguk paham.
"Berarti aku harus izin dulu sama ayah dan ibu di rumah."
"Nggak perlu. Pas lagi nunggu kamu ganti baju tadi, aku udah izin ke mereka." Senyum cowok itu semakin melebar lantaran berhasil membuat kejutan kecil untuk Naya.
"Terus kata mereka apa?"
"Mereka mengizinkan asal kita nggak berbuat macam-macam. Terus ...," ucapannya berhenti. Arland mengubah ekspresinya seperti akan berniat menjahili gadisnya itu.
"Terus apa?"
"Aku harus bawa pulang kamu dengan selamat tanpa goresan sedikitpun," lanjut Arland yang kemudian mulai menyantap sedikit makanannya sambil senyam-senyum.
"Oh. Kirain apa," kata Naya menarik napas lega. Ekspresi cowok itu mampu membuat jantungnya seketika berdebar.
"Aku gemes liat kamu deg-degan begitu." Tangan cowok itu terjulur mencubit pipi Naya.
Naya mendesis seraya memajukan bibirnya secara samar. Sambil mengelus pipinya yang baru saja dicubit oleh cowok di depannya. Tidak terlalu kencang memang, namun mampu membuat jantung Naya berdegup sangat cepat seiringan bibirnya yang tersenyum tipis.
"Aku udahan makannya. Kenyang banget. Sekarang aku boleh ke pinggir balkon?" tanya Naya meminta izin melakukan sesuatu yang sejak tadi ingin sekali ia lakukan. Bahkan, sebelum makan malam dimulai, gadis itu terus merengek ke Arland untuk bisa melihat pemandangan di belakangnya itu.
Arland mengangguk sambil tersenyum. Praktis membuat Naya sangat sumringah dan segera bangkit dari kursi, berlari kecil ke pinggir balkon.
Wajah Naya kini sangat berbinar. Pancaran senyumnya bisa saja menandingi indahnya sinar bulan yang sekarang tengah menjadi penonton di atas langit sana. Tangan Naya kemudian mencengkram penyanggah besi yang menjadi pagar di balkon tersebut. Lalu menarik napasnya sangat dalam seraya matanya yang terpejam. Beberapa detik barulah Naya mengembuskan napasnya dengan kasar.
"Seandainya aku bisa terus ada di tempat ini," gumamnya tetapi tetap bisa didengar oleh Arland yang sekarang sudah berada tepat di belakangnya.