"Jadi gimana kemarin? Ceritain ke gue dong. Gue kepo nih. Pasti seneng banget kan, bisa ngabisin waktu sama cowok yang kita sayang?" tanya Riani dengan tidak sabar. Mobil yang mereka tumpangi baru saja keluar dari gedung sekolah. Naya meminta Riani mengantarnya ke suatu tempat hendak mengunjungi seseorang.
Naya belum berkomentar. Hanya bibirnya saja yang menjawab rasa penasaran Riani. Naya tersenyum terlalu bahagia.
"Kalian nggak ngelakuin ...," kata Riani lalu membengkok-bengkokan telunjuk dan jari tengahnya seperti memberikan sebuah kode jahil lantaran mencoba menerka-nerka apa yang dilakukan Naya bersama Arland kemarin di vila.
Sontak Naya melototkan matanya. "Astaga, Riani. Kamu mikirnya terlalu jauh. Nggak mungkinlah aku ngelakuin yang macem-macem. Nggak baik tau." Kemudian Naya tampak menunduk karena dugaan Riani membuatnya sedikit tersipu malu.
"Bercanda, Nay. Gue juga tau kok, kalo nggak mungkin lo berbuat macem-macem. Abis gue penasaran banget sama apa yang lo lakuin di vilanya Arland," ucap Riani memilin bibirnya.
"Malamnya aku liat pemandangan dari restaurant yang pernah aku ceritain ke kamu waktu itu. Terus pas di vila, pagi-pagi Arland nyiapin aku sarapan ala inggris gitu. Setelahnya aku diajak naik ayunan, terus jalan-jalan sebentar ke daerah perkampungan dekat situ," papar Naya sambil membayangkan kembali detik demi detik berharga yang terjadi kemarin. Tentu saja senyum di bibirnya menjadi pengiring di setiap kata yang Naya ucapkan.
"Duh, romantis bener kedengerannya. Nggak heran sih, namanya juga mantan playboy, kan. Jadi ya, pasti dia udah biasa bersikap sok manis ke cewek." Bahu Riani tergidik sambil melengkungkan bibirnya ke bawah seraya alisnya yang tertarik bersamaan.
"Riani, udah dong. Sekarang Arland udah berubah kok. Kamu juga udah tau lebih banyak kan, gimana dia selama aku di rumah sakit?"
"Iya, iya. Gue salah pernah punya prasangka buruk sama Arland."
Naya menarik bibirnya semakin lebar sambil menepuk pelan pipi Riani.
"Habis dari makam Vania, kita ke taman dulu, ya," ujar Naya kemudian.
"Mau ngapain? Bukannya lo ada janji sama Arland buat ke rumahnya?"
"Iya. Nanti aku minta tolong Arland buat jemput di taman aja. Soalnya aku lagi pengen makan es krim sama kamu."
"Maksudnya lo ngajak gue kencan?" Riani melongo.
Naya terkekeh pelan. "Nggak gitu juga, Riani. Cuma makan es krim kok. Emangnya salah makan es krim sama sahabat sendiri?"
"Enggak, sih. Tumben aja ngajak gue makan es krim," kata Riani menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Naya hany tersenyum tipis menanggapi keheranan yang tampak di wajah Riani.
Kemudian, mobil Riani sudah terparkir di area pemakaman umum tempat di mana Alm. Vania terbaring di salah satu sudut itu. Naya dan Riani segera turun dari mobil, lalu menghampiri sebuah pondok kecil di dekat pintu masuk pemakaman untuk membeli air mawar dan satu kantung plastik bunga yang akan ditaburi di tempat peristirahatan Vania nanti.
Mereka pun mulai memasuki lebih dalam pemakaman itu. Arahnya langsung tertuju ke sudut tengah tempat pusara Vania berada.
Pertama-tama Naya mendekat ke batu nisan Vania dengan perlahan, lalu menarik tubuhnya ke bawah untuk berposisi jongkok sambil menatap batu yang tulisannya sudah mulai luntur karena air hujan.
"Hai," sapa Naya setengah berbisik sambil mengelus batu nisan itu.
"Gimana kabar kamu di sana? Pasti kamu udah bebas, ya."
Diam. Naya perlu menelan salivanya lantaran seperti ada sesuatu yang mengganjal ketika ia akan berbicara lagi. Naya menunduk mulai merasa tidak nyaman. Dan pemandangan tersebut disadari oleh Riani yang jongkok di sebelahnya. Lantas Riani mengusap pelan bahu Naya guna menenangkan sahabatnya itu.
"Di sana kamu pasti udah bahagia. Kamu nggak akan pernah ngerasain sakit lagi."
Terkadang aku juga ingin bebas seperti kamu. Bebas dari semua rasa sakit yang sering kali membuat aku putus asa.
Naya hanya tidak ingin Riani mendengar bisikan hatinya barusan.
"Sekarang aku juga merasa baikan. Semua ini karena orang-orang di sekitarku yang selalu sayang sama aku. Mereka yang menguatkan aku," sambung Naya masih berbicara di depan pusara Vania. Lalu Riani mendekat, merangkul Naya sambil menyandarkan sisi kepalanya di bahu Naya.
Tidak banyak berbicara lagi setelahnya, Naya lalu mulai menaburi bunga yang tadi dibelinya. Sedangkan Riani menyiram pusara itu dengan air mawar yang sejak tadi ada di tangannya.
"Aku pulang dulu, ya. Aku belum tau kapan bisa ke sini lagi. Tapi secepatnya pasti aku akan datang lagi ke sini kok," ucap Naya lalu bangkit bersamaan dengan Riani. Sebelum berbalik, Naya memandangi pusara Vania secara keseluruhan dalam beberapa detik. Barulah Naya dan Riani meninggalkan pemakaman Vania.
Sesuai apa yang diinginkan Naya di mobil tadi, sebelum Arland datang menjemputnya, Naya meminta Riani untuk datang ke taman dan memakan es krim bersama.
Kini keduanya sudah duduk di salah satu bangku taman yang berposisi tepat di bawah pohon rindang sehingga bisa menghalangi teriknya matahari menjelang sore ini.
"Makasih, ya," ucap Riani ketika menerima sodoran es krim cokelat dari Naya yang kemudian juga duduk di sebelahnya.
"Bukannya gue aja sih, yang beliin es krimnya," kata Riani menggerutu.
"Sekali-kali aku boleh dong, traktir kamu es krim. Jangan kamu terus yang ngeluarin uang untuk jajanin aku," balas Naya sambil memulai menjilati es krim vanilanya. Begitupun Riani yang tenggorokannya sudah kering karena cuaca panas hari ini.
"Es krimnya enak," kata Riani berkomentar.
"Ri," panggil Naya dengan wajah serius menoleh ke Riani.
"Hm." Sambil menyahut, Riani masih terlalu fokus dengan es krimnya yang tersisa setengah. Berbeda dengan Naya yang menyantap es krim miliknya pelan-pelan.
"Makasih, ya."
"Makasih buat apa?" Riani masih belum menyadari wajah Naya yang berubah serius kali ini. Ia masih berkutat ke es krim punyanya.
"Terimakasih untuk semuanya."
Riani menoleh. Ia mulai menangkap ada sesuatu yang tidak beres dari cara bicara Naya. Lantas Riani membuang sisa es krim yang masih sedikit di tangannya ke tempat sampah yang tidak jauh dari posisi duduknya.
"Terimakasih karena udah mau jadi sahabat aku selama ini. Selalu peduli, selalu jadi apa adanya, dan terimakasih juga untuk kehadiran kamu di hidup aku." Es krim di tangan Naya sedikit demi sedikit sudah mulai mencair hingga mengenai telunjuknya.
"Lo ngomong apaan sih?"
"Aku hanya ingin berterimakasih. Nggak ada maksud apa-apa. Bukannya wajar karena memang selama ini udah banyak hal yang kamu lakuin untuk aku. Sama aja ketika seseorang memberikan sesuatu ke orang lain dan dibalas dengan ucapan terimakasih." Kemudian Naya menggigit cukup besar pucuk es krimnya hingga tersisa setengah.
"Oke. Kalo emang lo mau berterimakasih sama gue, berarti rasa terimakasih gue ke lo itu lebih banyak. Karena lo adalah sahabat terbaik gue. Orang yang berarti untuk hidup gue. Orang yang bahkan bisa melebihi posisinya daripada kedua orang tua gue sendiri. Jadi gue nggak mau lo pergi kemanapun atau lo ninggalin gue gitu aja," ucap Riani panjang lebar yang tanpa sengaja terpancing emosi sehingga obrolan ini terasa tegang.
Matanya Riani pun mulai berkaca-kaca. Karena di lubuk hatinya terdalam, Riani tahu betul keadaan Naya yang sudah berada di titik paling rendah. Hanya saja terlalu sulit bagi Riani mengakuinya karena bagaimanapun ia tidak siap jika Naya harus menyerah dengan penyakitnya.
Naya terkikik pelan. "Emangnya aku mau kemana sih, Riani. Aku di sini kok."
"Lo janji emangnya nggak akan kemana-mana?"
Naya berpikir sebentar dan setelahnya ia menggeleng. "Aku nggak bisa janji. Karena kalo aku di sini terus, nanti orang rumah nyariin. Emangnya kamu mau di sini sampai besok?"
"Nay, please deh. Gue serius nggak bercanda."
Lalu Naya tersenyum. "Intinya aku hanya ingin berterimakasih ke kamu. Udah itu aja. Eh, tapi aku mau minta tolong satu hal sama kamu."
"Minta tolong apa?"
"Nanti malam setelah aku pulang dari rumah Arland, kamu ke rumah aku, ya." Es krim milik Naya sudah ludes tak tersisa. Lalu dibuangnya bungkus es krim itu ke tempat sampah di dekat posisi Riani.