Salah satu hal yang paling membahagiakan dalam hidupku sekarang adalah ketika aku pergi akan ada seseorang yang menunggu kepulanganku.
Arland Nugraha
•••••
Seharusnya sejak pukul dua tadi Naya sudah berada di rumah Arland karena kesediaan gadis itu untuk mengantar Arland ke bandara sore ini. Namun, sudah lebih dari satu jam dari waktu yang sudah disepakati kemarin, Naya belum juga memunculkan batang hidungnya. Arland mulai menyesal membatalkan niatnya untuk menjemput Naya di rumahnya daripada harus merasa gusar karena aktivitas menunggunya ini. Terlebih ponsel Naya sama sekali tidak bisa terhubung sama sekali.
"Bagaimana, Land? Apa sudah ada kabar dari Naya? Dua jam lagi pesawat kita berangkat lho," ujar Tomi menemui Arland yang tengah mondar-mandir di depan teras.
Cowok itu mengangkat pergelangan tangannya guna melihat jarum jam di sana. "Sebentar lagi, Pi. Mungkin aja Naya kena macet," sahut Arland dengan pandangan terus ke gerbang. Berharap gadis itu sudah di sana.
"Atau kamu jemput aja gimana? Biar papi berangkat duluan ke bandara naik taksi. Nanti kamu diantar sama supir," kata Tomi yang langsung membuat wajah Arland berbinar karena ide semudah itu tidak terlintas di benaknya. Rasa khawatir Arland kepada Naya selalu bisa menutupi pikiran jernihnya.
"Yaudah, Pi. Kalo gitu Arland jemput Naya dulu. Papi gapapa kan, ke bandara duluan?"
Tomi mengangguk sambil menyimpulkan senyum. "Gapapa. Asal kamu benar-benar datang ke bandara. Jangan seperti kemarin itu yang tiba-tiba membatalkan keberangkatan," jawab sang papi sambil menggerutu akan hal yang lalu.
"Iya, Pi. Kali ini Arland pasti akan berangkat ke Jepang kok. Yaudah, Arland jalan dulu."
Segera Arland menghampiri mobilnya yang sudah terparkir di depan gerbang bersama sang supir di dalamnya. Dengan kecemasan yang menghantui pikiriannya, Arland sangat berharap kalau tidak ada sesuatu yang buruk pada Naya. Karena setiap kali gadis itu tidak ada kabar, pasti ada saja sesuatu yang terjadi.
Sesuai permintaan sang majikan yang menginterupsikan agar si supir melajukan mobil dengan cepat, Arland sampai di depan rumah Naya tidak lebih dari lima belas menit. Segera cowok itu keluar dari mobilnya dan menyambar pintu gerbang rumah Naya begitu saja. Namun, bukannya sesuatu yang bisa melegakan perasaannya, justru Arland menemukan keadaan rumah Naya yang tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Sepertinya tidak ada satupun orang di dalam sana. Tentu saja hal itu membuat kecemasan semakin menggumpal di dadanya.
Lalu Arland berinisiatif menghubungi ponsel Riani. Terhubung memang, tetapi tidak ada jawaban meskipun Arland sudah mencobanya lagi dan lagi. Ia pun terduduk pasrah di lantai teras dengan pikiran yang mulai berantakan.
"Kamu kemana sih, Nay," gumam Arland sambil mengusap wajahnya sangat frustasi.
Beberapa detik setelahnya, ponsel yang masih digenggam itu bergetar. Arland mengangkat panggilan itu dengan antusias.
"Halo."
"Naya ada di rumah sakit tempat kemarin dia dirawat. Lo cepet ke sini, ya," ucap Riani yang langsung diputus oleh Arland begitu saja. Cowok itu tidak ingin membuang waktu yang kalau ia banyak bertanya akan membuat kecemasannya akan meledak sebentar lagi. Arland kemudian bergegas sesuai apa yang diucapkan Riani barusan.
Merasa kecepatan sang supir yang masih belum sesuai, Arland memutuskan untuk mengendarai sendiri mobilnya. Sekuat tenaga kakinya menginjak gas itu. Tidak peduli jika ia harus melanggar lalu lintas sekalipun atau berisiknya bunyi klakson mobil di luar sana yang memprotes kecepatan mobilnya itu. Hanya satu seperti biasa, Naya selalu saja berhasil membuat perasaannya melebur karena api kecemasan.
Menyerahkan mobilnya begitu saja ke supir ketika sudah berada tepat di depan gedung rumah sakit, Arland segera berlari ke dalam sana dengan wajah yang mulai memerah, juga keringat yang mengalir lembut di pelipisnya.
Setelah berhasil mengetahui keberadaan Naya dari pusat informasi, Arland terus berlari tanpa peduli dengan napasnya yang tersengal. Sampai akhirnya ia berhenti di depan sebuah ruangan yang di sana sudah ada Riani, kedua orang tua Naya, dan Aini. Pemandangan keempat orang itu entah kenapa seketika membuat seluruh bulu kuduknya berdiri sempurna.
Arland mencoba menelisik keadaan yang terjadi. Mata Anita dan Aini yang sembab, wajah Robi yang parau, dan bahasa tubuh Riani yang baru saja keluar dari ruangan itu semakin meyakinkan Arland kalau ada sesuatu yang buruk pada Naya.
"Gimana keadaan Naya?" tanya Arland kepada orang-orang yang ada di depannya sekarang.
Tidak ada yang menjawab. Arland menilik lagi ke posisi di mana Anita yang duduk sambil bersandar dengan suaminya. Menunjukkan secara tersirat kalau wanita itu tengah mengalami hal yang tidak baik. Juga Aini yang di sebelah sang ayah sambil menunduk.
"Naya nunggu lo di dalem. Ada yang mau dia omongin ke lo," kata Riani berdiri di depan pintu.
"Naya baik-baik aja kan?" tanya Arland dengan suara rendah nyaris terdengar seperti bisikan.
Sebelum menjawab, Riani menarik napasnya cukup dalam. "Naya baik-baik aja. Kata dokter dia cuma perlu istirahat sebentar. Yaudah, lo masuk aja gih," suruh Riani dengan wajah yang sulit ditebak.
Arland mengangguk dan segera membuka pintu setelah Riani bergeser membiarkannya masuk ke dalam ruangan itu.
Kini Arland sudah berada di ruangan di mana Naya menyambutnya dengan senyuman manis yang selalu bisa membuat cowok itu juga ikut tersenyum. Dengan langkah perlahan tetapi pasti, Arland menghampiri Naya lebih dekat dan duduk di kursi dekat bangkar tempat Naya berbaring.
"Hai," sapa Naya dengan sumringah. Keadaan yang cukup jauh dari perkiraan Arland yang mengira ada sesuatu yang buruk pada gadis itu.
"Gimana keadaan kamu?"
"Aku baik-baik aja. Malam ini aku udah boleh pulang kok, sama dokter," jawab Naya masih sambil tersenyum. Seolah sengaja tidak ingin membuat cowok di sebelahnya merasa khawatir.
"Aku selalu merasa ada hal yang buruk saat kamu nggak ada kabar. Aku takut." Mata Arland mulai berkaca-kaca. Lalu tangannya bergerak terulur menggapai tangan Naya untuk ia genggam.
"Aku gapapa. Kamu tenang aja, ya." Namun, justru Naya tetap senantiasa tersenyum dalam menanggapi apapun ucapan Arland.
Lalu Arland membawa pandangannya ke seluruh tubuh Naya. Memang, berbeda dari saat terakhir Naya tidak sadarkan diri, gadis itu dipenuhi alat-alat medis di tubuhnya. Tidak dengan sekarang. Hanya ada selang infus yang menempel di punggung tangan kirinya. Pemandangan yang sekilas bisa melegakan perasaan Arland dan berusaha meyakinkan dirinya kalau gadis itu memang baik-baik saja.
"Aku akan nemenin kamu sampai kamu sembuh. Aku mau di sini terus sampai kamu bisa pulang ke rumah," ucap Arland lalu mengecup punggung tangan Naya yang berada di genggamannya.
Sebelum bersuara lagi, Naya menunjukkan senyum paling lebar yang pernah ia punya ke Arland. "Kamu udah janji sama aku. Apapun yang terjadi, kamu harus berangkat ke Jepang hari ini. Tapi maaf aku nggak bisa antar kamu ke bandara. Gapapa kan?"
Arland menggeleng dengan kuat. "Enggak. Aku nggak akan pergi saat kondisi kamu lagi kayak gini. Aku harus tetap di sini sama kamu. Nemenin kamu," balas Arland kekeh dengan keinginannya.
"Dokter bilang aku cuma perlu istirahat sebentar. Nanti malam aku udah bisa pulang, kok. Jadi kamu harus tetap berangkat ke Jepang. Sesuai janji kamu," kata Naya yang juga tidak mau kalah.
Arland terdiam sambil menatap wajah Naya yang meskipun gadis itu sedang banyak bicara sekarang, tetap saja kepucatan di sana tidak hilang sedikitpun.
"Aku nggak bisa." Arland menggeleng sambil menitihkan setetes air dari matanya.
"Hei, kok nangis. Aku baik-baik aja. Aku akan di sini sampai kamu kembali dari Jepang dalam keadaan sembuh dari tumor kamu. Kita akan merayakan kesembuhan kamu nanti. Kamu mau kan?"
Cowok itu mengangguk. Namun, anehnya airmata itu tetap saja keluar tanpa henti.
"Yaudah, kamu berangkat gih. Aku nggak mau kamu ketinggalan pesawat lagi karena aku. Papi kamu juga pasti udah nunggu kan?"
"Aku sayang kamu, Nay."
"Aku tau." Naya tersenyum. Lalu melepaskan genggaman Arland dan tangannya bergerak hendak menggapai wajah Arland. Mengelus pipi cowok itu sambil memandanginya beberapa saat.
"Aku juga sayang sama kamu, Arland. Sejak dulu sampai sekarang, kamu selalu jadi pangeran di masa kecil aku," ucap Naya dengan genangan yang menggumpal di pelupuk matanya. Namun, Naya tidak membiarkan genangan itu jatuh. Atau lebih tepatnya sedang berusaha keras agar genangan itu tidak tumpah ke pipinya.
Seluruh tubuh Arland bergetar seraya dengan hatinya yang berdesir. Pasalnya ini kali pertamanya Naya mengutarakan perasaanya secara terang-terangan. Pernah berulang kali Arland memancing agar Naya mau mengungkapkan rasa sayangnya melalui lisan, tetapi itu tidak pernah berhasil. Namun, saat ini kalimat indah itu terucap jelas oleh lidahnya.
Seiringan juga membuat Arland lebih mudah meninggalkan Naya di rumah sakit ketika dirinya semakin yakin bahwa ada seorang gadis yang siap menunggunya sampai kapanpun. Kalimat yang secara tidak langsung mengantarkannya pergi ke negara lain dan tidak sabar untuk segera kembali bertemu gadisnya.
"Aku akan berangkat. Tapi kamu nggak boleh hilang kabar lagi. Sedetikpun. Kalau perlu setiap jam aku akan terus kirim pesan ke kamu, telpon kamu, atau video call ke kamu. Pokoknya nggak boleh ada satu jam kamu yang terlewat di aku."
Naya mengangguk cepat dan tersenyum. Lantas Arland setengah bangkit, mendekat ke wajah Naya dan mengecup pipi Naya beberapa detik, serta kening gadis itu cukup lama.
Meski sebelah hatinya sudah lega jika harus meningglkan Naya yang sedang terbaring lemah, tetap saja sebelah hatinya yang lain masih merasa berat jika langkahnya harus terus berlanjut keluar dari ruangan ini. Berulang kali Arland menoleh ke posisi Naya yang tidak menyurutkan senyumnya sampai Arland benar-benar menghilang di balik pintu.
Selamat tinggal, Arland.
Sekarang Naya baru bisa menjatuhkan airmatanya sebanyak mungkin setelah cowok itu tidak lagi ada di hadapannya.
•••••
Tokyo, Jepang.
Sesampainya Arland di negeri tirai bambu ini, wajah Naya selalu setia hadir di layar mata ataupun di seisi hatinya. Tujuannya hanya satu yaitu cepat menyelesaikan segala pengobatan yang bisa menyembuhkan tumornya agar bisa segera kembali pulang dan berjumpa dengan gadisnya, Ainaya Valyria.
Sebelum melakukan beberapa operasi untuk pengangkatan tumor di kepalanya, Arland perlu menjalankan beberapa check up dan rawat jalan demi memperlancar berjalannya operasi nanti.
Setiap harinya Arland tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan segala tes atau semacamnya. Rutinitas selama di Jepang ini pun serupa. Bangun tidur, sarapan, ke rumah sakit, kembali ke hotel sampai malam dan menunggu pagi. Lalu melakukan hal yang sama lagi setiap harinya selama lima hari ini.
Tentu saja sejak tibanya Arland di negara ini, ia tidak pernah sekalipun tidak menghubungi Naya via ponsel setiap jamnya. Sesuai dengan apa yang dikatakannya sebelum kepergiannya waktu itu.
Arland : selamat malam, Pacar.
Ainaya : sejak kapan kita pacaran?