Diary untuk Arland

Rika Kurnia
Chapter #39

Harian Ke-38 / Yang Sebenarnya

Arland tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Riani yang mampu meretakkan seluruh kehidupannya detik itu juga. Seolah tidak percaya dan mencoba untuk tidak terpengaruh dengan apa yang ia dengar baru saja, Arland memilih untuk menganggap pernyataan itu adalah sebuah gurauan.

"Lo pasti bercanda? Lo cuma mau ngerjain gue karena selama ini lo nggak pernah suka sama kedekatan gue dan Naya. Iya kan?!" Cowok itu berteriak dengan semburat kemarahan di wajahnya.

Mata Riani berkaca-kaca. Bukan karena teriakan yang dilontarkan Arland untuknya. Melainkan karena kenyataan yang ia beritahukan ini juga mampu menyayat perasaannya perlahan-lahan.

Arland kemudian mendekat ke Riani. Tatapan matanya kini mampu melebihi runcingnya belati yang bisa saja menikam Riani sekarang juga.

"Bilang sama gue ...." Napasnya tersendat. "Kalo apa yang lo bilang barusan itu salah!" Juga lidah yang terasa kelu di setiap pelafalan katanya.

"Gilak, kalo gue bohong atau salah soal kenyataan ini. Naya beneran udah nggak ada. Dia udah pergi," ucap Riani yang sama kelunya lantaran mengulang lagi pernyataan buruk itu.

Napas Arland memburu seperti tengah menahan sebuah semburan api yang akan meledak sebentar lagi. Jika memang ini nyata, maka Arland akan lebih memilih untuk hidup dalam mimpi indah yang lalu. Saat tangannya masih bisa menyentuh wajah Naya yang lugu.

Lantas Arland menjatuhkan kedua lututnya di lantai kayu nan dingin karena diselimuti hawa puncak itu. Badai ini terlalu sulit untuk bisa ia hadang dengan kekuatannya. Detik ini juga gelombang besar itu sudah menenggelamkannya ke palung laut yang paling dalam. Sangat dalam sehingga Arland sendiri tidak tahu apakah ia mampu kembali ke daratan.

Percayalah, ketika seseorang pergi ke tempat yang tidak bisa kita jangkau adalah hal terpedih di dunia ini. Sakit hati, putus cinta, cinta tak terbalas, atau apapun yang serupa tidak sebanding jika dia tidak bisa terlihat lagi dimanapun. Lebih baik pergi ke suatu tempat dan akan kembali suatu saat nanti sekalipun itu waktu yang sangat lama. Daripada pergi dan takkan pernah kembali.

Naya bukan hanya sekadar seseorang. Namun, dia adalah seorang gadis berarti bagi hidup Arland. Gadis yang dicintainya melebihi ibunya sendiri yang sudah melantarakannya begitu saja. Naya adalah sebagian dirinya Arland.

Dan sekarang gadis itu sudah tiada.

Menangis adalah hal yang sekarang hanya Arland bisa lakukan. Sambil menunduk dan terisak, Arland kembali mencoba mengingat wajah Naya ketika terakhir kali pertemuannya di rumah sakit. Waktu yang seharusnya tidak pernah ia sia-siakan. Senyum manis Naya yang seharusnya tidak membuat Arland terhanyut sehingga menganggap kehidupan gadis itu akan lama.

"Gue minta maaf karena baru bisa ngasih tau hal sepenting ini ke lo," kata Riani penuh dengan rasa bersalah. Hal itu bisa diketahui karena cara bicara Riani yang tidak sekeras biasanya kepada Arland.

Arland tidak peduli kapan kabar ini sampai kepadanya. Sejak awal atau baru sekarang, isi beritanya tetap sama. Tidak akan bisa berubah atau diubah olehnya. Tetapi andai saja Arland memiliki keajaiban itu, ia rela menukar hidupnya untuk Naya. Demi membiarkan senyum tulus gadis itu tetap hadir di dunia ini.

"Naya meninggal tepat di hari keberangkatan lo ke Jepang," kata Riani yang membuat Arland sontak mendongak ke arahnya. Mata cowok itu sangat merah dan terus mengalirkan airmata duka yang entah bisa berhenti atau tidak. Kalaupun bisa berhenti, tetap saja seisi hatinya terus menangis.

Arland menggelengkan kepalanya kuat. "Enggak mungkin. Naya bilang kalo dia baik-baik aja waktu itu," ucapnya dengan suara serak.

"Apa yang Naya bilang ke lo itu semata-mata cuma nggak mau bikin lo khawatir dan ngebatalin kepergian lo ke Jepang. Naya mau lo sembuh dari tumor. Naya nggak mau lo bernasib sama kayak dirinya," jelas Riani sangat tegas. Semakin menghancurkan perasaan Arland yang sudah memutuskan untuk tidak bisa mengendus hal yang bahagia lagi.

"Dan yang pegang hape Naya semenjak itu gue. Gue yang selama ini jadi Naya untuk balesin semua chat dari lo. Sebisa mungkin gue nggak bikin lo curiga sampai kepulangan lo sekarang."

Wajah Arland semakin meredup tak bercahaya sedikitpun. Airmatanya juga semakin deras hingga membasahi lehernya.

"Naya udah merencanakan hal-hal yang konyol. Setelah pulang dari rumah lo waktu itu, Naya minta gue buat ngelakuin hal yang sama sekali gue sulit terima. Tapi Naya terus ngerengek dan memohon ke gue."

Sebentar Riani menelan salivanya sebelum melanjutkan penjelasan panjang yang harus ia ungkap sekarang juga. Yang sebenarnya yang harus Arland ketahui.

"Pertama. Naya minta gue ngasih buku hariannya ke lo. Hal yang sama sekali bikin gue nggak ngerti. Kenapa harus gue yang kasih ke lo? Kenapa bukan dia aja yang langsung kasih sendiri ke lo? Dan Naya minta gue ngasih buku harian itu setelah lo pulang dari Jepang. Kedua. Naya minta gue pegang ponselnya selama lo di Jepang. Dia mau seolah-olah gue jadi dia dan balesin semua chat lo. Makanya selama lo di Jepang, gue nggak pernah mau angkat telpon dari lo."

Kening Arland berkerut lantaran ada sesuatu yang aneh dari semua keinginan Naya yang memang tidak masuk akal itu. Seperti halnya Naya sudah memiliki keyakinan bahwa dirinya sudah berhenti bernapas selama keberadaan Arland di Jepang.

"Sekeras mungkin gue nolak permintaan aneh Naya yang kedua. Kenapa harus gue lagi? Dan kali ini lebih konyol dari permintaan pertama." Riani emosi dengan dirinya sendiri. Hal yang sebelumnya sudah ia tumpahkan ke Naya malam itu.

"Tepat di malam itu juga Naya pingsan di kamarnya. Dia kritis seperti yang udah-udah. Tapi Naya sadar dengan cepat. Yang dia omongin ketika sadar adalah hal-hal yang semakin bikin gue takut. Dia minta gue hubungin lo buat dateng ke rumah sakit. Tapi saat itu Naya mau kalo semua alat-alat medis di tubuhnya di lepas. Bahkan, Naya harus mohon-mohon ke dokter buat dapet izin melakukan hal yang bisa berakibat fatal itu.

Lihat selengkapnya