Sudah hampir dua tahun rasanya masih sama.
Berat.
Sulit.
Tersiksa.
Dan terlalu rindu.
Arland masih belum bisa melepaskan kepergian Naya seutuhnya. Arland masih berharap kalau apa yang terjadi dengan Naya hanyalah mimpi buruknya yang akan segera berakhir. Arland hanya perlu menunggu dirinya terbangun dari tidur panjangnya ini.
Juga, sejak hilangnya Naya dari dunia ini, cowok itu berubah.
Arland yang sebelumnya sering melakukan tebar pesona ke setiap para gadis, sekarang lebih suka menundukkan pandangannya.
Arland yang tadinya cukup banyak bicara, sekarang lebih sering mengunci bibirnya serapat mungkin.
Arland yang selalu berpenampilan keren dan modis dengan kemewahan yang dia miliki, sekarang lebih merasa nyaman dengan pakaian serba sederhana.
Arland yang dahulu selalu percaya diri akan wajah tampannya, sekarang menjadi pribadi yang menyendiri.
Hanya satu yang sama pada diri seorang Arland. Yaitu hatinya. Nama Naya yang tidak pernah terhapus sedikitpun dari satu lembar di dalam hidupnya.
Tidak akan pernah.
Hati Arland seakan sudah mengeras melebihi batu yang bisa saja dihancurkan, dan lebih kuat dari paku yang ditancapkan sehingga tidak akan ada satu hal pun yang bisa melepaskan nama Naya dari palung hatinya.
Arland sudah seperti mati rasa. Tidak ada yang bisa dirasakan hatinya, sekecil apapun itu setiap kali ia melihat para gadis di sekitarnya. Bahkan, rasanya sampai matanya tertutup untuk selamanya nanti pun, Arland tidak akan bisa menemukan gadis lain. Hanya Naya.
Semua ini bukan sekadar prinsip yang Arland tekankan pada dirinya sendiri. Sesungguhnya Arland cukup tersiksa karena perasaan ini. Bukan tersiksa karena masih mencintai Naya, melainkan hatinya terus meraung. Berharap akan adanya keajaiban untuk bisa bertemu gadis itu lagi.