"Teng ... Teng ... Teng ..."
Tiga kali suara batang besi di benturkan pada lempengan besi yang tergantung seutas tali terikat pada tiang depan kelas oleh wanita berperawakan tambun, pandangannya kosong dan wajahnya pucat kertas. Tanda pelajaran sudah berakhir, lorong koridor kelas yang tadi sepi sunyi kini mulai terlihat serempak pintu-pintu kelas terbuka.
Nyaris tidak terdengar setiap derap langkah santriwati-santriwati berjalan, wajahnya selalu menunduk kebawah. Kini lorong koridor kelas sudah sesak dengan santriwati-santriwati dengan aneka warna hijabnya yang malam itu di kenakannya. Satupun wajah santriwati tidak menatap tegak kedepan sepanjang jalan lorong koridor kelas hanya menunduk kebawah.
Tidak biasanya dan pada umumnya dimana pesantren berada tidak pernah belajar sampai selarut malam itu, lihat saja didalam kelas jam dinding malam itu nyaris berhenti tegak lurus, jarum panjang dan pendeknya pada angka dua belas. Tentunya sudah tengah malam, namun kenapa jam segitu santriwati baru selesai belajar dan apa memang berbeda metode pelajaran di Pesantren Nur Islami dengan pesantren-pesantren pada umumnya.
Lihat saja cara berjalannya, nyaris setiap sepasang kaki santriwati tidak menyentuh lantai walau memakai aneka model, warna dan merk sepatu. Terasa mencekam, terasa sungguh sangat menakutkan kini lorong koridor kelas berangusr mulai sunyi sepi tidak lagi terlihat santriwati-santriwati yang tidak ingin menunjukan wajahnya.
Hanya sepi terasa sunyi berselimut mencekam setiap kelas tidak lagi terlihat santriwati, apalagi guru-guru pesantren juga tidak terlihat dimana mereka. Sungguh aneh dan sungguh tidak biasanya dengan keberadaan pesantren itu. "Brugg! Brugg! Brugg!" serempak suaranya terdengar sungguh menakutkan mengulik rasa ketakutan ketika barisan pintu kelas begitu saja tertutup sendiri seraya ada yang menutupnya dari dalam.
Padahal semua santriwati yang aneh hanya membisu terdiam, wajahnya selalu menunduk kebawah dan sepasang kakinya berjalan nyaris tidak terdengar derap dan tidak menyentuh lantai. "Brubb! Brubb! Brubb!" kini lampu penerangan yang ada di dalam kelas mati serempak satu-persatu di barengi dengan cahaya lampu penerangan yang berada di langit lorong koridor kelas juga ikut padam. Sangat mencekam, sangat sungguh menakutkan tentunya bagi siapapun, ia tidak akan berani berada didalam kelas terlebih seorang diri.
Tidak tahu kenapa wanita berperawakan tambun itu, ia sejak tadi hanya berdiri saja menatap lempengan besi dan jemari kanannya masih menggengam batang besi. Wanita berperawakan tambun kini menatap langit yang indung sang rembulan malam sungguh bulat sempurna malam itu dengan sinarnya menerangi wajahnya. Tapi kenapa makin lama, kedua bola matanya makin memutih seram dan wajahnya makin terlihat pucat. Sedangkan santriwati-santriwati sudah tidak terlihat seraya telah tertelan gelap malam berselimut kabut pekat di ujung jalan kearah lorong koridor asrama.
Angin dingin mulai datang terasa basah mendarat pada wajah wanita berperawakan tambun, hijabnya sedikit bergerak, gamis panjang warna hitamnya semakin bermain bergerak tertiup angin. Wajah kini terihat berpaling kearah sisi kanan, sungguh terlihat pucat seram seraya wajah dan sekujur tubuhnya sehabis gosong terbakar dan seketika ujung batang besi di hunuskan sendiri tangannya kearah lehernya.
***