"Yah, benar ya jangan bohong lagi."
"Setelah ayah selesai dari rumah sakit, ayah akan segera pulang."
Suaranya seraya memohon terdengar di ujung telpon gagang telpon yang di jawab lelaki berwajah tampan, siang itu masih mengenakan seragam putih, seragam kebanggannya sebagai seorang dokter. Stetoskop masih menggantung di lehernya saat ia kembali terduduk setelah meletakan gagang telpon.
"Barusan anak dokter yang menelpon?"
"Iya bu, anak saya."
"Pasti anak dokter sudah terlalu sabar menunggu kapan dokter pulang. Dokter, sebisa mungkin luangkan banyak waktu untuk anak. Jangan karena kesibukan dokter dapat mengusir rasa cinta dokter dari kerinduan anak-anak. Nantinya hanya ada rasa kecewa dalam diri anak-anak pada dokter."
Ujung pulpen baru saja menggurat diatas lembaran putih selembar resep yang sejenak menuggu guratan resep tangan seorang dokter. Dokter berwajah tampan itu, hanya menatap wajah menua wanita, siang itu adalah pasiennya tersenyum menatap sendu sembari membaca nametag rajutan nama yang berada di sebelah kanan seragam putih. Dr. Daus Saumana.
Mungkin saja benak seorang dokter siang itu terkulik dengan ucapan pendek pasiennya yang berselimut pesan sampai mengetuk relung kecilnya. Ujung pulpen kini mulai menggurat lembaran selembaran putih yang sudah tergurat resep.
"Ini resep obatnya," lembaran resep itu sudah di berikan pada wanita tua, pasiennya sembari tersenyum ia bergegas beranjak bangun.
"Dok, maaf kata-kata saya tadi. Saya tidak bermaksud untuk membagi perasan hati dokter menjadi dua bagian. Dimana satu bagian hati dokter untuk pasien, dimana satu bagian lagi untuk anak-anak dokter. Jadikan dua bagian hati dokter menjadi satu untuk pasien dan anak-anak. Tapi dokter, lebih harus mengutamakan anak-anak."
Sesaat wanita tua itu tersenyum menatap sendu wajah tampan berkumis tipis, rasanya apa yang di katakan wnaita itu sesungguhnya adalah benar. Jika selama ini ia sudah membagi dua perasaan hatinya untuk pasien dan anak-anaknya. Mungkin saja pesan wanita tua itu benar adanya, jika selama ini ia sudah membagi membelah dua perasaannya namun tidak mengutamakan anak-anaknya.
"Terima kasih dokter," lantas wanita tua itu setelah mengucapkan terima kasih dan menerima resep, wanita itu kemudian beranjak jalan keluar.
Dokter tampan itu kini terduduk di kursi, yang selama ini menjadi tempatnya mendengarkan curahan rintihan yang di rasakan pasiennya. Tidak lagi stetoskop melingkari lehernya, kini stetoskop itu di geletakan diatas meja persis dua matanya melihat jemari kanannya memanjukan dan mundurkan stetoskop warna hitam.
Ada benarnya juga apa yang barusan di katakan pasiennya tadi, jika nasehat bijak wanita tua itu semakin mengulik perasannya yang selama ini, ia sesugguhnya sangat sibuk sekali. Walau bakti ia sebagai seorang dokter menolong pasien, namunnya hati perasaannya seharusnya tidaklah terbagi dua. Harus menyatu untuk menolong dan mengutamakan pasien yang membutuhkannya, namun perhatian anak adalah diatas segalanya. Jangan karena kesibukannya akan bisa mengusir cinta pada anak-anaknya.
"Dokter, kok bengong aja?"
"Sudah tidak ada pasien lagikan sus?"
Gadis cantik berseragam biru masuk sembari meletakan koran diatas meja menutupi stetoskop. Dokter tampam itu beranjak bangun dan mengajak dua kakinya berjalan kearah pitnu sejak tadi berbuka lebar. Wajahnya melongok sedikit keluar, ia masih tidak percaya apa kata suster. Padahal tadi ia bertanya pada suster.