Tidak terasa putri sulungnya itu sebentar lagi akan memasuki sekolah menengah pertama. Marini merasa waktu begitu cepat berlalu, kini putrinya itu sudah mulai beranjak remaja. Ia pandangi putrinya itu yang lagi sibuk belajar untuk bersiap-siap menghadapi ujian nasional yang akan segera datang. Pikirannya melanglang buana jauh ke 12 tahun yang lalu ketika Zara masih bayi. Masih teringat jelas dibenaknya, bagaimana susah dan bingungnya ketika pertama kali ia mempunyai seorang anak tanpa bantuan kedua orang tua karena mereka sudah tiada, tapi ia beruntung mempunyai suami yang pengertian dan telaten mengurus anak dibanding dirinya. Marini merasa banyak bersalah dengan putri pertamanya itu, karena waktu itu ia masih muda belum punya pengalaman dalam mengurus anak dan merasa belum punya banyak ilmu juga. Begitu banyak drama dalam mengurus anak, sering kali ia menangis sendirian dikala sang suami pergi bekerja sementara ia hanya tinggal berdua dengan anak di rumah, terkadang ia ingin marah dengan bayi yang tidak tau apa-apa itu karena tidak mau berhenti menangis sementara ia sendiri belum makan dan mandi. Sering kali badan dan tangannya gemetar karena telat makan sementara itu si bayi tidak mau ditaruh tidak mau tidur maunya digendong saja. Saat ibu-ibu lain gak pede karena badannya membengkak ketika hamil dan melahirkan, berbeda dengan Marini yang semakin kurus kering, kantong matanya yang hitam semakin mengurangi keelokkan wajahnya. Beruntung semakin besar bayi Zara semakin pintar juga dan Marini merasa tidak pernah direpotkan olehnya. Bagian paling ia sukai adalah ketika memberikan ASI, karena di waktu memberi ASI itulah ia merasa paling dekat dengan anaknya. Ia pandangi wajah mungilnya itu sambil mengelus-ngelus kepalanya yang hanya berambut sedikit itu dan juga mengelus-elus pipinya yang tembem, ia merasa sangat bersyukur diberi titipan anak oleh yang maha kuasa karena diluar sana masih sangat banyak sekali yang menginginkan anak namun masih belum diberi.
"Bu, ibu .." panggil Zara mengejutkan lamunan ibunya.
Marini mengusap air mata haru itu dari pipinya "Iya, ada apa nak ?" tanyanya.
"Ibu kenapa ? Ibu menangis ?" tanya Zara menghentikan sebentar kegiatan belajarnya.
Marini berkilah "Gak kok. Ini, ibu cuma kelilipan" ia mengusap dan mengucek-ngucek matanya.
"Oh !!! Bu, ibu ikut kegiatan yang diadakan pemeritah itu ?"
"Iya, ibu ikut. Ibu ikut kelas menjahit, kalau baju kalian robek jadi ibu bisa menjahitkan"
"Kapan dimulainya bu ?"
"Minggu depan"
"Wah deket sama ujian Zara dong tapi ujian Zara minggu depannya lagi"
"Belajar yang rajin ya biar nanti mudah menjawab soal-soal yang ada. Ibu mau ke balai desa disuruh pak rt bagi yang ikut kegiatan itu. Katanya mau ada yang disampaikan, Ali ibu titip sebentar ya, kasian kalau ibu bangunin. Kania kemana sih main gak pulang-pulang"
"Iya bu, Ali biar Zara yang jaga. Paling jua Kania lagi asyik sama temen-temennya"
"Nanti kalau ia nangis cari'in ibu, kamu susul aja ibu ke balai desa ya. Ibu pamit. Assalamu'alaikum" Marini keluar rumah.
"Wa'alaikum salam"
Sampai di balai desa sudah banyak para ibu-ibu dan wanita muda yang berkumpul di tempat itu. Karena ketiga kampung digabung jadi begitu banyak peserta yang ikut, tempat balai desa yang tidak begitu besar penuh dan harus duduk berdesak-desakkan. Marini duduk pojokkan paling depan, supaya apa yang disampaikan oleh pak rt bisa ia dengar dengan jelas.
Tidak perlu menunggu lama pak rt datang dan memulai acara. Ternyata pak rt tidak sendiri, ia datang bersama dengan pak lurah dan beberapa perwakilan dari kantor pemerintah yang mengadakan kegiatan tersebut.
Pak rt memulai acara dengan mengucap salam, kemudian penyambutan oleh pak lurah dan perkenalan kepada para pembina untuk kegiatan nantinya. Disela-sela pembicaraan sesekali diselipkan sebuah lelucuan agar tidak membosankan dan para peserta merasa terhibur. Para pembina juga melakukan sesi tanya jawab kepada para peserta.
"Pak, nanti bapak mengajar kami juga kan ?" tanya salah satu peserta ibu-ibu yang lumayan sudah berumur.
"Iya, nanti saya akan mengajar kelas memasak. Kebetulan saya seorang koki dan sudah bekerja diberbagai restoran bintang 5" jawab bapak pembina yang umurnya masih terbilang muda baru memasuki usia 36 tahun.
"Kita panggilnya apa nih nantinya. Bapak, kakak, mas, abang, adek atau apa nih ?" tanya lagi ibu-ibu tersebut dengan gaya centilnya, sehingga membuat riuh susana dalam balai tersebut.
Bapak pembina itu hanya tersenyum mendengar ucapan ibu-ibu tersebut karena ia tahu kalau ibu-ibu itu hanya bercanda.
"Terserah kalian saja mau manggil saya apa. Sebut nama saya juga tidak apa-apa, biar lebih akrab. Perkenalkan nama saya Taufik Rahman, sering dipanggil Rahman"
"Maaf mau tanya mas Rahman sudah menikah ?" tanya ibu-ibu muda lainnya.
"Dulu pernah menikah sekali tapi sekarang single alias jomblo" jawabnya tanpa merasa malu.