Dibalik Umbrella

Dingu
Chapter #2

Umbrella

Malam itu langit sangat gelap. Gelap menghiasi bumi. Membuat semua orang membuka cahaya dirumah mereka. Cahaya yang dibuat oleh ilmuwan terdahulu. Pintu tertutup rapat, menghentikan hembusan angin yang ingin ke dalam. Bukanakah mereka sangat hebat dalam hal ilmuwan? Entah siapa yang megisikan mereka dengan otak yang cerdas itu.

Beberapa menit yang lalu, terdengar suara para wanita bersama bunyi kaki. Mereka berlarian dengan anak di tangan kanan mereka. Jangan lupa ditangan mereka terdapat sapu lidi, sandal jepit sebelah. Entahlah itu sandal kanan atau kiri.Wajah mereka penuh ketakutan. Disela-sela ketakutan mereka, mulut mereka tidak berhenti mengeluarkan kata-kata. Kata-kata untuk anaknya.

Seorang ibu menghampiri Ia dan menyuruh Ia cepat pulang. Katanya sebentar lagi akan mangrib. Ia tau, Ia juga dengar di masjid sedang berkumandang beberapa ayat Al-Qur'an. Tapi, Ia menghiraukannya. Bukanyya hal kuno jika hal itu, kata "Pamali" hanya selintas dipikiranku. Ia yakin, itu hanya sekilas untuk menakuti orang yang lemah katakutan alias pengecut.

Ia berjalan dengan santai. Jangan lupa handset di telinga yang di pasang setelah mendengar ocehan wanita tua tadi. Tentu saja dengan sedikit omelan yang keluar dari mulutnya.

Terdengar suara burung di langit. Tumben burung itu mengeluarkan suara. Biasanya mereka akan terbang tanpa mengeluarkan suara dari paruh mereka. Tapi Ia abaikan dan suara adzan berkumandang. Ia melihat kanan dan kiri, sepi. Tidak ada manusia satupun kecuali Ia. Ada beberapa lelaki tua yang berjalan menuju masjid. Tapi semakin lama, semakin jauh dari pandanganya.

Ia menuruni sebuah bukit. Rumahnya berada di bawahnya. Ia paling benci jika turun, karena akan merasakan tidak seimbangnya tubuhnya . Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini jalan satu-satunya menuju rumahnya. Ia melewati beberapa rumah, disana ia melihat anak-anak yang diomeli ibu mereka hanya karena menyuruh mereka menunaikan kewajiban. Ah, Ia jadi kangen sosok cintanya dan harap bisa bertemu dengannya. Walaupun beda alam.

Setelah melewati lima rumah, Ia turut melewati hutan. Hutan yang penuh dengan pohon disekitarnya. Apakah salahnya di masa lampau. Sampai-sampai dirinya harus berjalan melewatinya ketika pulang, itu karena rumahnya berada di paling ujung perumahan. Langkah kaki berhenti saat mendengar suara burung. Dibenaknya bukankah seharusnya mereka sudah jauh dari sini. Mereka terbang, dan kecepatan mereka lebih dari dirinya dan segera Ia memekai payung hitam kumuh hadiah lama dari Sang cintanya.

Dirinya melihat ke atas dan melihat burung gagak. Burung tanda akan kematian. Kata ibu-ibu kuno, tentunya. Kenapa? Karena itu semua tahayul. Ketika Ia ingin melangkahkan kaki, terdengar suara jeritan dari arah kanan. Hutan. Ia hanya diam dan menyakinkan diri bahwa itu hanya sekadar sebuah suara yang salah. Ia pun melakukan langkah pertama setelah beberapa menit lalu berhenti. Lagi-lagi ku dengar suara jeritan. Pikirannya saat ini adalah, bagaiman jika ada wanita yang butuh pertolongan.

Tanpa pikir panjang, Ia menghampiri hutan itu dengan langkah yang besar. Ia berjalan dan memasuki hutan, menghilangkan tubuhku. Ia mencari sumber suara, sayangnya hanya mendengarnya dua kali. Saat dirinya masuk tidak ada suara jeritan itu. Hanya hembusan angin yang menyentuh dan memasuki ke dalam lubang telinganya. Diriya membalikkan badan dan melihat pohonan yang lebat menghalangi. Tidak, tepatnya, ia tidak tau jalan arah pulang. Ia langsung bergegas tanpa melihat jalan yang di jalaninya tadi. Bodohnya, pikirnya.

Dia mengambil hp di saku dan membuka layarnya. Ah sial, ternyata tidak ada sinyal disini. Hatinya terasa ke dan dan mengeluarkan nama hewan dari mulut manisnya. Entah sudah beribu kali dirinya menyebut tanpa menghitungnya.

Dirinya melihat ke kanan, dan untuk sekian kalinya dan hanya melihat pepohonan yang lebat. Sepertinya tubuhnya akan tinggal disini untuk semalam. Dengan berjanji akan akan cari jalan keluarnya jika hari mulai agak terang.

Lihat selengkapnya