Subuh belum benar-benar terang.Ayam belum berkokok.Tapi suara dari dapur sudah lebih keras dari alarm.
“Lin! Air belum dimasak, ya? Bapak mau mandi! Cepetan!”
Lina membuka mata perlahan. Masih gelap.
Suara itu—suara khas Bu Lastri, mertuanya—menusuk telinga lebih tajam dari sengat nyamuk.
Dia mengerjap. Menghela napas. Lalu bangun.
Langkahnya pelan agar tidak membangunkan Arif, suaminya yang baru tidur tiga jam lalu.
---
Dapur itu sempit.
Wajan tergantung berjejer. Kompor gas dua tungku berdiri miring.
Dan di sana, Lina berdiri dengan rambut berantakan dan mata sembab yang belum sempat dicuci air wudhu.
Dia menyalakan kompor.
“Gasnya kecil banget…” gumamnya pelan.
Matanya melirik sisa isi dompet yang tergantung di paku dekat pintu.
Rp3.000.
Cukup buat beli cabai atau sayur. Tapi bukan gas.
---
“Lin, itu airnya udah matang belum? Bapak nungguin, loh!”
Lina kaget. Suara Bu Lastri datang dari arah kamar mandi.
“Sebentar, Bu… tunggunya agak lama, api kecil…”
“Kalau tahu gasnya habis, beli dong! Masa nunggu turun dari langit?”
Tangan Lina berhenti mengaduk air di panci.
Matanya menunduk.
Mulutnya diam.
---
Jam enam.
Rumah mulai hidup seperti pasar. Nisa dan Amel—dua adik ipar perempuan Lina—berlarian dari kamar. “ Kak Linaaa! Seragamku belum disetrikaaa!”
“Bedakku di mana sih?! Kak Lina nyimpen, ya?!”
Lina buru-buru ke kamar. Mengambil setrika yang masih hangat semalam. Seragam Nisa diangkat. Sedikit lembap.
Tapi waktu habis.
“Duh, kamu tuh gimana sih? Aku bisa telat! Mana rambutku belum dicatok!”
Aku cuma mau bantu, Nis. Tapi gas—”
“Alah, alasan!”
Seragam itu direbut paksa dari tangan Lina.
Raut Nisa penuh kesal.
Sementara Amel masih mencak-mencak di depan kaca.
---
Arif keluar dari kamar dengan mata masih sayu. Bekerja sampai malam. Lembur tanpa tambahan.Tapi tetap tersenyum saat melihat istrinya menyapu halaman.
“Pagi, Sayang…”
“Pagi, Mas…”
Arif mendekat. Mengusap punggung Lina perlahan.
“Aku bantuin, ya?”
“Gak usah. Kamu sarapan aja dulu…”
Lina menyodorkan nasi sisa semalam dan tempe goreng yang dihangatkan di atas api kecil.
Dia tahu, bukan soal rasa. Tapi soal bertahan.
---
Saat malam tiba, tubuh Lina lunglai.
Hari itu dia belum makan.
Tapi tetap mencuci baju semua iparnya. Menyapu halaman dua kali. Dan memasak sayur bening untuk enam orang.
Di kamar, Arif baru pulang.
Dia duduk di lantai, membuka sepatu sambil menghela napas panjang.
“Mas?”
“Iya?”
“Gaji turun minggu ini?”
Arif terdiam sebentar.
“Kata bos sih… ditunda. Proyek molor…”
“Oh…”
Lina tak bertanya lagi. Tak mengeluh.
Ia hanya mengambil air hangat dan menuangkannya ke dalam baskom kecil.
“Biar kaki Mas direndam dulu. Capek, kan?”