Pagi itu, dapur berantakan.
Piring kotor dari semalam masih menumpuk.
Nasi belum dimasak. Kompor belum menyala.
Dan Lina masih terbaring, tak mampu bangkit.
---
Bu Lastri berdiri di depan meja makan, wajahnya masam.
“Rumah ini jadi berantakan cuma karena satu orang sakit.”
Arif baru keluar dari kamar, mata sembab karena semalaman tak tidur.
Ia berhenti di ambang pintu, menatap ibunya. Tenang, tapi matanya menyala.
“Bukan karena Lina sakit, Bu.”
“Oh? Terus karena siapa?”
“Karena semuanya lepas tangan. Semua beban rumah ini ditimpakan ke istri saya sendirian.”
---
Ruangan mendadak sepi.
Nisa dan Amel yang tadi duduk main HP di ruang tamu pura-pura tak dengar.
Tapi pandangan mereka melirik tajam.
“Maksudmu apa, Rif?” suara Bu Lastri meninggi.
“Maksud saya, ini rumah ramai. Ada Ibu. Ada Nisa dan Amel Tapi semua urusan rumah tangga… Lina yang urus sendirian.”
“Karena dia istri! Kewajibannya ngurus rumah!”
Arif menarik napas panjang. Ia tak ingin meledak. Tapi dadanya mendidih.