Siang itu panas membakar. Langit tak bersahabat. Tapi entah kenapa, langkah kaki Arif terasa ringan. Tangannya menggenggam dua kardus kecil. Satu berisi baju mereka. Satu lagi berisi mimpi-mimpi yang belum sempat dibuka. Lina di belakangnya. Pelan-pelan mengikuti, dengan napas masih sesak, tubuh masih lemah.
---
Mereka tak berpamitan. Tak ada ibu yang mengantar sampai pagar. Tak ada adik-adik yang melambaikan tangan. Yang mengiringi kepergian mereka hanya suara pintu yang ditutup agak keras. Dan hati yang mulai merasa... lega.
---
Motor tua Arif meraung pelan. Kardus-kardus diikat seadanya di bagian belakang.“Bisa, Lin?” bisik Arif, sambil memegang tangan istrinya.Lina mengangguk kecil. Matanya sembab, tapi bukan karena sedih. "Aku gak tahu kita mau ke mana . Tapi aku tahu, aku percaya kamu mas.”
---
Perjalanan ke kontrakan baru tak sampai lima belas menit. Melewati jalan kecil, warung kelontong tua, dan masjid mungil dengan menara pendek.
Kontrakan itu berdinding kayu setengah bata. Pintunya reot, berdecit saat dibuka. Ubin retak. Langit-langit lapuk. Tapi...Ada ruang untuk bernafas.
---
Lina berdiri di tengah ruangan kosong.Tak ada sofa.Tak ada karpet. Hanya satu jendela kecil yang menghadap ke gang sempit.
Tapi mata Lina basah.“Mas…” bisiknya. “Aku nggak percaya kita akhirnya keluar…”Arif meletakkan kardusnya. Duduk di lantai.“Maaf ya, baru bisa ajak kamu ke tempat sekecil ini.” Lina menyusul duduk. Menatap suaminya lekat-lekat.“Tempat kecil… tapi hatimu besar. Itu cukup buatku.”
---
Sore menjelang.Suara anak-anak bermain dari gang kecil mulai terdengar.Tertawa. Menyanyi. Menendang bola plastik.Arif membuka jendela mungil. Udara masuk, meski tak sejuk.
“Kita tidur di lantai dulu, ya?” Lina mengangguk sambil tersenyum. “Asal jangan pisah bantal.”mereka tertawa pelan.Untuk pertama kalinya, tawa itu bukan bentuk pertahanan. Tapi kebahagiaan kecil yang tulus.
---