Dibawah atap yang sama

Yuni ekawaty
Chapter #5

Tiba-tiba ada yang datang

Pagi itu, udara di kontrakan baru masih terasa dingin.Tapi tidak menusuk seperti pagi-pagi di rumah mertua dulu. Kini, dingin itu terasa... bisa dihangatkan.


Lina duduk bersila di lantai, menyeduh teh manis pakai gelas kaca warung. Arif di luar, menyapu halaman sempit dengan sapu lidi yang tinggal separuh.

" Mas udah minum?” tanya Lina dari dalam.

“Udah. Tadi nyicip teh sisa semalam,” jawab Arif sambil tersenyum.

Lina tertawa kecil.

“Mas ini, teh basi juga diminum.”

---

Belum sempat Arif membalas, terdengar suara motor berhenti di depan pagar. Suara yang tak asing.

Motor matik tua berderit pelan.Arif mendongak. Lina menengok dari balik jendela kecil. Seorang perempuan turun dari motor. Rambutnya dikuncir asal. Wajahnya panik. Perutnya terlihat menonjol jelas di balik jaket panjang.

Itu... Sinta. Adik perempuan Arif.

---

“Mas... boleh aku numpang tinggal sebentar?” Suaranya lirih. Matanya sembab. Arif terdiam.

Lina berdiri di ambang pintu, hatinya seketika tenggelam dalam perasaan yang campur aduk.

Lina tahu Sinta. Adik yang dulu sering membuatnya lelah, enggan membantu, sering menyindir, bahkan pernah menuduhnya “manja” saat Lina sakit.

Dan sekarang, dia berdiri di depan pintu kontrakan sempit... membawa bayi di dalam perut.

Arif menghela napas panjang. “Kamu kenapa ke sini? Mama tau?” Sinta menggeleng cepat. “Mama ngusir aku… setelah tahu aku hamil... tanpa suami.”

Lina menahan napas. Arif menatap Lina. Mata mereka bertemu. Ada percakapan tanpa suara di antara keduanya.

“Apa yang harus kita lakukan?”

Lina membuka pintu lebih lebar.

“Masuklah, Sint. Duduk dulu. Kamu kelihatan lelah.”

---

Sinta menangis begitu duduk di tikar. Tangisnya bukan keras, tapi pelan dan tercekik. Seperti takut membuat suara. Lina menyodorkan segelas air.“Minum ini. Kamu belum makan?”Sinta hanya menggeleng. Air matanya mengalir lagi.

---

Arif berdiri mematung.Tiga hari lalu mereka masih makan seadanya. Tadi malam pun hanya ada mie rebus dan telur satu butir dibagi dua. Dan kini... mereka harus berbagi lagi. Bukan makanan, tapi juga ruang, waktu, perhatian.

---

Sore itu, Lina memasak nasi dan telur dadar dua butir. Ia membaginya jadi tiga piring kecil.

“Maaf ya cuma ini,” katanya pelan pada Sinta. Sinta menggeleng sambil terus menunduk.


---

Saat malam turun, kontrakan mereka lebih sempit dari biasanya. Tikar yang dulu cukup untuk dua orang, kini dipakai bertiga. Sinta tidur di ujung .Lina dan Arif berusaha tidak saling menyalahkan dalam diam.

---

Di dalam hati, Lina menangis. Bukan karena iri, bukan karena marah.Tapi karena takut.Takut semua akan kembali seperti dulu.Tapi malam itu juga, Arif meraih tangan Lina dalam gelap.

“Terima kasih udah nggak menutup pintu.”

---


Lihat selengkapnya