Nei mengiris bawang putih dengan cepat dan tepat, ketajaman mata pisau tidak membuatnya gentar untuk memotong bawang putih menjadi irisan tipis. Yakin akan kemampuannya dalam mengiris, tidak akan mengenai kulit tangannya yang kasar. Nei selalu punya keyakinan yang kuat atas kemampuannya, di luar dari itu, ia masih mempertanyakannya.
Selesai mengiris bawang putih, kini giliran cabai-cabai rawit kecil untuk diiris oleh Nei, tangan kecil yang tidak ramping, begitu cepat menyelesaikan bahan-bahan untuk tumisan
Ia menyukai dimana pagi harinya dimulai dengan memasak, mendengarkan lagu dari band favoritenya, Sheila On 7, yang terdengar dari speaker bluethooth yang terdengar dari ponsel pintarnya. Detik ini, lagu Kita dari Sheila On 7 meramaikan dapur kecilnya yang bernuansa putih.
Pagi sederhana seperti ini, bagai meditasi tersendiri baginya. Sejenak, ia mampu melupakan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran dan hatinya. Tenggelam dalam dunia kecilnya, seperti seorang penulis yang asyik merangkai cerita, masuk ke dalam dunianya, tidak peduli akan keramaian di luar sana.
Nei menarik ikat rambut hitam yang selalu ia gelangkan di tangan kanannya, mengikat rambut Panjang gelombangnya dengan asal, terlalu asal hingga beberapa helain rambutnya tidak ikut terikat. Ia tidak peduli dengan rambut berantakannya, wangi asem dari tubuhnya karena belum mandi, tidak peduli dengan jemarinya yang bau bawang putih.
Nei benar-benar menikmati waktu paginya, sesekali mengikuti lirik lagu yang terdengar dengan penghayatan penuh, ekspresi wajah, gerakan mulut yang jelas. Dengan tangan kanannya sibuk mengoseng wajan yang berisi tumisan sayur sawi yang bercampur telur yang sudah menjadi orak arik.
Setelah selesai dengan tumisan sawi, lalu Nei menggoreng ikan patin, hanya diberi bumbu racik. Dapur mungil di rumahnya sudah wangi dengan pasakannya, sambil menunggu ikan patin mengering dalam minyak panas. Nei membersihkan dapur, membuang sampah lalu mencuci peralatan masak yang tadi ia gunakan.
Setiap hari, hampir setiap hari, Nei melakukan pekerjaan yang sangat biasa ini. Memasak, membersihkan dapur, sudah merasuk dalam jiwanya. Sekalipun membosankan, Nei menikmatinya.
Dapur selesai, masakannya untuk dibawa bekal sudah selesai. Bahkan, untuk sarapan pun sudah, roti bakar, dengan telur orak arik, dan sayur bayam yang direbus dengan garam. Untuk ia dan Ibunya, ya hanya mereka berdua dalam rumah kecil sederhana ini.
Rumah yang di bangun saat Nei berumur 8 tahun, jerih payah dari ibunya yang seorang ibu tunggal. Tanah waris dari orangtua ibunya, digunakan dengan baik, dibangun sebuah rumah untuk hidup ibu dan Nei.
Nei sangat bersyukur bahwa Ibunya memiliki keteguhan hati, di antara saudara-saudara ibunya yang mempergunakan warisan untuk kesenangan sesaat.
“Wih udah siap aja sarapannya?!” seru Ibu keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi lengkap dengan kerudungnya, saat Nei tengah menyiapkan meja makan.
Nei menengok jam dinding di ruang TV yang menyatu dengan ruang makan. “Jam tujuh, tepat.” Senyumnya bangga akan dirinya.
“Anak Ibu, udah cantik, pintar masak pula,” pujinya tersenyum bangga pada anak gadis satu-satunya, lalu duduk di kursi meja makan.
Nei hanya tersenyum kecil mendengar pujian Ibunya.
Rasanya, ia masih asing mendengar puja puji untuk dirinya yang keluar dari mulut Ibu. Nei kecil tidak dibiasakan mendengar pujian untuk dirinya sendiri. Nei bukan anak kecil Perempuan yang lucu dan menggemaskan, Nei kecil memiliki tubuh yang kurus dan begitu kecil, rambut tipis, berkulit gelap dan selalu terlihat kumel. Sekalipun, Neneknya Nei selalu memakai pakaian dress mini yang cantik dan mahal. Tapi, terlihat tidak cocok untuk kulit gelapnya Nei.
Siapa juga yang memikirkan penampilan Nei kecil saat itu? Ibunya sibuk bekerja, dan ia diurus oleh Nenek, Ibunya Ibu Nei.
Nei tidak tahu pasti, diumur berapa fisiknya banyak mengalami perubahan. Tapi, saat beranjak SMP, lupa pastinya, fisiknya perlahan mengalami perubahan. Kulitnya berubah menjadi kuning langsat yang cerah, rambut tipisnya menjadi tebal dengan bulu bulu halus di keningnya, bentuk wajah oval yang sempurna dengan hidung mancung dan kelopak mata yang bulat. Belum lagi alisnya yang tebal berbentuk tegas, bulu matanya panjang, dan juga bibir kecil tipisnya.
Bahkan, salah satu sepupunya bilang. “Nei, kamu itu seperti itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa atau kamu melakukan oprasi plastik diam-diam?”
Saat itu, Nei tidak tahu harus senang ataupun sedih. Jadi, ia hanya tersenyum tipis. Sejak saat itulah, pujian hadir dalam dirinya. Tapi tetap saja, tidak pernah membuat dirinya merasa cantik, atau apapun yang orang bilang tentangnya. Yang terekam dalam otaknya, ia tidak menarik. Bahkan, selalu mempertanyakan apakah pujian yang diutarakan untuknya memang benar, tulus atau ada maunya?!
Nei dan Ibu sarapan Bersama, sambil mengobrol hal-hal ringan dang hangat, Ibu selalu menceritakan tentang masalah dalam pekerjaannya, Nei mendengarkan dengan baik. Sesekali melemparkan, saran, dan anggukan kecil.
Sebelum ini, mereka tidak sedekat dan seterbuka ini, jauh dari kata hangat hubungan antara Ibu dan anak perempuannya.
Bukan perkara mudah, seorang ibu Tunggal dengan usia muda mengurus seorang anak Perempuan seorang diri.
Mari, sejenak kita mengalihkan perhatian pada Ibu Nei, Maya, usia 55 tahun namun terlihat 10 tahun lebh muda. Dari Maya lha, Nei memiliki kecantikan.