Mobil Suazuki jimmy katana hitam terpakir lurus dan sempurna di halaman pakiran luas nan rindang milik Perusahaan Penerbit Semesta, salah satu penerbit buku terbesar di kota ini.
Nei melepaskan kaca mata hitamnya, menyimpan di laci dashboard, lalu melepaskan ikatan rambut Panjang gelombang dengan Panjang hingga mengenai bahunya.
Menyisir dengan jemari-jemari kecilnya, lalu merapikan, dan Kembali mengikat rambutnya. Nei mematikan radio, lalu AC, dan setelah itu, mesin mobil yang masih dicicilnya ini, membawa tas ransel Fjallraven kuning yang cukup berat, yang sejak tadi tersimpan di jok penumpang.
Keluar dari mobil gagahnya dengan menggendong di bahu kirinya, tidak lupa mengunci pintu mobil. Kedua kakinya yang terpakai Sepatu NB putih running melangkah santai menuju kantornya. Kantor Nei cukup unik, bukan bangunan besar dengan banyak lantai. Melainkan sebuah rumah bergaya lama dengan halaman yang luas. Karena ini kantor cabang yang berpusat di Jakarta, jadi tidak banyak karyawan di Perusahaan penerbit ini.
Di luar dari ketidakmegahan kantornya, Nei suka dengan suasana kantornya yang bergaya rumah vintage, rumah bekas peninggalan penjajahan Belanda. Dengan bagunan rumah yang bentuk aslinya masih dipertahankan, hanya temboknya yang dicat ulang dengan warna aslinya.
Kantor vintage dengan halaman luas, beberapa pohon-pohon yang rindang di pelataran parkir, menghalangi sinar matahari yang menyengat, hingga membuat kesan adem dan sejuk.
Selain bangunannya, Nei mencintai pekerjaannya karena ia mencintai kata-kata. Buku-buku adalah teman abadinya sejak ia mulai mampu membaca dengan baik dan benar. Komik, buku cerita, menjadi teman kekosong hati dan waktunya. Keramaian dalam dunia sunyi dan sepinya. Melihat dunia yang begitu luas dari dunia sempitnya.
Dan bekerja di Semesta, tidak membuat ia harus memakai seragam formal. Cukup kaos, kemeja, celana jeans, Sepatu.
“Nei!” suara yang sangat dikenalnya memanggil namanya dengan jelas dan ringan, membuat Langkah santainya terhenti.
Damar, yang baru saja memakirkan motor Nmax 155 hitamnya, melihat Nei yang baru saja turun dari mobil. Dengan cepat ia melepaskan helm fullface hitamnya, membiarkan rambut gondrong gelombangnya terurai acak.
Dengan langkah cepatnya untuk menyusul Nei, Damar mengikat rambutnya yang sepangkal leher dengan ikat rambut yang ia gelangkan di tangan kriinya. Lalu, Damar memanggil Nei dengan senyum manis merekahnya dibalik brewok brewok tipisnya.
“Tumben kamu uda datang, Mar?!” sambut Nei saat menemukan Damar melangkah cepat menujunya, sinar matahari yang tepat di belakang Damar, membuat Nei mengerenyitkan keningnya. Silau.
“Lha, memang aku engga pernah datang pagi?!” heran Damar menatap Nei, sesampainya di samping Nei.
“Suka sih, tapi jarang. Jadi, aneh aja,” goda Nei, tersenyum tipis melirik Damar. Mereka melangkah Bersama.
“Mau nyerahin desain buat buku selanjutnya. Bukannya kamu yang minta hari ini?!” sindir Damar.
“Oiyak ah?! Lupa aku hahaha.”
“Kebiasaan.”
“Sorry.”
Nei yang hanya setinggi bahu Damar cukup kesulitan setiap kali mengobrol dengan Damar, ia harus mendongkak kepalanya untuk melihat wajah maskulin Damar.
Damar, temannya sejak SMA, memiliki tubuh tegap tinggi dengan otot-otot yang terbentuk dengan pas. Wajah maskulin dengan guratan kasar, brewok tipis di area wajahnya membuat kesan garang dirinya. Rambut gondrong yang ringan dan halus, dan selalu membawa tas converse hitam di punggung tegapnya. Laki-laki yang kental dengan jiwa yang bebas dan nyeni. Nei sendiri takjub, bahwa ia dan Damar masih berteman dengan baik, dengan segala hal yang mereka lewati.
“Selamat pagi, Mba Nei, Mas Damar?!” sapa Satpam yang berdiri santai di depan pintu masuk.
“Pagi, Pak Sapto!” sahut Damar ramah dan hangat dengan senyum lebar, menyombongkan deretan gigi rapinya. Setiap kali Damar tersenyum, kegarangannya rontok seketika, digantikan dengan kehangatan dalam raut wajah manisnya. Langkah Damar dan Nei terhenti sejenak.
“Mas Damar, tumben sekali jam segini udah datang ke kantor?” tanya Pak Sapto.
Nei tertawa kecil, menemukan pertanyaan yang sama untuk Damar, membuat wajah Damar mengkerut.
“Apa aku bilang. Tumben,” bisik Nei menggoda Damar.
Damar menghela napas kecil.
“Biasalha, Pak. Ada yang rewel minta desain pagi-lagi. Eh, orangnya malah lupa,” keluh Damar melirik Nei.
Pak Sapto langsung melirik Nei yang hanya mengangkat kedua pundaknya, pura-pura acuh, Pak Sapto tertawa kecil. Mereka berdua terkenal begitu dekat di Semesta, begitu akrab sekalipun tidak selalu Bersama. Pak Sapto dan anak-anak Semesta sudah hapal dengan 2 sejoli ini, entah mereka ini benaran bertaman baik, saling memendam rasa, atau diam-diam menjalin hubungan.
Tapi, apapun itu, bagi Pak Sapto pribadi, mereka berdua tampak pas. Yang Perempuan tenang dan kalem, sedangkan yang laki-laki lincah dan periang. Pas, bukan?!
“Kita masuk dulu ya, Pak?!” pamit Nei dengan suara tenangnya, tersenyum kecil.
“Silakan, mbak.”
Damar dan Nei melangkah masuk ke dalam kantor mereka yang tertata dengan rapi dan luas, Cahaya matahari masuk dengan leluasan dari jendela-jendela besar, namun terasa sejuk karena AC di beberapa sudut dinyalakan full.
Sebelum masuk ke ruang kerja para staff, sebuah ruang tunggu menyambut mereka. Ruang tunggu yang cukup luas dengan dindingnya di cat bewarna putih terang, sisi pojok ruang tunggu berlantai keramik roman yang cantik, dengan jendela besar yang terbuka lebar di sisinya, jendela yang membuat udara bebas masuk dengan halaman samping yang hijau sebagai pemandangannya. Tiga buah sofa dengan tiga dudukan berada di dekat jendela besar, sofa berwarna biru langit, terlihat nyaman dan empuk.
Sedangkan sisi lainnya, Ruang Buku, ruangan dengan lantai kayu yang bersih dan mengkilap, harus melepaskan alas kaki saat menginjakkannya. Ruang buku dengan deretan rak-rak buku kayu yang tingginya sampai ke langit-langit atap, buku-buku hasil dari para penulis semesta maupun penerbit pesaing, buku-buku yang disimpan sesuai genre, buku-buku yang siapapun boleh membacanya, asal dikembalikan pada tempatnya setelah selesai membaca.
Ruang buku adalah ruangan favorite Nei, bukan karena Nei begitu mencintai buku-buku. Ruang buku baginya, seperti museum hasil dari kerjanya selama 3 tahun ini sebagai Senior Editor, dengan 2 tahun sebelumnya sebagai asisten editor. Entah sudah berapa banyak buku yang ia baca selama ini. Jadi, setiap kali menginjakkan kaki di kantor, ia akan melihat ruang buku dengan senyum bangga untuk dirinya.
Ada sebuah pintu kayu berwarna merah darah, warna yang begitu kontras dengan sekelilingnya, warna yang membara dan penuh semangat, dengan dindin pintu bertuliskan, ONLY STAFF, ruang kerja para staff.
Damar membuka pintu, dengan sebelumnya mereka absen dengan mesin manual absen dengan kartu-kartu absen para staff yang tersimpan di rak dinding. Klassik memang.
Seperti seorang laki-laki gentle, Damar mempersilakan Nei masuk terlebih dahulu, Nei mengucapakan terima kasih tanpa suara dengan senyum kecil terlempar untuk Damar yang menahan pintu untuk Nei.
Di mata Damar, sekalipun Nei berpakaian santai, Sepatu dan celana bahan dengan make up minimalis di wajah cantiknya. Nei terlihat Perempuan dengan aura feminim yang kental. Wajah lonjong kecilnya, sorot mata yang menenduhkan, suara yang lembut yang menenangkan.
Bahasa tubuh Nei pun elegant, cara berjalan yang tenang dan santai dengan kedua bahu kecil yang tegap. Sorot mata yang selalu menatap kedepan, seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Tersenyum sesuai porsinya, kecil, manis, dan Anggun
Jadi setiap kali Bersama Nei, jiwa maskulinnya selalu tergerak untuk menjadi garis terdepan bagi Nei.
Ruangan yang begitu luas dengan jendela-jendela tinggi di berbagai sisi ruangan bercat putih bersih ini, sehingga Cahaya matahari masuk dengan leluasa.
Beberapa rekan kerja mereka sudah hadir, duduk di meja kerja masing-masing. Beberapa sudah ada yang mulai bekerja, tapi kebanyakan mengobrol satu sama lain, tertawa Bersama, menikmati sarapan pagi.
Meja-meja kerja berwarna putih dengan kursi komputer berwarna hitam disediakan untuk para pegawainya, ada beberapa meja yang tersedia komputer, ada juga dengan laptop, ada juga yang dua-duanya, tergantung jenis pekerjanaan mereka.
Tidak banyak meja kerja di ruangan yang luas tanpa skat ini, ruangan terbuka, bebas satu sama lain, jadi mampu melihat rekan kerja lain satu sama lain.
Sekalipun tidak ada pemisah satu sama sama lain sebagai pembatas divisi, mereka menempatkan meja sesuai dengan divisi masing-masing. Nei dan Damar berada di genre yang sama, Fiksi, Genre thriller dan autobiography.
Sebelum di tempatkan di kota asal, Nei ditempatkan di kantor pusat, Jakarta sebagai asisten editor. Akhirnya, setelah perjuangan, setelah kesabaran, bertahan di Semesta. Nei dinaikan menjadi Senior Editor, dipindahkan di kota asalnya. Mencari, mengurus para penulis dari Provinisi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Sedangkan Damar sendiri, baru bergabung dengan Semesta selama 3 tahun, di bagian Desain ilustrator. Yang sebelumnya menjadi pekerja lepas, kini menetap.
Karena selain jago desain, Damar selalu pintar menggambarkan cerita-cerita dengan asiran tangannya, baru 1 tahun ini menjadi pegawai tetap.
Nei yang merekomendasikan Damar pada atasannya, karena sayang rasanya, kelebihan Damar yang dimiliki tidak dijadikan pekerjaan.
Sebelumnya, Damar bekerja secara freelance di Event organizer, yang sebelumnya bekerja di Perusahaan telekomunikasi. Menjadi pegawai corporate membuat jiwa bebasnya mati kutu, membuat hidupnya tak berarti, dan kehilangan dirinya.
Gaji dan tunjungan sebesar apapun tidak mampu membuat hatinya tenang dan senang. Merasa salah jalan dan arah dengan bekerja di corporate, Damar memutuskan resign.
Saat itu entah mau bekerja apa, hidup dengan Tabungan yang selama ini ia kumpulkan. Waktu luasnya ia gunakan dengan sibuk menggambar, mendesain apapun, melemparkan karya-karyanya ke sosial media. Orang-orang mulai memperhatikan, menyukainya, dan mendapatkan uang dari sana.
Hati senang, tapi tidak cukup untuk biaya hidup. Belum lagi, Damar harus membayar indekosnya, belum makan, belum bensin, belum ngopi, dan belum membeli perlengkapan gambarnya. Ia pun mengambil freelance.
Sosial media mempertemukan Kembali dengan Nei, Perempuan yang selama ini hanya dalam ingatannya, tiba-tiba muncul menyapa di Direct Message Instgram, mengajak pertemenan dalam sosial media. Bercakap-cakap secara dunia maya, memutuskan untuk bertemu, Kembali bercerita, Kembali berteman setelah 10 tahun hidup asing satu sama lain.
Nei menyukai imajinasi Damar yang tertuang lewat warna-warna yang Damar ciptakan, hidup dan hangat. Ia sendiri yang mencari Damar di sosial media, setelah Damar menghilang begitu saja saat mereka lulus SMA. Padahal, mereka dulu, sangat dekat.