Dibuat Jatuh Cinta Kembali

J U N E
Chapter #3

Part 2 ; [ Minara dan Payung Merahnya]

Selepas dari sarapan bubur ayam Mang Kumis yang berhasil mengenyangkan perut Damar dan Nina, mereka Kembali ke meja masing-masing. Nina Kembali dengan tim marketingnya yang sudah menunggunya untuk rapat pagi hari, Kembali memutar ide untuk acara promosi buku terbaru mereka.

Sedangkan Damar dan Nei, juga Kembali ke meja kerja mereka, membuka macbook mereka masing. Sambil menunggu macbooknya benar-benar menyala dengan sempurna, Nei menatap draft novel yang diterimanya kemarin sore, langsung dari tangan Mas Setyo, Chief Editor di Semesta.

Kemarin sore saat Nei tengah asyik mengecek email kantor yang masuk, dan baru saja membuka kiriman naskah baru dari beberapa penulis pemula, ponsel di mejanya bergetar tanpa henti.

Nei tidak suka menggunakan nada dering, bahkan getaran pun dia tidak suka. Hanya karena jam kantor, dia menggunakan mode getar. Di luar dari jam kantor, Nei memasang mode, silence. Nei sensitive dengan suara-suara yang memekakkan telinganya. Suara-suara yang nyaring, bising.

Nama Mas Setyo muncul di layer ponsel pintarnya, terdiam sesaat, karena tumben sekali Mas Setyo menghubunginnya. Biasanya yang menghubungi Nei perihal pekerjaan itu, Mbak Zahra, personal Asistennya Mas Setyo sekaligus wakil chief editor.

Tumben. Apa editanku kemarin ada yang salah? Atau penulis ada yang komplaint? Ah, atau draft baru?!

“Ya, Mas Setyo?!” sapa Nei saat mengangkat teleponnya, dengan rasa penasaran.

“Hei, Nei. Kamu lagi di kantor?” Nei langsung menghela napas lega, mendengar suara Mas Setyo yang besar dari sebrang sana, terdengar riang.

“Iya, Mas.”

“Suara kamu tegang banget?!” sindir Mas Setyo menahan tawanya.

“Hehehe … soalnya tumben Mas Setyo nelepon saya.” Jujur Nei, menggaruk-garuk ringan kening kepalanya.

Mas Setyo tertawa kecil. “Iya, nih. Saya langsung kepikiran kamu saat terima draft cerita ini.”

“Draf cerita?!” Nei meminta penjelasaan, menahan senyum riangnya. 

“Iya. Akhirnya, kita dapat lagi cerita baru dari Minara.”

 Minara?! Minara penulis itu, kan?!

“Minara?! Mbak Minara penulis semesta yang uda dua tahun ini hiatus, Mas?!” Tanya Nei memastikan, sesaat napasnya tertahan. Menahan kegirangannya.

“Iya, Minara mana lagi!? Kamu ini.”

Nei tersenyum senang, akhirnya Minara Kembali.

Tapi, apa hubungannya sama aku?

“Sorry, Mas. Terus hubungannya sama saya kenapa ya, Mas?” bingung Nei. Mas Setyo tahu sekali, bahwa Nei adalah penggemar berat dari Minara. Apa memang Mas Setyo sengaja kasih tahu Nei bahwa penulisnya favoritenya Kembali? Sekedar FYI.

“Menurut kamu, kenapa?”

“Ya, saya engga tahu, Mas. Sekedar pengumuman. Karena Mas Setyo tau kalau saya ngefans sama Mba Minara,” tebak Nei ngasal.

Mas Setyo ketawa konyol. “Saya engga ada kerjaan banget nelepon kamu untuk sekedar kasih info. Wasted my time, Nei.”

Nei mengatup mulutnya. “Ops, sorry.”

“Kamu ternyata se-polos ini atau kamu memang tidak punya kepercayaan diri yang bai?!”

Jleb! Menusuk tepat di jantung Nei.

“Kamu ke ruangan saya aja, deh. Biar saya jelaskan detailnya.”

“O sekarang, Mas?”

“Engga, Nei. Lebaran monyet.”

“Hehehe, sorry. Saya sekarang ke sana.”

Telepon tertutup.

Dengan masih kebingungan Nei bersiap untuk ke kantor Setyo, membawa notebook pekerjaannya dengan sampul kulit berwarna coklat, tidak lupa dengan pulpennya.

Nei sengaja meninggalkan ponsel di laci meja kerjanya, karena Setyo tidak suka saat staffnya sedang berada di ruangannya membawa ponsel. Kalau ada yang mesti di catat, buku catatan adalah pilihan terbaik. Setyo memang type manusia yang menyukai cara lama.

Sambil melangkah pasti dengan converse putih, beruntungnya Nei, hari itu. Ia berpakain cukup rapi, karena nanti sore ada meeting dengan penulis garapannya. Nei memakai Crop pans berwarna khaki dengan kemeja kaos hitam katun berlengan berwarna hitam. Setyo tidak suka saat meliha staffnya berpakain terlalu santai ke kantor.

Nei mengikat rambutnya dengan rapi, menata poni belah tengahnya, merapihkan kaos hitam polosnya. Memastikan ujung kaos masuk ke dalam pinggang celananya dengan rapi. 

Ruangan Setyo berada di belakang kantor ini, tepat berhadapan dengan halaman belakang kantor yang asri dan rindang.

Meja Zahra kosong, biasanya Zahra duduk manis di meja depan ruangan Setyo, entah lagi sibuk membaca macbooknya, membaca draft, buku, menelepon penulis. Kali ini, kosong.

Nei menarik napas sejenak, lalu mengembusnkannya perlahan. Berdehem sesaat untuk memberikan udara pada tenggorakannya, agar suaranya lantang terdengar. Ia lalu mengetok pintu, dalam satu ketokan sudah terdengar suara Setyo terdengar dari dalam.

Setyo yang tengah menunggu Nei sibuk membolak balikan draft yang ada di tangannya, wajah tegasnya begitu sumaringah, senyum belum juga lepas dari bibirnya. Ada kebanggan dan kepuasaan dalam raut wajah kharismatiknya yang bersih, putih, tanpa setitik noda. Kedua matanya begitu berbinar di balik kaca mata minus berframe emas.

“Duduk, Nei.” Setyo mempersilakan Nei duduk, hanya melirik Nei dengan senyum merekah, membuat wajah bulat terlihat begitu bersinar, cerah, membuat Nei heran. Baru kali ini, Nei menemukan bosnya ini begitu senang. Ah tidak, jarang sekali Setyo bermuka cerah seperti matahari. Biasanya mengkerut, kerung.

“Ok, Mas.” Nei langsung duduk di kursi nyaman di depan meja kerja Setyo

“Kamu tahu, saya happy sekali menerima draft dari Minara. Dua tahun, Nei. Dua tahun saya nunggu dia melahirkan karya terbarunya. Dan seminggu kemarin, saya terima dari dia. Langsung dari tangannya.” Cerita Setyo bersemangat menatap Nei sambil menunjukkan Draft tebal di tangannya, seolah draft itu ada sebuah tropy yang sudah dimenangkannya.

Nei tersenyum canggung, otaknya masih berusaha mencari, apa hubungannya dengan dia?

“Kita langsung aja.” Setyo menutup lembaran draft yang ada di hadapannya, duduk tegap menghadap Nei dengan senyum penuh makna menatap Nei, membuat Nei kikuk sendiri. 

“Iya, silakan, Mas.” Nei tersenyum kecil.

“Kamu saya pilih, maksud saya. Saya dan Zahra, beberapa hari ini sudah berdiskusi siapa yang akan melahirkan buku Minara terbaru. Yang membantu Minara melahirkan bukunya. Dan, kami memilih, kamu. Kamu sebagai editor dari buku terbarunya, Minara.”

Kedua mata Nei terbelak menatap Setyo, dia salah dengar atau memang benar apa yang dia dengar?

“Sorry, Mas. Maksdu Mas Setyo, saya jadi editor bukunya Mbak Minara?” Nei memastikan menatap Setyo tidak percaya, ragu dengan kebenaran yang baru saja ia dengar.

Setyo menghela napas pendek. “Iya, kamu editornya dari buku terbarunya Minara. Payung Merah.”

Ada gejolak dalam dirinya, hingga membuatnya napasnya berburu. Nei menenangkan dirinya. “Minara, penulis genre thriller di semesta. Yang menulis, catatan hitam sama tragedi sebelah pedang?!” Nei memastikan, ia tidak mau kesenengan dulu.

“Iya, Neishia. Minara yang nama sama dengan nama belakangmu. Yang mana lagi?!” Setyo kesal dibuatnya, menggelengkan kepala menemukan Nei meragukan dirinya sendiri.

Nei menutup mulutnya dengan kedua tangannya, saking terkejutnya, bahkan sesaat napasnya tertahan.

“Mas Setyo, lagi engga bercanda, kan?! Senior Editor di Semesta bukan saya aja, lho. Masih ada beberapa senior lagi. Ini Mas Setyo, engga kepentok, kan milih saya?” Nei benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dapatkan.

Setyo mengatur napasnya, ia baru sadar bahwa salah satu editor andalannya tidak sepercaya diri ini. Setyo memberikan draft tepat di depan mata Nei.

“Saya dan Zahra, mau kamu mengerjakan naskah ini. Kami percaya kamu mampu dan bisa. Bahkan, menjadi seorang penulis pun kamu bisa.” Tekan Setyo menatap Nei penuh keyakinan. “Jadi, berhenti mempertanyakan keyakinan kami dengan memilih kamu. Kamu buang-buang energi saya kalau seperti itu terus.”

Nei Kembali mengatup mulutnya, menundukkan kepalanya, kedua tangannya menyatu saling mendekap.

“Sorry, Mas.”

Setyo menganggukan kepala, mengerti.

Lihat selengkapnya