Arista Hermanto
Presentasi mingguan tengah berlangsung, setiap Account Officer yang bertugas mempersentesikan calon nasabah pinjaman, yang akan meminjam dana di atas 500 juta rupiah di Bank National. Perusahaan perbankan yang selama 5 tahun ini menjadi tempat aku bekerja.
Jovanka, rekan kerjaku tengah mempresentasikan calon nasabahnya, dan kami, termasuk Pak Sigit, Pimpinan Divisi Bisnis dan Konsumer memperhatikan Jo-Nama panggilan Jovanka, dengan seksama.
Seperti biasa, Jo memang lihai dalam presentasi, memiliki kemampuan public speaking yang baik dengan penampilannya yang menarik. Wajah China Indonesia, kulit putih bersih dengan wajah mungil yang memiliki kelopak mata yang sipit, namun dengan bola mata yang besar. Rambut indah panjang gelombangnya, berwarna coklat, membuat dirinya selalu terlihat menonjol.
Sedangkan aku, sibuk mengendalikan keresahan dalam diri, karena getaran dari ponsel yang tersimpan di saku blazer belum juga berhenti. Dia terus meneleponku tanpa henti, padahal sebelumnya, aku sudah meminta untuk tidak perlu dijemput. Rapat presentasi ini akan berlangsung lama, sekalipun jam pulang sudah lewat. Seharusnya, dia sudah paham bagaimana pekerjaanku. Nyatanya, dua tahun bersama, tidak cukup membuatnya memahamiku.
Setelah menimag-nimang, akhirnya aku memutuskan mematikan ponsel dengan kesal, tidak peduli lagi kami akan bertengkar hebat, seperti biasanya.
Ya, aku melakukan hal yang benar. Aku menyakinkan diriku sendiri.
Berusaha setenang mungkin, mengatur napas, kembali menenangkan diri, berusaha fokus pada detik ini. Rapat presentasi ini penting bagiku, bulan ini aku belum sampai target. Dan kalau calon nasabahku kali ini tidak lolos lagi, aku bisa di panggil ke kantor pusat untuk mempertanggung jawabkan atas kinerjaku yang satu tahun belakangan ini menurun.
Pak Sigit selaku Pimpinan Divisi Bisnis konsumer dan wakilnya duduk di jajaran paling depan dengan begitu fokus menatap teman kami yang sedang presentasi.
Sesekali aku melihat Pak Sigit mencatat di notenya sambil memperhatikan anak buahnya yang tengah presentasi dari balik kaca mata minus berbingkai emas. Biasanya, beliau akan mencatat penjelasan yang kurang menyakinkan dirinya, dan akan menanyakan kembali untuk meminta penjelasan yang lebih detail.
Jo selesai presentasi dengan baik, senyum kepuasaan mengembang di wajah cantiknya yang bersinar, sesaat melirik padaku, aku memberikan jempol padanya.
“Terima kasih, Bu Jovanka. Seperti biasa, presentasinya jelas dan detail,” ucap Pak Sigit dengan senyum puas. “Saya sudah mencatat kekurangan dalam presentasi calon nasabah Bu Jovanka, ada beberapa kekurangan, tidak fatal. Hanya butuh tambahan, sebelum kami acc pinjaman yang bernilai dua milyar ini, mohon diperbaiki.” Lanjutnya, di akhirnya senyuman.
“Baik, Pak Sigit. Terima kasih?! Saya akan memperbaiki proposalnya.”
Pak Sigit hanya mengangguk tanpa menengok pada Jovanka, sibuk mencatat di proposal milik Jovanka.
“Baik, selanjutnya, terakhir.” Pak Sigit melirik padaku yang duduk paling ujung.
Aku langsung duduk tegak, bersiap dengan senyum canggung.
“Bu Arista, silakan.”
“Iya, Pak.” Sigapku, berdiri dari duduk, dan Pak Sigip menaikan proposalku dari tumpukan proposal yang ada di dekatnya.
Jovanka melangkah kembali ke kursinya, kami saling melewati.
“Semangat, Ta!” bisiknya mendukungku dengan bibirnya.
“Thank you?!” senyumku padanya.
Aku berdiri berhadapan dengan para rekan kerjaku yang duduk melingkari meja rapat berbentuk oval ini, Pak Sigit sudah membuka proposalku.
Sejenak, aku menenangkan diri, mengenyahkan dirinya dalam pikiranku, menyakinkan diri bahwa ini jauh lebih penting dari pada dirinya. Pekerjaanku, diriku, mimpiku, jauh lebih penting dari dirinya, dari rasa cintaku padanya.
Jadi, aku bisa, kali ini aku akan berhasil. Tidak akan ada yang mampu mengalahkanku, sekalipun rasa cinta yang terasa melelahkan ini.
“Selamat malam, saya Arista Hermanto, Senior Account Officer. Dan saya akan memulai presentasi saya.” Lantangku tersenyum menatap mereka yang tengah memperhatikan.
*
“Selamat ya, Ta! Akhirnya maneh [1]lolos juga.” Jo memberikan ucapan selamat dengan logat sunda kentalnya, saat kami tengah menunggu lift untuk pulang.
“Ya, akhirnya gue bisa bernapas lega.” Senyumku lega, melirik pada Jo yang berdiri di sampingku.
"And I have a something for you." Serunya dengan senyum bahagai, lalu mengambil kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya. "This!" Jovanka memberikan undangan dengan senyum malu, dengan kedua matanya yang berbinar.
"Oh My God!!" Aku terkejut dengan undangan yang tersodor padaku, menatapnya tidak percaya dengan senyum yang mengembang. "Undangan pernikahan elo sama Mike?!!"
Aku langsung mengambil kartu undangan dari tangannya, kartu undangan berwarna cream dengan cetakan huruf-huruf tebal berwarna emas. Jovanka sekali, elegant but classic.
"I am happy for you, Jo!" seruku langsung memeluknya, bisa kucium aroma bunga dari parfume di tubuh kurusnya. "Akhirnya sepuluh tahun pacaran, ada hasil juga."
Jo membalas pelukanku. "Gue engga jagain jodoh orang kan?!"
Kami tertawa kecil bersama.
Tidak lama pelukan kami terlepas. "Gue akan menyiapkan gaun special buat hajatan elo ini."
"Harus, dong." Senyumnya kecil. "Perginya sama Rizal kan?"
Diam, aku meragukan itu. Ada perasaan tidak nyaman akan hal ini.
"Ya Allah, gue lupa!" Aku teringat, dan langsung mengambil ponsel dari saku blazzer.
“Kenapa, Ta?" tanya Jo kebingungan.
"Gue lupa nyalain hape." Aku menunjukkan ponsel di tangan.
"Perang dunia keseribu deh nih." Celetuk Jo berdiri menghadap lift yang mulai naik.
"Sepertinya."
“Gue heran sama lo. Bisa-bisanya bertahan sama laki racun macem dia,” gumam Jo ketus. “Udah berapa lama sih kalian pacaran? Dua tahun ada?!"
Aku menengok pada Jo. “Ya, dua tahun, bulan kemarin.”
“Gue mah, satu bulan aja udah KO punya pacar yang posesifnya yang amit-amit kayak dia.”
Kalau yang waras sih, harusnya gitu.
Dan ya, sesuai duguanku, runtunan pesan whatsapp yang berhasil membuatku pening, membuat hati terasa jengkel.
Rapat apaan sih lama banget?
Baca wasapku, langsung balas.
Aku udah nunggu kamu ya di pakiran, pegal badanku.
Kamu mau-maunya di begoin sama perusahaan kamu. lembur udah kayak budak apaan tahu.
Lamaaaaa
Hurry up!! kesabaranku udah habis.
Perempuan apaan coba jam segini masih di kantor?!
Cari duit segede apa sih kamu?