Dibuat Jatuh Cinta Kembali

J U N E
Chapter #4

Tenang, Ada Aku Di sini.

Bimo Prasetya 

Ruangan Divisi Audit Internal, Bank National, ditata dengan cara berbeda di antara ruangan Divisi lain yang berada di Bank National. 

Setiap tim, memiliki 3 orang staf, satu orang Senior Audit Internal sebagai pemimpin tim, dan dua orang sebagai yunior audit internal, dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Dan ruangan Divisi Audit Internal ini, di bagi menjadi 5 area yang dipisahkan oleh kaca besar, satu tim dengan tim yang lainnya.

Jawa Barat memiliki 25 kota, di setiap kota, National Bank memiliki 3 sampai 5 Cabang, tergantung seberapa luas kota tersebut. Dan, Divisi Audit Internal Wilayah Jawa Barat memiliki 5 tim, dengan setiap timnya bertanggung jawab atas 5 kota di Jawa Barat. Jadi, total cabang keseluruhan yang menjadi tanggung jawab kami sebanyak 125 cabang untuk wilayah Jawa Barat.  

Kami bekerja melakukan audit secara acak setiap 3 bulan sekali, pada cabang-cabang dalam wilayah kami. Tugas kami tidak mudah. Walaupun, aku pribadi cukup menikmati setiap kali kami melakukan audit. 

Senang, dengan ketegangan yang ditemukan para staff cabang setiap kali kami melakukan audit. Membuat mereka lebih sibuk daripada biasanya, mendengarkan banyak keluahan mereka, karena pekerjaan mereka bertambah berat, yang berarti membuat mereka pulang lebih larut. 

Pekerjaan Audit adalah Mengchek dan memastikan, apakah cabang tersebut sudah melakukan standar oprasional Bank National dengan baik dan benar.

Entah dalam segi pelayanan pada nasabah, apakah proses pemberian pinjaman sudah sesuai jalur yang benar. Apa aliran dana kas yang diberikan Bank National untuk setiap cabang, sudah disalurkan berada pada jalur semestinya. Bukan untuk kepentingan pribadi, maupun untuk kesenangan para karyawan.

Dan mencari, lalu menemukan tikus-tikus yang menyalagunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, mengambil apa yang bukan hak. Lalu, menemukan kecurangan-kecurangan yang dilakukan para oknum pegawai, hingga merugikan pihak nasabah maupun Bank National sendiri.

Memang paling mudah mencari kesalahan orang lain. Pekerjaan ini memusingkan, sekaligus menyenangkan.

Area tim-ku berada di paling pojok, kami sengaja memilih paling pojok, karena jauh dari lalulalang orang yang keluar masuk, dan dekat dari pintu keluar menuju blakon-tempat nonkrong- Menjadi tempat favorit kami, selain pantri yang menyimpan limpahan makanan dan minuman. 

“Pagi, Zemi!” sapaku hangat, pada seorang perempuan yang tengah duduk di kursi kerjanya yang tengah mengetik sesuatu di notebooknya. Wajah cantik berparas blesteran Padang-Belanda terlihat begitu serius, bahkan keningnya mengkerut. 

“Ah Mas Bimo datang juga!” Leganya, saat aku baru saja melepaskan tas ransel dari punggung.

“Kenapa? Kenapa? Mau di beliin sarapan apa?” sahutku sesaat meliriknya sambil mengeluarkan notebook, beberapa berkas kerjaan yang dibawa pulang, dan pomed dari dalam tas ransel hitam besar ini. 

Zemi berdiri dari duduknya, terlihat tubuh tinggi jenjang berisinya. Bahkan tingginya hampir sama denganku, padahal Zemi memakai sepatu tanpa hak.

“Bukan itu, Mas,” kalutnya menatapku. Ada masalah, ucap Zemi sudah berdiri di sampingku dengan resah.

“Masalah apa?” tanyaku bersikap santai dengan tawa kecil, karena wajah kalutnya terkesan lucu.

“Mas Satria tadi pagi wasap saya, kalau dia hari ini izin sakit. Asam lambungnya kambuh!” ucapnya risau. “Apa Mas Satria udah wasap Mas Bimo?”

Aku langsung melihat ke meja Satria yang berhadapan dengan meja kerja Zemi. Kosong. Rapi. Tidak ada notebook-nya. Yang itu berarti, tidak ada penghuninya. 

Langsung kuambil ponsel di dalam tas ransel, ada Whatsapp masuk. Aku selalu mematikan notif setiap sepulang kerja, dan menyalakan notif keesokan paginya, dengan alasan tidak mau diganggu diluar jam kerja. 

Pesan Whatsapp dari Satria, memberitahu bahwa asam lambungnya kambuh, dan meminta izin untuk tidak masuk kerja. 

“Shit!!” geramku kesal menggenggam erat ponsel di tangan. “Terus kerjaan dia gimana? Laporan bukti temuan kan, semua ada di Satria!?! Ini gimana ceritanya dia sakit lambung? Tadi malam masih baik-baik aja, kok! Dia tahu kan, kalau pagi ini kita ada meeting final?!” cerocosku panik, dengan mondar mandir mengelilingi meja kerja. 

Zemi menggaruk keningnya dengan wajah bingung, mengikutiku yang tengah mondar-mandir. “Kata Mas Satria, dia mau kirim semua bukti pake kurir, Mas!”

Langkah terhenti, langsung membalikan badan pada Zemi yang berada di belakang, hampir saja kami bertabrakan. 

“Apa??! pake kurir?! Dia mau ngirim laporan sepenting itu pake kurir?!!” Aku mengecam idenya ini, menggenggam erat ponsel. 

Zemi menganggukkan kepalanya pelan dengan wajah yang sama kalut dan bingungnya denganku. 

“Shit!” umpatku. “Kita punya berapa jam lagi sebelum meeting?” Aku mencoba memikirkan solusi. 

Zemi melihat arloji di tangan kirinya, “Sekarang jam setengah delapan. Kita punya satu setengah jam lagi, sebelum rapat di mulai.” 

“Okay!” Aku diam sejenak, memikirkan solusi apa yang harus kuambil, menimang-nimang, memperhitungkan waktu dan risiko, dari setiap solusi yang terlintas. “Persiapan untuk meeting udah kamu siap kan semuanya?!?”

“Udah, Mas. Hasil analisis audit yang kita buat juga udah saya copy, sesuai jumlah yang ikut meeting hari ini. Terus, saya juga sudah memastikan kehadiran divisi kepatuhan dan hukum, sama komite audit. Dan ya, mereka siap untuk hadir,” jelas Zemi terperinci.

Untuk yang ini aku bisa menghela napas lega. “Okay. Kalau gitu, sekarang saya ke rumah Satria. Kamu cek-cek lagi semuanya, termasuk konsumsi juga. Pastikan ke office boy!” Aku memberikan intruksi, mengambil dompet dan kunci motor dari dalam tas ransel.

“Baik, Mas!” sigapnya. 

“Saya ke Satria dulu, kalau ada apa-apa kabarin aja. Mengerti?” 

“Dimengerti, Mas!” 

“Okay.” Aku menepuk pundak Zemi, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan kantor ini sambil menghubungi Satria. Satria Gembul, namanya dalam kontak.

Tersambung. 

“Hallo, Mas?!” sapanya, dengan suara lemas dari sebrang sana.

“Eh Boboho! Elo engga masuk lagi?!” tanyaku, menahan kekesalan dengan berjalan cepat keluar dari ruangan ini. 

“Iya, asam lambung saya kambuh lagi!” keluhnya, dengan suara terdengar meringis kesakitan. 

“Kemarin, elo masih sehat bugar, sampai makan mie ayam dua mangkok. Kenapa tiba-tiba jadi tepar gini? Elo tahu kan hari ini, hari apa?!” 

“Hari kamis kan, Mas?!” jawabnya santai. 

“Bukaaann ituuuuu!!” teriakku, tepat di speaker ponsel. 

“Mas, biasa aja kali suaranya. Kuping saya masih sehat walfiat.” Keluhnya, “Terus apa dong, Mas?”

“Rapat. Audit. Internal. Satria, sayang, darling.” Kesalku penuh tekanan dalam setiap katanya. 

“Oiya, maaf. Itu maksud saya, Mas.”

Sabar, Bimo, Sabar. 

Langkah terhenti di depan lift.  Aku memencet-mencet tombol panah ke bawah, padahal sekali pencet juga sudah cukup. 

“Ya ya saya salah. Maaf ya, Mas?!” sesalnya. “Terus gimana, Mas? Kalau saya ikut rapat, terus saya pingsan ditengah rapat. Siapa yang mau angkut saya? Mas Bimo? Zemi? Engga mungkin, kan?!!” Emang paling pintar cari pembelaan nih si Boboho satu.

“Sekarang juga, elo share lock rumah elo. Gua ke sana sekarang, mau ambil laporannya. Jangan pernah lagi, elo mikir, kasih tuh laporan bukti temuan ke sembarang orang. Paham?!!” 

“Saya engga ada niat untuk kasih ke sembarang orang kok, Mas. Saya cuman mau kirim pake ojek online.”

Argh!!

“Susah memang ngomong sama orang ngeyel kayak elo!” Aku enggan untuk berdebat. “Sekarang juga, share lock lokasi elo!!” Pintu lift akhirnya terbuka dan langsung masuk ke dalamnya, memencet tombol 1 kembali menuju banking hall. 

“Engga bisa, Mas?!” lirihnya denan suara parau. 

Astaga!!

“Kenapa engga bisa?” Kesabaranku diambang batas. 

“Kan, Mas Bimo lagi nelepon saya!”

Lihat selengkapnya