Arista Hermanto
Masih ingat dengan jelas dalam ingatanku, tentang masa kecil yang patah. Saat itu, aku pikir, tidak ada yang salah dalam hidupku. Aku kecil berada di Tengah-tengah keluarga yang menyayangiku dengan baik, tidak merasa kekurangan apapun sampai akhirnya aku sadar, aku tidak memiliki sosok yang kupanggil, Ayah.
Waktu itu, umurku 5 tahun, saat Nenek berpulang terlebih dahulu meninggalkan kami. Nenek, tidak berhasil melawan penyakit komplikasi dalam tubuhnya, hingga Nenek tutup usia. Aku kecil hanya mampu terpaku tanpa mengerti dengan baik, makna kepergian Nenek.
Melihat dengan jelas, bagaimana Ibu dan Tante Tuti begitu sedih dan terpukul. Raungan tangis Ibu dan Tante Tuti, terdengar jelas di seluruh ruangan di mana Nenek tertidur pulas dengan banyak selang yang menempel di tubuhnya. Sedangkan Kakek sendiri, berdiri lemas di samping Nenek dengan tubuhnya sudah tertutup kain putih, wajah Kakek yang biasa terangkat tegap kini tertunduk.
Aku tidak paham, kenapa mereka sampai segitunya? Nenek pergi, ya tentu. Tapi, Nenek akan kembali bukan? Lalu, kenapa mereka sampai seperti itu?
Hanya saja, ada kesedihan yang menyergap dalam relung hatiku saat itu. Hingga, lambat laun, aku ikut menangis sampai seorang suster membawaku keluar dari ruangan itu. Tangisku semakin pecah, aku hanya merasa sedih dan ingin menangis. Dadaku sakit sekali, tanpa tahu kenapa terasa sakit itu hadir, kenapa kesedihan terasa melekat. Suster pun menundukkan tubuhnya agar setera denganku, lalu memelukku, mendekapku dan menenangkanku dengan menepuk-nepuk punggungku.
Nenek meninggal, hanya itu yang kutahu. Para saudara dekat maupun jauh, berkumpul memenuhi rumah Kakek. Ada beberapa wajah yang kukenal, ada juga yang asing, mereka semua tampak sedih. Mereka semua, satu per satu bergantian memeluk Kakek, Ibu, dan Tante Tuti. Menyolatkan Nenek yang tertidur pulas di ruang Tengah dengan kain batik menutupi tubuhnya hingga seluruh tubuh. Ada yang menangis, ada yang sekedar tertunduk sedih.
Aku kecil terabaikan, merasa bosan dan juga bingung. Perasaan campur aduk yang tidak mampu kumengerti.
Teras belakang rumah kakek, menjadi pilihanku. Ada beberapa anak-anak kecil bermain di sana, di temanin dengan ibu mereka. Para ibu, langsung menghampiriku, mengajakku bermain bersama anak-anaknya. Aku dengan malu dan sungkan ini, menerima tawarannya dengan senyum kecil.
Ya, aku bermain bersama dengan saudara jauh dari Nenek, begitu kata salah satu ibu yang berkerudung.
Sampai saatnya, seorang laki-laki bertubuh tegap dan berisi menghampiri ibu berkerudung ini, tersenyum padanya. Sesaat ia menengok padaku yang Tengah bermain, sekejab mengibas rambutku lembut dengan tatapan hangat, lalu ia menyapa anak laki-laki yang Tengah bermain denganku.
“Bagas,” sapanya hangat pada anak laki-laki yang bernama Bagas ini.
“Ayah!” sahutnya riang dengan senyum lebar menatap laki-laki yang bernama ayah, menatapnya dengan banyak Bintang di kedua kelopak matanya.
Saat itu, aku terkejab, menatap Bagas dengan laki-laki ini. Ayahnya, langsung mengambil tubuh mungil Bagas, mengangkat tubuh Bagas yang terlihat ringan baginya, memeluk lalu menggendong Bagas.
Ayah?
Bagas sama seperti aku. Tapi, kenapa aku tidak punya laki-laki seperti yang Bagas punya? Ayah? Sepertinya menyenangkan memilikinya. Bagas terlihat begitu senang.
“Mah, kita pulang sekarang? Puncak jam segini, macet.” Ajak laki-laki dengan panggilan Ayah ini, mengajak Tante berkerudung.
Mah? Maksudnya Mamah? Kenapa laki-laki ini memanggil tante dengan sebutan Mamah? Apa Tante ini anaknya juga?
“Iya, Yah.” Senyum tante lembut, lalu ia menengok padaku. “Arista, Tante Mira, pulang dulu ya?! Kapan-kapan kita main lagi sama Bagas.” Senyumnya lembut menatapku.
O ,Namanya Tante Mira.
Aku hanya mengangguk, lalu melirik Bagas yang masih dalam pangkuan laki-laki bertubuh tegap ini dengan iri.
Tante Mira membelai rambut pendekku, lalu beranjak dariku.
Dan sejak itu, aku tidak lagi memikirkan tentang Nenek yang meninggal. Seharian itu, aku memikirkan tentang laki-laki yang Bagas panggil, Ayah. Kenapa aku tidak punya sosok laki-laki seperti itu? Sepertinya, menyenangkan dipeluk seperti Bagas? Kenapa Ibu tidak punya laki-laki seperti itu? Ibu hanya punya Kakek yang sudah beruban. Dan kenapa Bagas memanggilnya dengan Ayah? Jadi, Ayah itu apa? Siapa?
Malamnya, setelah Nenek di makamkan, aku sudah tertidur di Kasur kamarku. Aku masih satu kamar dengan Ibu, dalam kelelahannya, dengan kedua mata yang bengkak, Ibu terbaring di sampingku.
Aku menyampingkan tubuhku pada Ibu, dan aku memutuskan untuk bertanya pada ibu.
“Bu, Rista mau bertanya.” Pintaku menatapku.
“Tanya apa?” suaranya serak, terdengar letih.
“Mmm…Ayah itu apa, Bu? Apa Rista punya Ayah?”
Ibu langsung menengok padaku, wajah lelahnya terlihat bingung.
“Kenapa tiba-tiba Rista nanya gitu?”
“Tadi, Rista main sama Bagas, terus ada Ayahnya Bagas.”
Ibu menyampingkan tubuhnya kearahku, wajah letihnya tersirat lembut.
“Rista juga punya ayah kok.”
Senyumku mengembang. “Terus dia di mana?”
Ibu menghela napas pendek. “Boleh ceritanya nanti saja? Ibu kelelahan sekali hari ini. Gimana?”
Aku sedikit kecewa, tapi mencoba memahami.
“Baik, Bu.”
“Sini ibu peluk anak ibu yang cantik?!”
Aku mendekatkan tubuhku pada Ibu, dan ibu memeluk tubuh kecilku dengan erat.
Malam ini, Ibu kembali menangis, teringat Nenek. Aku ikut sedih, tapi tidak menangis. Pikiranku penuh dan begitu penasaran dengan sosok Ayah, yang kata Ibu, aku memilikinya juga. Bagaimana bentuk mukanya, ya?
*
Ayahku lebih tampan dan gagah daripada Ayah Bagas, itu yang kulihat saat Ibu menunjukkan foto pernikahan Ayah dan Ibu padaku.
Saat itu juga, aku tahu, bahwa ayah dan ibu tinggal terpisah, dan Ibu meminta maaf padaku baru menceritakan tentang ayah padaku.
“Kenapa kalian tinggal berpisah?”
“Karena kalau bersama-sama terus, akan banyak hal yang tidak baik terjadi. Tapi, bukan berarti kami menjadi musuh. Kami hanya tinggal sendiri-sendiri.”
Aku tidak paham sebenarnya.
“Terus kapan Rista bisa ketemu ayah?”
Kali ini, ibu diam sejenak.
“Nanti ibu tanyakan sama ayah dulu ya?! Ayah kan kerja, sibuk sekali.”
“Ibu juga kerja, sibuk sekali setiap harinya. Makanya Rista selalu main sama Nenek dan Tante Tuti. Tapi, Ibu masih bisa ketemu Rista. Kenapa tidak dengan ayah?”
“Karena, ayah kerja di luar kota. Dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sini, ke Bogor.”
“Memang Ayah di mana?”
“Kalimantan.”
“Itu di mana?”
Ibu beranjak dari duduknya di ruang keluarga, menanyakan sesuatu pada Kakek yang Tengah membaca koran. Tante Tuti, sibuk di dapur dengan ibu-ibu yang Tengah memasak, nanti malam akan ada tamu lagi kata Ibu, mengaji untuk Nenek.
Sambil Ibu pergi entah ke mana, ada perasaan kosong yang saat itu aku rasakan, duduk di ruang keluarga. Tidak ada sosok Nenek, Nenek yang biasanya ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Nenek dengan senyum hangatnya di balik wajah keriputnya. Nenek dengan suara seraknya memanggil namaku. Nenek yang selalu tertawa kalau aku bilang, Nenek Besar sekali kayak gunung, karena tubuhnya yang gendut.
Perasaan sedih menghampiriku kembali, lalu tiba-tiba saja kedua mataku menangis sampai akhirnya ibu datang dengan sesuatu di tangannya. Ibu terkejut melihatku menangis, dan langsung bertanya padaku dengan khawatir.
“Rista, kenapa menangis?”
“Rista pingin ketemu Nenek.” Lirihku.
Ibu langsung memelukku, mengelus-ngelus punggungku. “Semoga Allah mempertemukan Rista dengan Nenek dalam mimpi, ya?!”
“Kenapa dalam mimpi Ibu?”
“Karena Nenek sudah di surga, sudah berada di sisi Allah, tempat yang sangat jauh. Jadi, cuman bisa lewat mimpi. Engga apa-apa kan? Yang penting bertemu.”
Aku hanya mengangguk.
Tidak lama, tangisku terhenti, Ibu membantuku mengusap air mata yang membasahi wajahku.
“Nah, liat Ibu bawa apa?” Ibu menunjukkan kertas tebal yang terlipat.
Aku menggelengkan kepala.
“Ini peta, peta Indonesia, negara kita.”
“Peta?”
Ibu menganggukan kepala. “Ibu ambil dari ruang kerja Kakek.”
“Ooo…”