Arista Hermanto
“Thanks for today ya, Bim?!” ucapku sebelum turun dari mobil Bimo, Bimo mengantarku pulang sampai kosan dari resepsi Jo. Seluruh tubuhku terasa begitu Lelah dan capek, merasa konyol dengan diri ini yang habis joget-joget engga jelas tadi sama Jo.
Kenapa bisa aku sama Jo se gila itu?!
“Anytime, Ta.” Bimo membalas dengan senyuman yang sama. “Eh, bentar.”
“Apa lagi, sih?”
“Elo gila malam ini!” seru Bimo kagum dengan nada menyindir.
“Sialan elo!” Aku langsung memukulnya dengan tas kecil yang kubawa.
Bimo tertawa ngakak.
“Uda, bye!”
“Bye!”
Aku langsung turun dari mobil CRV hitamnya Bimo, mengambil kunci gerbang kosanku. Numpang tidurku ini adalah sebuah rumah berlantai dua, dengan pondasi bangunan berbentuk L, dengan halaman pakir yang cukup luas di kelilingin oleh pagar yang tinggi dan kokoh.
Setelah aku membuka kunci gerbang, dan masuk, Bimo Bersama mobilnya meninggalkanku, aku menutup dan mengunci Kembali gerbang kayu ini.
Kamarku berada di lantai satu, paling pojok, dekat dengan tangga menuju lantai dua. Sebelum masuk ke kamar, aku menghampiri kulkas Bersama yang letaknya di bawah tangga, mengambil minuman ion milikku. Lalu, masuk ke kamar dengan membawa botol minuman ion yang dinding botolnya terasa dingin dan basah.
Lampu kamar kosanku menyala, kamar kosanku tidak terlalu luas, segala furniture di kamar ini pun sudah disediakan satu paket dengan kamar, jadi aku hanya membawa diriku berserta keperluan dan kebutuhanku sebagai manusia.
Kasur ukuran medium yang tebal dan hangat. AC yang berfungsi dengan baik. Meja kerja dengan kursi, terpakai sekali saat aku membawa pekerjaanku ke rumah. Lemari pakaian dua pintu menyatu dengan meja rias, dengan cermin yang menempel, yang setingginya setera denganku. Dan kamar mandi di dalam, air panas yang sangat bermanfaat.
Kulepaskan sepatuh hak tinggi dikedua kaki, meletakkannya di rak sepatu dekat pintu masuk, melangkah Lelah sambil membuka ikatan rambutku hingga membuat rambut panjang gelombangku tergurai berantakan, dan kemudian terduduk di pinggir Kasur menghadap meja kerja.
Lekat-lekat aku menatap peta yang sudah usang di dinding kamar kostan sambil meneguk minuman ion dalam genggaman. Ada tulisan tak terbaca berwarna merah di dalam peta, di antara pulau Jawa dan Kalimantan. Di pulau Jawa tertulis namaku, Arista, dan di Kalimantan, bertuliskan, Ayah.
Ada foto aku dan Nenek di sisi peta, satu-satu foto yang kumiliki bersama Nenek. Fotoku Bersama Ibu, saat aku wisuda, dan foto aku kecil bersama ayah, satu-satunya foto yang kumiliki Bersama ayah.
Kesedihan Kembali menyapa relung hati, kesedihan yang terasa melekat dan menyesakkanku.
Padahal tadi, beberapa jam yang lalu, aku baru saja tertawa lepas. Menari-nari dengan riang dan ringan, seolah kesedihan dan masalah tidak pernah kumiliki.
Tapi semua itu sirna, saat aku berada dalam kesendirian. Saat kesepian dan kesunyian menghampiri waktu yang kumiliki, pikiran berkenalan ke antah berantah dengan perasaan yang campur aduk.
Aku tidak pernah mengira, tumbuh tanpa seorang Ayah ternyata memiliki efek yang begitu besar dalam proses perjalanan hidupku. Aku pikir, dalam diriku, sudah baik-baik saja tanpa ada ayah menemani setiap langkahku.
Nyatanya.
Diriku ringkih dengan banyak luka yang belum tersembuhkan, karena selama ini terabaikan
Aku yang ternyata haus akan kasih sayang seorang ayah begitu mudah memberikan seluruh hatiku pada laki-laki yang katanya menyayangiku. Begitu dangkal aku menilai kasih sayang yang kudapatkan, hingga aku sendiri tidak mampu melindungi diriku sendiri.
Selama ini, setiap kali berpacaran tidak pernah lama. Selalu mudah melepaskan, putus begitu saja, atau ditinggalkan begitu saja.
Aku tidak pernah benar-benar merasakan apa itu cinta, yang kurasakan hanya kesenangan, dan lama-lama terasa membosankan.
Sampai akhirnya, aku bertemu dengan Rizal yang berhasil membuatku merasakan banyak emosi dalam diri. Bukan sekedar kesenangan, tapi juga kebahagian.
Hingga aku nyaman Bersama dirinya, hubungan yang ini hubungan terlama, dan aku mau berjuang untuk mempertahankannya. Putus nyambung sudah biasa bagi kami, ada waktu dia Kembali padaku, dan ada waktu aku Kembali padanya. Berputar seperti itu terus.
Cintanya membelenggu diriku, membuat duniaku mengecil. Ada perasaan Lelah saat bersamanya, begitu letih menghadapi temperamentnya, membangkitkan kecemasan dalam diriku.
Tapi, aku memilih bertahan, berjuang sampai titik penghabisanku. Seperti bom waktu, aku berani mengambil Langkah sekalipun ada ketakutan. Takut, aku akan kehilangan seseorang yang mencintaiku se-gila dirinya. Takut, aku tidak akan pernah menemukan laki-laki yang segitunya padaku. Takut, aku akan sendiri, Kembali.
Bertahan pun terlalu melelahkan, sudah cukup aku menghancurkan duniaku, merusak apa yang sudah kubangun selama ini.
Aku masih menyayanginya, tapi aku lebih menyayangi diriku sendiri.
“Ayah, apa yang ayah akan katakan sekarang? Apa yang akan ayah lakukan saat ini? Rista adalah hasil dari rasa tidak tanggung jawabmu sebagai orangtua.” Lirihku menatap fotoku Bersama ayah, dadaku begitu sesak, dan air mata keluar begitu saja.
Ada kemarahan yang ingin kuluapkan.
Ada kekesalan yang ingin kuteriaki.
Ada tangis yang ingin kutumpahi.
Lalu, apa?
Tidak akan mengubah apapun, bukan?
Karena, waktu tidak akan pernah Kembali.
Dan apa yang terjadi saat ini, adalah buah dari apa yang pernah terjadi.
Aku, hanya perlu menerima, sekalipun, sulit.
*
Kalau kita membicarakan kecepatan, waktu selalu menjadi pemenangnya. Tidak ada yang mengalahkan kecepatan waktu, tau-tau sudah terlewat begitu saja, dan tersadar, kita masih berada di tempat yang sama.
Atau hanya aku saja yang memilih untuk tidak beranjak, sedangkan waktu enggan menungguku yang hanya melangkah dengan ritme yang pelan.
Satu tahun, 12 bulan, 52 minggu, 365 hari atau mungkin lebih. Yang pasti, tahun 2018 sudah terlewat begitu saja. Aku menghabiskan malam tahun baru di kantor Bersama Jo dan rekan kerjaku yang lain, membuat laporan akhir tahun.
Menikmati kembang api dari jendela kantor, makan sushi dengan sekaleng cola, dan mengeluhkan betapa cepatnya waktu berlalu.
Jo masih tetap sama, tidak banyak berubah setelah dia menjadi istri orang, Jo hanya lebih sulit untuk hang out bareng. Dunianya kini bukan hanya miliknya, tapi ada Mike, suaminya.
“Honeymoon phase gue sebenarnya udah lewat sih, Ta. Udah biasa ketemu dia tiap hari, bangun tidur, mau tidur, yang gue liat ya muka dia lagi, dia lagi. Bosen sih, tapi enaknya tuh, kita suka saling bercerita sebelum tidur. Dan rasanya, menyenangkan. Apapun yang kita lakukan nilainya udah jadi ibadah.” Ungkapnya, saat kami tengah menikmati kembang api di langit kota Bandung dari beranda kantor, Bersama dengan rekan kerja yang lain.
“Terdengar menarik.” Acuhku lalu meneguk cola.
“Terus, elo gimana? Katanya, elo mau dikenalin sama anak Bank sebelah.”
Aku menghela napas Panjang. “Malas.”
“Kok malas?”
“Ya, malas aja. Engga tertarik aja.”
“Apa yang membuat elo engga tertarik?”
“Kenalan, pdkt, bucin, terus apa? Patah hati lagi?!”
“Pesimis banget sih, Neng. Tong kitu ah. Pamali tau.”
“Terus gue tau dari mana, laki-laki yang gue kenal, dia laki-laki yang tepat untuk gue?!”
Jo tampak kebingungan, lalu ia hanya mengangkat kedua pundaknya.
“Elo sendiri aja bingung.”
“Tapi gue yakin kok, kalau elo udah ketemu orang yang tepat, hati elo akan jatuh gitu aja sama dia.”
“Oiya?” Aku meragukan itu. “Gue malah enggan untuk jatuh cinta lagi.”
“Lha, kenapa?” tanya Jo heran menengokkan kepalanya padaku.
Aku meneguk sekaleng cola yang dingin, menatang kembang api yang membuat langit malam begitu cantik dengan suaranya yang menggelegar.
“Kita hanya butuh persekian menit atau bahkan detik untuk jatuh cinta. Namun, kita membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari patah hati. Ketika elo udah siap jatuh cinta, elo juga harus siap untuk patah hati.” Renungku mengembuskan napas kecil, lalu meneguk Kembali cola.
“Wow!” Jo hanya tercengang.
Kepalaku menengok pada Jo. “Dan, kalau kata bapak Paolo Coelho, Jangan pernah jatuh cinta. Cinta itu racun. Begitu jatuh cinta kau kehilangan kendali atas hidupmu. Hati dan pikiranmu menjadi milik orang lain.” Lanjutku, melihat Jo yang kebingungan sendiri atas ucapanku, aku tertawa kecil menemukan kebingungan dalam wajah lelahnya.
“Ah, berat omongan elo. Siapa pula itu Polo apa itu?!”
“Baju kali, Polo.”
“Teuing ah.”
Aku hanya tertawa kecil menanggapi kebingungan Jo.
Sampai detik ini, 6 bulan setelah Jo bicara seperti itu, tidak ada perubahan apapun. Yang berusaha mengenalkanku, menjodohkanku, tidak pernah ada yang berhasil. Pernah bertemu, hanya saja hatiku tidak bergerak, aku tidak semangat sama sekali. Rasanya, hambar.
*
Bimo Prasetya
“Mas Bim?” Suara berat nan mesra, dibumbuhi dengan nada genit, mengalihkan perhatianku dari layar notebook. Menemukannya, membuatku jengkel setengah mati, berdiri di depan meja dengan wajah mesem-mesem manja menatapku. Berhasil membuat aku jijik, karena kumis tipis yang bertengker jantan di area mulutnya, membuatku begidik.
Aku, langsung melemparkan pulpen yang ada di meja kerja padanya dengan kesal.
Sial!
Dia berhasil menangkap dengan tepat, pulpen yang mengarah cepat padanya.
“Eits, tidak kena!” serunya dengan bangga senyum bangga, yang sumpahnya, begitu menyebalkan.
“Mas Satria hebat!” seru Zemi dengan tepuk tangan riang.
Aku langsung melirik sinis pada Zemi, langsung membuat Zemi merapatkan mulutnya.
“Apa? pagi-pagi udah ganggu!” tanyaku ketus padanya.
Satria menyimpan kembali pulpen milikku di atas meja. “Susah banget sih, Mas, dibuat senyum sama saya? Saya kurang menarik, ya, buat Mas Bim yang ganteng ini?!” godanya dengan wajah sedih.
“Ya. Di mata saya, kamu engga ada menarik-nariknya.”
Satria memanyunkan bibir dengan memutar bola matanya, memegang kumis tipis kebanggannya. “Kalau Zemi gimana? Menarik buat Mas Bimo?!”
“Ya iyahlah. Kayak gitu aja di tanya!” jawabku yakin menatap Satria.
“Ops, Darling. Kamu baru di puji lho sama Mas Bim.” Satria melirik Zemi, aku ikut melirik Zemi, Zemi tersenyum kecil. Entah kenapa, membuatku malu sendiri.
“Outch. Pipi Mas Bimo merah meronam gaes. Gemess deh!” genit Satria, yang membuatku makin geli melihatnya.