Bimo Prasetya
Sebenarnya Arista bukan pecinta minuman beralkohol, bahkan selama 6 tahun kami berteman, mungkin baru 2 sampai 3 kali dia minum. Itu pun saat ada acara, entah acara kantor, perayaan ulang tahun.
Tapi, malam ini, berbeda.
Sudah lima gelas wine dia habiskan, kulit wajahnya sudah memerah dengan kedua mata yang begitu sayu dan Lelah. Belum lagi, kebiasannya yang meracau, setiap kali alcohol Tengah mempengaruhi dirinya.
Tadi, beberapa jam yang lalu, Rista meneleponku, meminta waktuku. Suaranya, terdengar sedang tidak baik-baik saja, jadi tanpa pikir Panjang aku menghampirinya. Aku yang sudah jalan pulang menuju apartemen, langsung berbalik Kembali ke kantor, dan menemukan Rista terduduk di depan pintu masuk lobby dengan wajah kusutnya yang minta disetrika.
Dan di sinilah kami, dua jam kemudian, duduk saling berhadapan di Vanilla Café. Suasana yang tenang dengan lampu mewah yang remang-remang, tidak terlalu ramai, mungkin karena hari weekday.
Aku meneguk sebotol redler dingin, memperhatikan Rista dengan penuh kasian dan juga bingung.
Perempuan itu sulit ditebak, rumit, dan aneh.
Sudah 1 tahun berlalu atau bahkan lebih, aku tidak menghitungnya dengan baik, sejak Rista mutus dengan si Cucunguk satu itu, dia terlihat baik-baik.
Ya setelah banyak fase yang ia lewati tentunya. Fase terberat yang melelahkan, adalah di mana hampir tiap malam ia menangis, dengan besok paginya kedua matanya udah kayak kena bogem mentah dari Chris John.
Setelah fase kesedihan yang berat, Arista memutuskan untuk menghilangkah jejak-jejak mantan cintanya.
Aku dan Jo ikut serta juga membakar barang-barang pembelian si mantannya, termasuk foto-foto mereka berdua.
Dan akhirnya, Rista baik-baik saja, bahkan beberapa bulan ini aku tidak menemukan Rista menangis, sedih pun tidak terlihat hilalnya.
Sampai dengan detik ini, sejak 2 jam yang lalu dia meracau tentang kekesalannya pada si Mantan, begitu marah dan kecewa. Betapa dia merasa tidak layak untuk dicintai dan dimiliki oleh siapapun, betapa dia begitu sedih ditinggal oleh sang mantan yang ia putuskan.
Kenapa ya Perempuan selalu menyalahkan dirinya saat perpisahan terjadi?
Kenapa selalu merasa tidak layak untuk dicintai?
Sedangkan, dari kacamataku sebagai laki-laki, ini bukan tentang layak atau tidak. Tapi tentang, diri sendiri yang bermasalah.
Ya ada kalanya, aku sebagai laki-laki, berpikiran bahwa hubungan tidak bisa dilanjutkan. Atau pernah berpikiran, Perempuan ini terlalu baik untukku, dan aku tidak mampu mengimbangi nilainya, keinginannya, kebutuhannya. Jadi, berpisah adalah jalan paling terbaik, untukku.
Dan aku tidak siap, tidak siap untuk menjalankan hubungan yang serius dan intens. Aku tidak mau membuang waktunya, tidak mau rasa sayangnya dia habiskan untukku. Jadi, daripada untukku, lebih baik aku lepaskan.
Menyesal? Sering kali.
Tapi, aku memilih menelan mentah-mentah penyesalanku.
Kasus Rista, sewajarnya si Cucunguk itu move on duluan. Karena buat apa Kembali pada seorang Perempuan yang sudah melepaskan kita? Lagipula, Kembali diperjuangankan sudah tahu akan seperti apa.
Dan yang pasti, Rista pantas mendapatkan lebih baik dari si Cucunguk sampah itu. Dalam hati kecilku, bersyukur Rista ditinggal menikah. Ini sulit baginya, tapi setidaknya dia bisa lebih mampu untuk melepaskan dan mendapatkan yang lebih baik.
You know what?
Kadang masa lalu itu menjadi penghalang untuk mendapatkan hal-hal yang jauh lebih baik dan Bahagia. Karena, gimana kebahagian mau masuk kalau kita masih memeluk masa lalu yang menyakitkan.
“Bim.“ Lirihnya memanggilku, membuatku sadar dari kerumitan dirinya dalam pikiranku.
“Ya, Ta?” sahutku, mendekatkan tubuh ini kepadanya.
“Gue kalah.”
“Kalah? Maksudnya?”
Rista yang setengah sadar, menghela napas Panjang sekali. Ia menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa, wajahnya memelas, kekesalan tampak begitu jelas dalam rautnya.
“Dia menemukan kebahagiannya duluan dibandingkan gue.”
“Hah??!!”
Rista mengangkat punggungnya, Kembali mendekat padaku, menyimpan kedua tangannya di atas meja.
“Dia udah punya pasangan, gue belum. Dia sudah memulai kehidupan baru, gue gini gini aja.” Keluhnya, begitu kesal.
“Jadi, maksudnya elo kayak gini bukan karena masih cinta sama dia?!”
“Ah?! Gue cinta sama dia?!” Rista tersenyum singgung dengan wajah meremhkan. “Buang-buang waktu.”
Aku tidak menyangka Rista se-komptetif ini.
Rista Kembali mengambil botol wine untuk ia tuangkan ke dalam gelas.
“Ta, udah deh. Kita pulang, yuk?!” aku memegang lengannya, menahannya.
“Masih banyak nih, Bim.”
“Kita bungkus aja winenya.”
“Ah dibungkus?! Emang makanan? Lagian mana bisa.”
“Bisa udah. Gampang itu, gue urus. Pake plastik ntar bungkusnya, kayak es teh.”
“Oo okay atuh.”
*
Sepanjang perjalanan pulang, aku cuman bisa menggeleng-gelengkan kepala mengetahui alasan Rista se-galau ini.
Dia merasa kalah?!
What the…
Aku tertawa miris, dangkal juga ya. Atau gue aja yang berpikiran berlebihan?
Kutengok sesaat kepalaku pada Rista yang duduk tertidur di jok sampingku, rambutnya yang terikat begitu berantakan, wajah yang tertidur nyenak dengan iler di sudut bibirnya.
“Ini anak gue balikin ke kosan, engga mungkin. Kosan dia kan, cowo dilarang masuk. Kalau ibu kosannya tau Rista kayak begini bentukannya, bisa-bisa dia diusir dari kosan syar’inya.” Gumamku bingung menatap jalanan kota Bandung yang lengang. “Mau gak mau deh ini.” Aku langsung mencap gas, menambah kecepatan agar sampai dengan cepat ke apartement.
Sesampainya di apartemen, aku menidurkan tubuh Rista dengan pelan, melepaskan Sepatu hak tingginya dan menyelimuti Sebagian tubuhnya.
Tapi, di luar alasan dia yang konyol itu, aku memahami segala bentuk lukanya. Mengingat kehidupan dari sejak dia lahir sampai sekarang, tidak mudah. Bagaimana bisa seorang anak Perempuan tumbuh sebaik ini tanpa seorang ayah? Tentu, peran ibunya ikut andil.
Hidup berdua selama ini, menurutku bukan hal yang mudah. Bagaimana mereka berdua menghadapi dunia dan kehidupannya?
“Sabar ya, Ta. Gue yakin, elo akan menemukan kebahagian elo.” Bisikku pelan, lalu menarik selimut hingga dadanya.
Dan saat itu Rista membuka keduanya, perlahan terbangun dari tidurnya. Kedua matanya menemukanku, dan aku tersenyum kiku.
“Bim?” lirih sendu Arista memanggil namaku.