Bimo Prasetya
Seharian ini di kantor, aku bersama Tim, Zemi dan Satria menyiapkan data-data yang harus kami bawa ke Pangandaran minggu depan untuk melakukan audit.
Persiapan yang cukup melelahkan, karena bolak balik menghubungi Kantor Cabang Pangandaran. Belum lagi, kami harus menyelesaikan beberapa laporan atas kasus fraud yang kami tangani kemarin, memusingkan sekaligus melelahkan. Bahkan, tidak ada waktu untuk menikmati makan siang, roti lapis dan secangkir kopi.
Jadi, hari ini sangat melelahkan, rasanya ingin langsung rebahan di Kasur, meluruskan punggung.
Dan, saat masuk ke apartemen, sesaat otakku loading, menemukan Arista tersenyum hangat menyambut kedatanganku. Tubuh kurusnya tenggalam dalam hodieku yang kebesaran di tubuhnya, rambutnya terikat asal menyisakan helain-helaian.
Oiya, aku lupa, masih ada Arista.
Aneh rasanya, ada yang menyambutku seperti ini. Tapi, kok aku merasa senang ya?
Makanan rumah tersedia di meja makan kecil lipat kayu, aroma masakan rumah memenuhi apartemen, membuatku merasa berada dalam rumah, terasa hangat dan menggugah selera makan. Rista menyiapkan semua ini untukku, sebagai tanda terima kasih katanya, aku akan menerimanya dengan baik.
“Kebayang apa?”
“Oo gini ya, kalau seorang Arista menjadi seorang istri.” Ucapku tersenyum menatapnya, aku pikir, Rista akan menjadi sosok istri yang baik. Di balik karakter dia yang keras, dengan banyak trauma dalam dirinya yang membuatnya cukup rumit. Tapi bisa kuyakini, dia akan menjadi istri yang baik. Iya, itu hanya instingku sebagai seorang laki-laki.
“Kesambet apa elo ngomong gitu?!” senyumnya singgung, namun aku bisa menemukan raut malu dalam wajahnya yang ia coba sembunyikan.
“Kesambet setan lapar.” Jawabku asal, menuangkan kuah sop dari mangkok kecil ke dalam piring nasi.
“Kalau gitu, makan yang banyak."
"Siap."
Dan kami mulai menikmati hidangan sederhana ini dengan khidmat.
“Gimana? Enak gak?” kedua matanya menatapku penuh harap, dengan senyum yang tertahan.
Kenapa ya Perempuan selalu membutuhkan validasi?
“Enak. Tapi asin.” Jawabku jujur, sedikit menggodanya. “Elo minta di kawin ya?!”
“Sialan lo!” Rista menepuk pundaku dengan kesal
Aku tertawa kecil. “Biasanya kan gitu, Ta.”
“Terus kalau asin mau gimana? Engga perlu di makan aja kalau gitu.”
“Ngambek. Gitu aja ngambek. Kan elo nanya, ya gue jawab. Tetep gue makan kan ini, sampai habis.”
Rista tertawa malu. “Gitu dong.”
Sepertinya, dia sudah membaik. Ke-ruwetan dalam wajahnya sudah sirna, digantikan dengan senyum yang riang. Ya, semoga benar-benar membaik.
*
“Bim, elo pernah engga sih beneran sayang sama seseorang? Cinta mungkin?!” tanyanya, saat kami duduk di blakon belakang. Blakon kecil tanpa kursi, menghadap halaman belakang apartemen mungil ini, pemandangan yang terlihat adalah langi malam Bandung tanpa bintang, rumah-rumah penduduk sekitar apartemen yang udah kayak miniature, dengan jembatan pasupati dengan kerla kerlip lampunya nan jauh di sana.
Sesudah makan malam, kami terduduk selonjoran di sini dengan teh hangat dalam genggaman kami masing-masing.
“Cinta pertama gue maksudnya?” tanyaku memastikan meliriknya, terduduk bersandar pada dinding dengan menekukkan kedua kaki ini dengan mug dalam pegangan jariku. Masih dengan pakain kerjaanku yang masih malas untuk kuganti.
“Iya, cinta pertama atau semacamnya. Seingat gue sih, elo belum pernah cerita.” Jawab Arista lalu meneguk tehnya.
“Cinta pertama gue waktu SD sih,” jawabku santai lalu meneguk teh, menyembunyikan senyum jailku di balik mug.
“Seriusan SD?!” kejut Arista menengokkan kepalanya kearahku
Aku menganggukan kepala dengan serius, “Kajol, Namanya.”
“Hah? Kajol???” Lagi-lagi ia terkejut. “Kok, Namanya aneh?! Orang India atau Arab?” tebaknya.
Aku mengulum tawaku. “Kayaknya sih elo kenal, tahulha setidaknya.”
“Seriusan? Bukannya elo SDnya di Jakarta ya?!” Rista semakin bingung.
“Tapi, dia tuh cukup terkenal sih, di masanya.”
“Maksudnya gimana sih, Bim?” Rista semakin bingung menatapku
“Kajol, Ta. Masa elo engga tahu sih?!?”
Rista menggelengkan kepala.
“Kajol, yang jadi Anjeli di kuch-kuch hotta hai.”
“Hahhh?!!”
“Iya, dia cinta pertama gue. Perempuan pertama yang menurut gue, cantik sekali.”