Bimo Prasetya
“Elo udah di stasiun?” tanyaku memastikan pada Arista yang berada di sebrang sana, sesaat melirik pada Satria dan Zemi, yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Baru banget sampai,” jawabnya, terdengar suara riuh dari sana. “Ramai. Gue pikir akan sepi.”
“Kereta ke Jogya tuh selalu ramai, Ta.”
“Oiya. Baru tahu gue.”
“Terus, jadinya elo di antar sama siapa?” aku pamit pada Zemi dan Satria dengan Bahasa bibir untuk sejenak keluar dari ruang meeting ini.
Satria memberikan jempolnya padaku, dengan wajah yang semerawut, dan Zemi hanya menganggukan kepalanya kecil, dari balik wajahnya yang sudah lelah, bahkan rambut panjangnya terikat asal.
“Sama Jovanka dan Rima,” jawabnya, aku beranjak dari duduk, keluar melangkah dari ruang kaca ini. Terlihat, beberapa staff masih bekerja di balik meja kerja mereka. Padahal, sudah jam pulang, mereka tertahan karena ada kami.
“Rima? Seriusan?” kejutku, membenamkan salah satu tangan ke dalam saku celana bahan hitamku.
“Iya. Kenapa memang?”
Aku tertawa konyol. “Tuh anak, ampun deh. Ngewasap gue udah kayak makan aja, sehari tiga kali, lebih ada kali. Sampai malas gue.”
“Seriusan? Suka dia sama lo, Bim.”
Aku tersenyum singgung. “Malas gue mikir kayak begituan.”
“Ah elo mah belum nemu aja yang bikin elo jatuh hati. Kalau udah nemu juga, engga akan tuh, malas-malasan gini.”
“Skip, malas gue bahas beginian, Ta,” pintaku, mengembuskan napas.
“Iya ya.”
“Terus, udah tahu mau ke mana aja?” Aku menyendarkan punggung ke dinding Lorong kantor yang Full Ac ini. Rasa lelah, mengusai diri. Secintanya apapun pada sebuah pekerjaan, rasa lelah akan selalu hadir, dan saat kelelahan hadir, rasa sepi menyeregap.
“Belum, Bim. Selain beberapa tempat yang elo rekomendasikan. Kayak, Gunung Kidul. Gue belum tahu mau ke mana lagi.”
“Sayang sih kalau elo sampai melewatkan Gunung Kidul. Pok Tunggal, pantainya masih sepi. Bisa lha elo ke sana. Atau pantai di Bantul. Ada tuh yang mirip di drakor kesukaan elo.”
"Oiya? Drakor mana?"
"Itu lho, yang manusia jatuh cinta jin. Yang si ceweknya anak yatim."
"Hah? sama Jin?"
"Iya, yang di panggilnya ajusi ajusi gitu."
"Yaelah, Goblin itu. Bukan jin."
"Ya sama aja. Dari dunia ghoib."
"Hahahaha," Rista tetawa ngakak. "Nama pantainya apa?"
"Glagah, kalau engga salah. Elo search aja di mbah google."
"Okay."
“Minta antar Tommy aja. Kalau dia ada waktu, pasti mau.”
“Tommy, teman elo yang punya hostel itu kan?!”
“Yoi. Baik dia orangnya, bisa diandalkan.”
“Okay. Oiya, besok hari terakhir elo audit di pangandaran, kan?”
Aku menganggukan kepala. “Iya. Ini masih di kantor cabang, tinggal buat laporan. Kita lagi pada pusing di sini.”
“Jadi, belum sempat mantai?” tanyanya memastikan.
Aku menggelengkan kepala, padahal jelas Rista tidak akan bisa melihat gelengan kepalaku. “Belum.”
“Ke pantai dong, Bim!”
“Maunya sih gitu. Tapi…”
“Jangan keras sama diri elo sendiri. Atau setidaknya, buat Zemi dan Satria,” ucap Rista dengan suara lembutnya. “Istirahat sejenak, baru mulai lagi. Besok, udah harus balik ke Bandung, kan?! Bandung mana ada pantai.”
Aku berpikir sejenak atas idenya, menengok kebelakang, pada Zemi dan Satria yang berada di dalam ruangan. Meja rapat berbentuk elips ini, penuh dengan berkas-berkas nasabah yang saling menumpuk, data-data kepegawaian, dan laporan-laporan neraca kas Cabang Pangandaran.
Belum lagi, kertas-kertas laporan yang berceceran yang hampir memenuhi meja. Satria tampak pusing, dengang berkas yang ada di hadapannya. Dan Zemi, berkali-kali dia menggerakan leher jenjangnya yang pegal.
Hampir dua minggu ini, kami benar-benar menguras energi dan pikiran kami. Pulang begitu larut, sesampainya di penginapan langsung tidur, tidak sempat untuk menikmati kota ini. Dan besoknya, mulai kembali.
“Memang masih banyak laporannya?” tanya Rista.
“Dikit lagi, Ta. Cabang di sini, engga ada yang aneh. Ini kita cuman memastikan lagi, takut ada yang kelewat.”
“Bagus, dong. Pantai sambil makan seafood. Seru tuh, Bim?!”
“Iya juga sih,” aku menggarukan kepala.
“Jangan kebanyakan mikir, Bim. Kebiasaan elo, tuh, apa-apa mikirnya lama banget, penuh dengan pertimbangan. Keburu waktunya habis, nyesel deh.”
Aku tertawa kecil, Rista memang selalu tahu. “Iya ya.”
“Gitu, dong.”
Aku tersenyum kecil.
“Eh, gue mau masuk nih. Keretanya udah datang.” Pamitnya.
“Okay, Ta. Berkabar ya sesampainya di sana?”
“Ok, Bim. Bye.”
“Bye.”
Telepon tertutup, aku memasukan kembali ponsel ke dalam saku celana bahan ini. Melangkah kembali masuk ke dalam ruangan sambil menimang-nimang idenya Arista.
“Tria, Zem?!” aku memanggil mereka, berdiri menghadap mereka.
Satria dan Zemi langsung menengok padaku, dengan kelelahan dalam raut wajah mereka.
“Tugas kalian udah sampai mana?”
Satria dan Zemi saling menatap.
“Saya lagi ngecek ulang sih, Mas. Siapa tahu ada yang kelewat,” jawab Satria.
Aku mengangguk, lalu menengok pada Zemi.
“Laporan survey ke beberapa nasabah yang menunggak dua minggu ini sudah selesai. Saya lagi ngecek, Mas. Siapa tahu ada yang kurang.”
Aku mengangguk. “Rekening pegawai-pegawai di sini, tidak ada yang mencurigakan, begitu juga dengan transaksi mereka, tidak ada yang aneh. Kelengkapan data nasabah, pinjaman maupun simpanan yang kemarin kurang, sudah dilengkapi tadi sama customer servicenya. Mereka di sini, bekerja cukup cekatan dan cepat,” aku menjelaskan tugasku dengan membenamkan salah tanganku ke saku celana.
“Kalau gitu, kita rapikan semuanya. Pekerjaan hari ini, selesai. Kita teruskan besok pagi. Pulang ke Bandung, telat. Engga apa-apa sih seharusnya,” perintahku pada mereka.
“Seriusan, Mas?” tanya Satria memastikan.
Aku menganggukan kepala. “Sebagai gantinya, kita makan malam seafood dekat pantai.”
“Mas Bimo, lagi engga bercanda, kan?!” Zemi menatapku tidak percaya.
Aku menggelengkan kepala.
Satria dan Zemi saling menatap, perlahan mereka tersenyum senang.
“Horee!!!” seperti anak TK, mereka berseru riang.
Ya, kami butuh istirahat sejenak, sebelum memulai Kembali.
*
Langit malam dengan sedikit bintang, suara ombak mengalun tenang dari kejauhan sana, terdengar seperti lulabi yang menenangkan. Menikmati setiap sendi kelelahan yang terasa di sekujur tubuh, punggung yang pegal, leher yang terasa kaku, dan isi kepala yang ruwet.
Kendaraan-kendaraan terpakir berjajar dengan rapi, orang-orang berjalan lalu Lalang dengan santai, dibarengin dengan obrolan-obrolan samar.
Aku, bisa melihat semua dengan jelas dari jendela rumah makan ini, jendela tanpa kaca yang dibiarkan terbuka begitu saja. Hingga membuat, aroma air laut tercium segar, sekalipun hawa terembus bersama angin malam terasa panas.
Perut sudah kenyang, dan yang tersisa hanya rasa malas, untuk bergerak dari warung makan sederhana ini.
Setelah kami melahap kepiting saos padang, cah kangkung, gurame bakar, dan menghabiskan dua bakul nasi. Aku, Zemi, dan Satria berdiam hening, sibuk dengan pikiran masing-masing, menatap hampa pada pantai yang letaknya tidak jauh dari kami.