Arista Hermanto
“Mas Tommy!” panggil Idan sebelum aku menjawab siapa dia dalam benakku.
Ah, benar, dia yang Bernama Mas Tommy.
Idan bergegas menghampiri kami.
“Koe ini, meningalkan tamu begitu saja. Mbaknya jadi kebingungan sendiri,” nada suaranya berbeda, kali ini terdengar tegas, dengan lirikan sudut mata yang tegas.
“Hehehe Maaf, Mas. Tadi mengobrol sebentar sama Mas George.”
“Yowiss. Terima kasih sudah menggantikan saya menjemputnya,” nada suaranya merendah, aku mengulum senyumku, melihat sikapnya yang cepat berubah.
“Sama-sama, Mas. Kalau gitu, tugas saya sudah selesai ya?! Saya mau ke kampus dulu. Mepet waktunya.”
“Okay.”
Idan Kembali melihatku. “Mbak Arista, saya tinggal dulu, ngih! Mau ke kampus.”
“Oiya, Dan. Terima kasih, ya?!”
“Sama-sama, Mbak.”
Dan Idan pun meninggalkan kami, membuatku merasa bingung sendiri dengan laki-laki bernama Mas Tommy ini. Sekalipun cara berpakainya santai, namun sosoknya menampilkan kesan yang serius, rahang wajah tegas dengan brewoknya, sorot mata yang bias, dan sepertinya seseorang yang sulit untuk tersenyum.
“Ini kopermu?” tanyanya kaku, menunjuk koperku dengan sudut matanya.
“Iya,” aku menganggukan kepala canggung.
“Besar juga, ya?! Padahal cuman beberapa hari,” sarkasnya, dengan senyum yang singgung.
“Maklum aja, Perempuan. Bawaannya, banyak,” ketusku.
Mas Tommy tertawa kecil melihatku.
Aku bingung melihatnya, apa yang lucu?
“Masuk. Saya bantu bawakan,” dia membawa koper ini begitu saja, terlihat ringan saat ia membawakanya.
Mas Tommy disusul denganku melangkah memasuki rumah, ia menggeser pintu untuk membukanya secara penuh dengan tangan satunya, dan terlihat sebuah ruangan yang cukup luas dengan aroma kopi memenuhi seluruh ruangan ini. Aroma kopi yang menenangkan, aroma yang kusukai.
Ruangan yang bercat putih keabuan, dengan desain dan interior dari masa lampau. Lantai ubin berwarna merah gelap, sofa jadul dengan tiga dudukan dengan busa berwarna hijau daun, dan ada dua coffee table bulat kecil dengan kursi saling berhadapan.
Tidak ada AC di dalam sini, hanya ada kipas angin berukuran besar yang dinyalakan, dengan kepalanya bergerak lurus, kanan, kiri, secara bergantian. Cukup gerah. Dua jendela kayu dengan hordeng putih dibiarkan begitu saja, hingga membuat cahaya matahari masuk dari luar sana.
Meja bar kayu bergaya vintage berada di ujung ruangan ini, dengan mug-mug kopi yang menggantung di dinding kayu belakang meja bar kayu.
Ada mesin ekspreso berukuran sedang di bagian sisi meja bar ini. Open bar, Membuat siapa pun dapat melihat sang barista tengah meracik kopi.
Dan di ujung meja bar, terdapat meja kayu kecil yang di atas mejanya terdapat tulisan dengan crayon “Tempat Pembayaran ( Cashier)”, tab terpasang di sampingnya.
Kedua mata ini tidak hentinya mengitari ruangan yang terasa hangat dan nyaman ini. Kedua mataku terhenti pada sebuah lukisan besar, mencuri perhatianku, membuatku melangkah mendekatinya.
Lukisan yang bergambar bola dunia yang begitu besar, dengan langit malam penuh bintang. Ada anak-anak kecil yang berkumpul di atas bola dunia, ada yang tengah bermain layang-layangan, yang terbang tinggi dengan talinya tengah di tarik oleh seorang anak laki-laki. Lalu, di sisi lainya, ada sekumpulan anak perempuan yang tengah bermainan congkak.
Semua tergambar dengan detail, dengan berpaduan warna biru gelap, biru langit, dan hijau rumput. Ada perasaan hangat pada lukisan ini, sekaligus terasa sunyi.
Perhatianku teralihkan pada dinding lainnya, ada foto-foto yang tersimpan menggantung dengan seuntai tali panjang, yang ujungnya diikat kuat pada sebuah paku.
Foto-foto dengan wajah-wajah tersenyum senang dan tawa. Mereka terlihat akrab satu sama lain, merangkul, saling memeluk, dengan wajah penuh kebahagian.
Hingga, aku mampu merasakan keakraban dan kebahagian dalam foto-foto ini, membuatku tersenyum melihat wajah-wajah senyum dan tawa mereka.
Wajahku mendekat pada sebuah foto, karena menemukan wajah yang begitu kukenal. Hanya saja, aku ragu. Jadi, aku melihat lebih dekat.
Bimo, ada Bimo di salah satu foto. Entah bersama siapa. Wajah-wajah asing, wajah-wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Hanya saja, mereka terlihat Bahagia, akrab satu sama lain, saling merangkul satu sama lain.
“Ini foto-foto tamu kami. Sebelum mereka pulang. kita selalu minta foto dulu sebagai pengingat bahwa mereka pernah tinggal di sini,” jelas Mas Tommy berdiri di sampingku, sekalipun berbicara menggunakan Bahasa Indonesia dengan ejaan tepat, logat jawa terdengar kental darinya.
Aku menoleh padanya. Ia berdiri tegap di sampingku, menatap foto-foto ini dengan seuntai senyum kecil yang tertutup brewok tipisnya.
“Wow, ini sih keren!” kagumku tersenyum melihat foto-foto dengan berbagai ekspresi yang menyenangkan dan lucu.
“Nanti, kamu boleh, pasang fotomu di sini,” liriknya padaku.
“Okay,” aku menganggukan kepala kecil.
“Tamu baru, Mas?” tanya seseorang, membuatku mencari sumber suara.
Seorang laki-laki berkulit coklat dengan apron berwarna biru gelap menutupi kemeja putih tanpa kerah, muncul dari balik pintu yang berada di samping meja bar. Wajah yang kurus lonjongnya dengan rambut Panjang terikat asal
“Iya. Arista dari Bandung,” jawab Mas Tommy menghampiri meja barr, dia menyebutkan namaku dengan sangat jelas dan tegas, membuatku merasa dipanggil. Aku ikut menghampiri meja bar.
“Hallo, Mbak! Aku Tresno, panggil Tres. Barista, kasir, dan merangkap resepsionist juga di sini!” sapanya riang memperkenalkan diri dengan jawa medoknya. Dia tersenyum lebar memberikan telapak tangannya padaku, memperlihatkan lengan kemeja flanelnya yang terlipat rapi hingga siku.
“Arista,” aku bersalaman dengannya, tersenyum ramah padanya.
“Dia bareng sama Idan kerja di sini. Mereka lagi gantian shift,” jelas Mas Tommy.
“Oo okay.”
“O tadi sudah ketemu sama Mas Idan, ya?!”
“Lha, Idan ini yang menjemput dia. Makanya, saya minta koe untuk menggantikan Idan,” Mas Tommy langsung menyaut dengan nada yang sama saat berbicara dengan Idan.
“Oalah, Mas. Tak kira, Mas Idan ada jadwal kuliah.”
“Ndak.”
“Iya, saya tadi ketemu sama Idan. Dia yang jemput saya,” aku akhirnya punya kesempatan menjawab, tersenyum pada Tres.
“O okay, Mba,” senyum Tres kecil.
Aku sesaat melirik pada Mas Tommy. Kaku sekali manusia satu ini.
“Tres, tolong, saya minta kunci kamarnya Arista?!” pinta Mas Tommy sopan.
“Kamar berapa toh, Mas?”
“Kata Idan, tiga.”
“Bentar tak cari dulu,” Tres langsung mencari kunci di salah satu laci, aku menunggu dengan sambil kedua mata kembali mengitari ruangan ini. Lalu, kedua mataku terhenti sesaat melihat Mas Tommy berdiri di hadapanku dengan menghadapku. Dia Tengah memegang ponselnya, kedua matanya begitu serius menatap layar ponsel.
Tubuh Mas Tommy cukup tinggi, mungkin sekitar 180an dengan kedua bahu lebar, tidak kurus. Pas dengan tinggi badannya. Rambutnya cukup tebal dengan potongan belah tangan yang tidak tertata, rambutnya dibiarkan acak.
Berkali-kali liat, cakep juga sih. Tapi sayang, kaku.
“Mas, ini kuncinya,” Tres memberikan kunci pada Mas Tommy.
Mas Tommy langsung menerima. “Thank you?!”