Waktu belum tengah malam. Cuaca sangat cerah. Di rumah Satrio yang besar ibarat sebuah istana dan sedang ramai oleh tamu-tamu undangan.
Halaman depan hingga samping mobil-mobil mewah berbagai merk terparkir rapih. Para juru parkir mengarahkan sopir dengan baik.
Di dalam rumah sendiri berbagai macam makanan dan minuman disajikan di atas meja-meja dan piring, gelas selalu diisi bila berkurang atau habis oleh para penyaji yang hilir mudik melihat ketersedia sajian.
Para tamu pria banyak yang mengenakan setelan batik, sedangkan yang perempuan berbalut gaun nan indah. Menyenangkan mata setiap tamu laki-laki meskipun bukan pasangan yang datang bersamanya.
Hiruk pikuk suara para undangan hanya sayup-sayup terdengar di ruang kerja Satrio yang luas dan mewah.
Meskipun demikian, pada saat itu Satrio berada di ruang kerjanya bersama empat orang dan seorang wanita muda. Wanita itu Direktur Finance Perusahaan pengapalan petikemas milik Satrio.
Satrio seorang pria bertubuh jangkung dan tegap. Kulitnya sedikit gelap tetapi bersih. Usianya 48 tahun. Usia emas untuk seorang pengusaha.
Wajahnya terlihat keras tetapi senyum selalu terlihat tulus.
Pada saat itu ada empat orang pria dan semua duduk di sofa.
Hanya satu orang yang melihat keduanya. Yang tiga lain lagi seru-serunya main game di handphone. Masing-masing berkalung penyuara telinga.
"Intan, apa gaji dariku tidak cukup untuk beli baju yang bagus?" Tanya Satrio. "Padahal kamu single parent, anak baru satu."
Intan adalah seorang wanita bertubuh tinggi dan berkulit kuning. Tetapi memang benar penilaian Satrio. Pakaian dan dandanannya sebagai seorang direktur finance perusahaan milik Satrio, terlalu sederhana. Apalagi disaat seperti sekarang Satrio mengadakan pesta dan para undangannya adalah relasi bisnis.
Pembawaan Intan yang tidak banyak tingkah dan air mukanya masam menutupi kecantikannya.
Malam itu Intan mengenakan blazer dan rok hitam. Juga sepatu kulit hitam pula. Hanya kemeja di balik blazernya yang putih.
Tidak ada perhiasan apapun di kedua telinga, di leher, atau di kedua tangannya. Juga tidak ada pada kedua mata kakinya.
"Ah Pak Satrio bisa saja," ujar Intan sambil meneguk wine pada gelas di tangannya. "Kan bos tahu sendiri kalo saya menerapkan pola hidup sederhana …"
Tampak Satrio tidak puas dengan jawaban anak buahnya ini. Lalu dia mengambil tempat duduk di pinggiran meja dekat tempat duduk Intan.
Satrio meraih gelas di tangan Intan lalu menaruh di atas meja.
Melihat hal itu Intan mengerti rupanya Satrio sedang serius. Lalu Intan beringsut memperbaiki posisi duduknya.
"Aku mengajakmu ke mari sebenarnya bukan mau menilai baju-baju yang selalu kamu pakai!" Ujar Satrio sambil memegang tangannya sendiri satu sama lain.
"Selama aku pergi 2 minggu ke Dubai untuk urusan bisnis, di rekening kantor ada pemindah bukuan kredit sebesar 19 miliaran!" Kata Satrio sambil menatap tajam kedua mata Intan. "Sekretarisku dapet info dari orang akunting bahwa kamu yang memprosesnya sendiri di bank."
Tetapi Intan sendiri biasa-biasa saja dan tidak terkejut sama sekali mendengar hal yang disampaikan Satrio?
Satrio tahu rupanya tuduhannya tidak cukup bukti. Lalu dia meraih beberapa lembar kertas dari rak.
"Lihat rekening koran ini," ujar Satrio dengan nada suara tinggi. Dia membeberkan lembaran-lembaran rekening koran ke hadapan Intan.
Kali ini tampak Intan merespon lembaran-lembaran itu dengan air muka cemas.
Tok, tok, tok ...
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar.
Tedjo bangkit dari tempat duduk lalu pergi membuka pintu. Sementara Satrio menunda pertanyaan.
Tiga orang perempuan berdiri di depan pintu. Masing-masing membawa parsel.
"Selamat malam, Pak. Kami mengantarkan parcel dari Pak Sobirin untuk Pak Satrio." Ujar wanita yang berdiri paling depan.
Mendengar hal itu Satrio meminta tamunya untuk meletakan parsel-parsel itu bersama di tempat parsel yang lain.
Sementara Tedjo kembali duduk di samping teman-temannya.
"Letakan di sana," tunjuk Satrio. "Saya sedang sibuk nanti sebentar lagi saya turun dan menemui Pak Birin."
Tampak Satrio merasa terganggu oleh kehadiran mereka.
"Baik Pak Satrio, akan saya sampaikan." Sahut wanita itu. "Pak Sobirin dan Istrinya sudah ada di bawah.
Lalu wanita itu bersama dua orang pengiringnya pergi setelah semua parsel diletakan.
Sementara itu Satrio melanjutkan interogasi yang tertunda.
"Dalam tenggang waktu tanggal 9 hingga tanggal 19 ada beberapa giro dan cek yang jatuh temponya sama pada giro dan cek diproses bank. Padahal pada tanggal 7 hingga tanggal 21 aku masih di Dubai. Lalu siapa yang menandatangan giro-giro dan cek-cek itu sehingga keluar dana sampe 19 miliar?"
Brak!
Tiba-tiba Satrio memukul meja.
Yang terkejut bukan hanya Intan, tetapi tiga orang yang sedang main game hingga menghentikan permainannya. Pelan-pelan mereka mencabut penyuara telinga masing-masing.
Sekarang mereka ikut memusatkan perhatian ke bosnya.