Diburu Mayat Hidup

Handi Yawan
Chapter #2

Berjuta rasanya bersama Ivon

Satrio selesai membersihkan diri dan berganti baju yang bersih.

Seolah-olah tidak terjadi sesuatu, dia pergi ke luar dan turun ke lantai di bawah.

Melihat Satrio turun meniti ambalan, beberapa tamu sekaligus relasi bisnisnya datang menyambut.

"Aduh Pak Satrio kok menghilang?" Sapa seorang Bapak yang telah lanjut usia namun masih segar.

Satrio sangat mengenal orang tua ini yang sering bertemu dan bahkan dia sering diundang ke kantor orang bernama Bunyamin ini.

Pak Bunyamin adalah ketua Kadin Indonesia 

"Maaf, Pak Bun," Jawab Satrio hornat pada orang tua itu. "Tadi saya harus terima telepon dari Syeik Ahmed Bajber …"

Jelas Satrio berbohong, tapi siapa yang tahu?

"Oh ya, ya saya maklum." Sahut Bunyamin. 

"Saya senang sekali ketika mendengar Pak Satrio menandatangani perjanjian dg Syeik Mohamed Bajber, pemilik pelabuhan terbesar di Dubai.

Sewaktu Pak Satrio beli kapal tanker saja sudah lompatan besar. Tidak disangka Syeik mau bekerjasama dengan Pak Satrio. Selamat ya."

Satrio menyambut uluran tangan Pak Bun.

Satrio tampak senang sekali mendapat pujian dari Bunyamin.

Lalu satu persatu orang yang berdiri bersama Pak Bun bergiliran menyalami Satrio.

"Ini berkat dukungan Pak Bun dan teman-teman di Kadin …"

Semua tampak senang dan menyambut Satrio yang tampak menghormati semua tamunya.

"Silakan Bapak dan Ibu," Ujar Satrio. "Nikmati alakadar hidangan dari kami."

Mereka terus saling melempar senyum karena tidak dipersilahkan pun sejak tadi sudah mencoba berbagai sajian di atas meja-meja.

"Oh iya karena sekarang mulai dari hulu hingga hilir, bisnis pengapalan ini berada di tangan Pak Satrio, mohon Pak Satrio bisa memberikan diskon tarif." Usul Pak Bun yang tampaknya mewakili para pengusaha itu. Karena mereka saling pandang.

"Oh ide bagus Pak Bun," sahut Satrio. "Besok saya perintahkan langsung bagian akunting dan legal untuk menghitung ulang tarifnya."

Mendengar hal itu terdengar seruan-seruan gembira para pengusaha.

Sebagai seorang pengusaha, Satrio tahu betul orang-orang ini adalah asset baginya.

Mereka para eksportir yang menunjang bisnisnya.

Satrio larut berbincang akrab dengan pasangan tamu yang senang sekali melihat kehadirannya.

Namun tamu lain memaksanya harus berpaling menyambut sapaan tamu lainnya.

Malam ini Satrio harus banyak berkorban waktu untuk sekedar berbasa-basi kepada setiap tamu yang menyapanya.

Sejenak wajah Satrio memandang ke arah pasangan yang sepertinya menunggu mendapat perhatian darinya.

Tentu saja Satrio mengenal Sobirin, pria tambun yang datang dengan istrinya.

Demikian pula orang itu merasa mendapat giliran, dia datang sambil melempar senyum kepada Satrio. 

"Bro, kemana saja?" Sapa pria yang mengenakan stelan batik motif sasirangan dominan warna merah.

Di samping pria murah senyum itu berdiri pasangannya.

Wanita cantik bergaun panjang dengan belahan dada terlihat jelas. Tubuhnya sempurna, kulit coklat bersih, tinggi dan montok.

Apalagi gaun bagian belakangnya memperlihatkan punggung hingga pinggul.

Wanita itu mengangguk dan menunjukan segelas wine. Berdebar hati Satrio yang terpesona oleh wanita yang telah dia kenal sebagai istri relasi bisnisnya.

Ada tersirat air muka kikuk pada wajah Satrio bertemu pria pesolek ini.

"Hi Pak, Birin." Sahut Satrio buru-buru memalingkan wajahnya kepada pria yang menyapa.

"Hebat bro, kamu berhasil mendapatkan proyek pengapalan peti kemas senilai 1.250.000 USD per hari." Puji Pak Birin. Jelas sekali dia mengambil muka Satrio. "Saya siap jadi supplier-mu."

"Oh ya, masih ingat kepada Ivon, istriku?" Ujar Sobirin mengingatkan.

"Oh iya tentu saja." Jawab Satrio menyembunyikan rasa tersipu karena beberapa kali matanya terpaksa mencuri pandang istri Sobirin yang sensual dan mengundang.

Satrio tersenyum dan mengangguk-angguk.

Tetapi sekali lagi perhatiannya terbetot kepada Ivon wanita muda yang menggoda.

Ketika meneguk wine, kedua bola mata Ivon mengerling Satrio. 

Wine tegukan mengalir turun ke tenggorokan seolah-olah terlihat oleh kedua bola mata Satrio yang ikut menelan ludah.

Jantung Satrio berdebar semakin kencang.

Tetapi Sobirin terus berceloteh dan mengabaikan adu pandang istrinya dengan tuan rumah.

"Saya akan bantu sediakan barang apapun dan berapapun permintaanmu."

Sobirin berhenti mengoceh karena tahu Satrio lebih tertarik pada istrinya.

Lihat selengkapnya