"Lihat, Monika mati akibat ledakan gas!" Tunjuk Satrio menyodorkan hp nya kepada ustadz Danil.
Danil menerima hp itu lalu melihat foto-foto yang ditunjuk Satrio.
"Aku dapat kiriman foto-foto itu dari Bripka Sutanto." Papar Satrio.
Malam itu Satrio, Marbun dan ustadz Danil masih berada di kantor.
Mereka duduk di sofa dan di atas meja ada sisa-sisa cemilan.
Beberapa cangkir kopi sudah tinggal ampasnya.
Ruang kerja Satrio berantakan tetapi di luar jam kerja Satrio bisa menerima suasana santai seperti ini.
Bahkan ada seorang office boy sedang mengepel lantai.
"Ali, kudengar kamu sodaranya Monika?" Tanya Satrio kepada office boy itu. Ali tidak canggung sama sekali bahkan sering diajak ngobrol oleh Satrio.
"Saudara dari suaminya," jawab Ali tanpa menunda pekerjaannya. "Saya sepupuan dengan suami Monika. Babeh saya Encingnya Atur."
"Saudara dari Monika sudah ada yang datang? Monika orang Padang, kan?' Tanya Satrio lagi.
"Iya. Tapi banyak saudaranya yang udah jadi orang Bandengan. Bahkan orang tua Monika tinggal di Bandengan. Baru subuh Ibunya Monika dihubungi oleh Babeh dan pagi itu juga mereka langsung pada dateng."
"Ali, udah kamu pulang saja," suruh Satrio. "Biar ini kamu beresin pagi-pagi saja."
Mendengar perintah itu Ali mengangguk lalu mempercepat pekerjaannya sebelum pergi membawa peralatannya.
Kemudian Satrio bertanya ke Marbun. "Santunan dari kantor sudah diberikan?"
"Sudah. Orang dari kantor sejak tiga hari yang lalu melayat bergantian. Saya baru tadi sore, karena mengurus klaim asuransi dan sekalian menyerahkan santunan dari kantor kepada keluarganya, Pak." Lapor Marbun.
"Ya bagus. Kasihan musibah seperti itu keluarganya butuh biaya." Ujar Satrio. "Apalagi kudengar rumahnya hancur. Yang seperti itu bisa diklaim asuransi ke pertamina?"
"Bisa," jawab Marbun. "Tapi harus dilakukan penyelidikan untuk ditentukan apakah akibat kesalahan dari peralatan pada tabung atau akibat human error."
"Ribet juga ya." Komentar Satrio.
Lalu Satrio mengalihkan pembicaraan ke ustad Danil
"Gimana," tanya Satrio. "Masih belum menduga ada hal lain dibalik ledakan tabung gas?"
"Pak Satrio, perhatikan foto ini lebih teliti," pinta Danil. "Korban akibat ledakan kompor gas akan mengalami luka bakar luar. Tetapi yang terjadi pada kasus ini, kulit dan jaringan bagian dalam gosong hingga ke tulang-tulang."
"Maksud ustadz?"
"Ini bukan akibat terbakar oleh api tabung gas. Temperatur api kompor gas tidak mengakibatkan api membakar seperti yang terjadi pada jasad Ibu Monika."
Satrio tampak benar-benar memperhatikan ucapan ustadz Danil.
"Ada jenis-jenis temperatur api. Pada kompor gas paling tinggi adalah api berwarna biru di atas 1.000 derajat celcius. Tetapi masih di bawah api berwarna putih yang bersuhu di atas 2.000 derajat celcius.
Kebakaran yang terjadi pada jasad ibu Monika hanya terjadi oleh api di atas 2.000 derajat.
Jadi ada dua jenis api pada kasus ini. Dan sudah pasti yang suhu di atas 2.000 derajat bukan berasal dari gas tabung LPG."
Satrio menatap serius kepada ustadz Danil karena tidak menyangka orang yang berdiri di depannya semakin mengenal semakin menarik. Menarik secara wawasan sebagai seorang ustadz.
"Lalu api putih itu dari mana asalnya? Yang saya tahu api putih hanya dihasilkan dalam fusi nuklir yang terjadi pada inti matahari?" Tanya Satrio.
Sementara ditanya dengan pertanyaan itu udtadz Danil merogoh saku baju koko lalu mengeluarkan selembar kertas.
"Ini adalah hasil uji lab forensik Polsek. Hasil analisis jelaga di kamar rumah Ibu Tina."
Satrio menerima surat itu lalu melihatnya.
"Saya tidak mengerti apa maksudnya surat ini?"
"Hasil lab ini menyatakan jelaga itu terbukti memiliki kandungan garam epsom. Garam epsom sendiri hasil proses dari pembakaran api putih pada industri logam."