Three Person View’s Side
Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Jurusan Psikologi, Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur. Musim penghujan, 16 Maret 2015. 11.45.
Clara menatap nanar dari arah jendela perpustakaan jurusan psikologi kampusnya ke arah sebuah titik abstrak yang sedang dicari. Namun, sudah dua jam lamanya Clara berdiri dengan posisi yang sama—hanya berganti menyilangkan kaki kanan, kirinya ke depan dan ke belakang—inspirasi itu belum membentuk sebuah garis pun. Hanya kosong dan putih—jika tidak bisa disebut hampa—yang ditemui di hamparan siluet langit berwarna lembayung di depan jendela kaca berdesain sederhana dengan lebar dua kali satu meter.
Sejauh mata memandang, tampak gedung Fakultas Teknik Elektro dua lantai dengan desain yang tampak tua dan kuno bercorak abu-abu putih. Sangat kontras dengan desain Fakultas Ilmu Sosial Politik kampusnya yang bercorak jingga krem cerah dan terkesan jauh lebih modern.
Berbeda dengan desain-desain bangunan di sekitarnya, Fakultas Ilmu Sosial Politik tujuh lantai tampak menjulang megah dengan bentuk prisma segi empat berjenjang. Beberapa ornamen tambahan dari batu bata dan pagar besi menambah kemegahan bangunan. Sedangkan atapnya, didesain serupa atap rumah adat Indonesia yang sangat artistik.
Di belakang Clara, terbentuk kelompok diskusi kecil yang telah terjalin semenjak tahun pertamanya berada di kampus.
Tepat di balik punggungnya, ada Lynn. Gadis blasteran Cina-Indonesia yang telah dikenal semenjak hari pertama Clara menjalani kuliah bersama di kampus psikologi. Entah karena apa. Mungkin karena mata sipitnya yang tak pernah bisa dibuka dengan baiklah yang menghantarkan Lynn untuk mengulurkan tangan kepada Clara.
Sesungguhnya Clara dan Lynn adalah sesuatu yang sangat kontras. Clara bermata hitam pekat, berkulit putih bersih, berambut lurus dengan gelombang kecil di akhir cabangnya dengan tinggi dan berat badan seideal putri Indonesia yang dianggap menarik. Sementara Lynn, cukup manis dengan sosok mungil yang sempurna, mata cokelat gelap, kulit sewarna batu kapur nyaris tak bernoda, dan rambut lurus sebahu bak pemenang kontes rambut sehat dan berkilau di layar kaca. Namun, entah mengapa wajah manisnya tak terlalu menarik minat banyak lelaki.
Mungkin karena Lynn memberikan pagar batas abstrak berlapis tiga belas antara dirinya dengan makhluk menakutkan itu. Yah, itulah gambaran Lynn tentang lelaki hingga hari itu! Sejak dia menutup lembaran hatinya dengan kunci dan gembok berlapis tujuh setelah tiga tahun yang lalu kekasih pertamanya menikah dengan kakak kandung sendiri. Satu-satunya lelaki termanis yang ada di benak Lynn semenjak tiga tahun yang lalu, tepat berada di seberang mejanya kini.
Clara tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa pandangan lelaki berkemeja merah muda bermotifkan bunga sepatu besar-besar itu tengah tertuju tajam ke arahnya. Clara bergidik, merasakan pancaran hawa panas sorot mata lelaki itu di punggungnya. Hawa panas yang entah mengapa selalu menimbulkan aura dingin di sekujur tubuh.
“Bagaimana kalau tentang psikopat, Steve?” tanya Lynn.
Steve tak menjawab. Sebagai ganti, dia justru berdiri, merapat ke arah Clara. “Bagaimana menurutmu, Clara?” ujarnya seraya meremas bahu gadis itu dengan kedua tangan.
Clara yang tengah mencari-cari titik-titik abstrak untuk membentuk sebuah garis di pikiran sepenuhnya terlonjak.
Semua orang yang berada di meja di belakang punggungnya pun tampak sepenuhnya terkejut, kecuali Lynn. Bukan karena genggaman Steve di bahu Clara, melainkan karena Lynn menggebrak meja dan membanting sebuah buku psikologi setebal ensiklopedia ke meja di hadapan.
“Steve!” teriak Lynn. “Aku minta pendapatmu. Bukan pendapat Clara!”
Clara hendak membuka mulut untuk menjernihkan suasana ketika Lynn bangkit dari kursi.
“Sejak pertama aku muak melihat matamu. Kini aku benar-benar muak! Aku merasa ragu apakah kau punya darah Cina sejati yang mengalir di nadimu!” histeris Lynn seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah Clara.
Clara tak menjawab. Hanya menatap sinis mata cokelat Lynn untuk menuduhkan kembali apa yang Lynn tudingkan padanya sedetik lalu.
Lynn tampak mengerti arti tatapan Clara. Dibalas tajam makna pandangan Clara selama sepuluh detik sebelum tergesa mengambil tas ranselnya dan berbalik, berlari menjauhi mereka.
Clara sama sekali tak merasa perlu mengejarnya untuk insiden hari itu.
“Kenapa Lynn?” tanya Steve dan Vino nyaris bersamaan.
“Dia jatuh cinta padamu, Steve!” sinis Clara seraya tersenyum setengah mencibir.
Steve menggenggam tangan Clara. “Kau tahu bahwa aku jatuh cinta pada....”
“Diamlah!” Kali itu Clara dan Vino yang berseru nyaris bersamaan.