Clara’s Side
Teras kolam renang rumah Victoria di Jalan Ijen, Malang, Jawa Timur. Musim penghujan, 16 Maret 2015. 15.00.
Aku tengah berdisko R&B di teras kolam renang rumah Victoria ketika Peugeot merah muda metalik memasuki halaman depan yang terpisahkan sekat dari kawat dan tanaman rambat morning glory yang berwarna ungu dan putih. Hingga hari ini aku merasa heran, melihat bentuk Peugeot Steve. Setidaknya, hingga hari ini aku belum pernah melihat ada Peugeot berwarna senada yang melintas di hadapan, selain Peugeot milik Steve.
“Kenapa berhenti, Cla?” teriak Victoria di sela-sela gerakannya.
Rambut Victoria yang dipotong chic menjadikannya sama sekali tak terhambat dengan gerakan-gerakannya. Kulit Victoria paling gelap di antara kami berenam. Dulu kupikir, dia mempunyai keturunan seperenam belas negro sebelum dia menguraikan silsilah keluarganya dari zaman perang Diponegoro. Penampilannya pun lebih sederhana di antara kami berenam. Kesan feminin yang tidak terlalu tajam di dirinya membuatnya tak terlalu suka mengenakan kosmetik. Bibir tebalnya lebih seksi dalam warna natural daripada dioleskan warna merah muda kesukaan Steve. Mata roundish-almond-nya membulat penuh di wajah bulat setengah oval. Dengan hidung bulbous yang sedikit kebesaran untuk ukuran wanita Indonesia. Namun, kesan manis itu tetap melekat di wajahnya.
Kata orang, kami berempat ibarat Spice Girl kehilangan satu personel di antara pesona Robert Pattinson dan Richard Winsor. Orang mengibaratkan Renata dengan Ginger Spice, Lynn si Sporty Spice, Victoria si Scary Spice. Dan aku sendiri sangat mendambakan warna rambut putih sejak mereka menjulukiku si Baby Spice.
“Gerah!” ucapku seraya menaikkan rambut tinggi-tinggi ke atas. Aku lupa untuk membawa jepit rambut. Tepat saat itulah Steve dan Lynn memasuki kolam renang tempat kami berada.
Steve menyodorkan sesuatu ke arahku, seakan mengerti kebutuhan. Dan aku benar-benar ingin membenamkan wajah ke kolam es di Antartika setelah tahu apa yang dibawa Steve di genggamannya. Jepit rambut berwarna merah muda. Warna kesukaanku dan Steve.
“Milikmu, Lynn?” tanyaku sambil menerima uluran tangan Steve.
Lynn hanya membuang mukanya ke arah air kolam yang berwarna biru pekat, tertimpa cahaya mentari dari sela-sela atap kaca.
Sejauh mata memandang, tampak anggrek antaboga yang ditanam secara artistik di sebuah bebatuan yang merapat ke dinding. Di kanan kirinya, terdapat tangga pilin yang melingkar yang terbuat dari bebatuan kali dan pualam. Sementara di sisi seberangnya, terdapat patung katak maha besar yang terpatri di pinggir kolam. Tempat Renata menjulurkan jemari kaki ke air kolam yang dangkal semenjak lima belas menit yang lalu.
Aku menoleh ke arah Renata yang tengah mengikir kuku tangannya di atas patung katak itu saat Steve buru-buru berujar, “Aku tahu, kau akan membutuhkannya!" serunya tanpa menjawab pertanyaanku.
Victoria menahan tawanya di sela-sela gerakan R&B yang kini berubah menjadi setengah hip-hop. Sementara Lynn yang mendengus tak suka, langsung membuka jaket, menceburkan diri ke air kolam yang dingin bermandikan sinar mentari.
“Lynn!” tegurku. Itu salah satu kebiasaan Lynn yang kuanggap kurang pas. Dia tidak pernah mengganti bajunya dengan pakaian renang terlebih dahulu sebelum menceburkan diri ke kolam renang atau air laut.
Victoria dan Vino spontan menghentikan gerakan hip-hopnya secara mendadak, berlomba melepaskan pakaian yang dikenakan. Victoria telah mengenakan pakaian renang one piece di balik kaus oblong santai warna gelap. Dia tampak sedikit aneh dalam balutan baju renang berwarna merah muda berenda.
Aku hendak membuka mulut ketika Victoria buru-buru berujar, “Steve yang memilihkan untukku,” ujar Victoria sesaat sebelum menceburkan diri di air kolam yang dingin.
Victoria mungkin akan meniru tindakan konyol Lynn jika saja aku tak mengomel panjang lebar di tepi kolam renang—agar dia mengganti celana pendek butut dan kaus santai tanpa lengannya—setiap waktu.
Vino sendiri tengah berjalan mondar-mandir di tepi kolam renang. Memamerkan bentuk tubuhnya yang kini hanya terbalut celana dalam. Dulu kupikir, Vino itu seorang ekshibisionis, seseorang yang mendapatkan kepuasaan dengan memamerkan genitalian sendiri kepada orang asing yang tidak mau melihatnya.
“Come on, Babe!” ujarnya seraya mengulurkan kedua tangannya ke arahku dan Renata. Spontan, aku dan Renata membuka pakaian.
Steve mengerang di belakang demi melihatku yang hanya mengenakan bikini two pieces biru langit. Renata yang telah selesai membuka bajunya—hanya menyisakan lingerie berwarna hitam berenda—menghempaskan tubuh Vino ke air demi tak perlu menungguku.
Sementara aku, membalikkan badan, membantu melepaskan kancing kemeja biru laut bermotif bunga-bunga milik Steve. “Warnanya menyenangkanku.”