“Tumben udah mau balik? Gak makan dulu?” tanya Rein.
Ya, tidak biasa aku pergi tanpa makan terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Aku hanya memasak, untuk Rein dan Julian. Aku tidak memasak untuk diriku sendiri.
“Gue ada janji sama orang, bye, besok gue yang nutup cafe, dan lo Jul, tolong, buka cafe sehari aja.”
“Oke, I don’t mind.”
“Iya lo gak papa, karena besok sabtu, Erin gak ngantor. Udah gue jalan.”
“Have fun!” ucap Rein sambil menepuk pundakku.
Aku tidak pernah menyangkah bahwa aku menawarkan diri untuk memasak. Apa yang aku lakukan.
Sejak kapan, aku mulai membuka diri pada orang. Tapi memang salahku, ketika aku mengucapkan kata-kata kasar padanya.
Ya, daripada menghabiskan ratusan ribu di restoran, tidak ada salahnya, memasak untuknya.
Dia menyuruhku untuk mencari tentang dirinya di Google. Daisy Ansara Saka, dia merupakan penulis sekaligus penyanyi, tapi dia tidak pernah melakukan promosi untuk lagunya.
Dia hanya fokus pada tulisannya, dan ketika dia bilang dia sedang melakukan Tur, dia tidak berbohong. Dia sedang ada Tur buku ke seluruh Indonesia, dia sibuk.
Apa aku mengganggu waktu istirahatnya? Bahkan kulihat jadwal cukup penuh minggu depan.
Setidaknya aku akan memasak dengan cepat dan membiarkan istirahat.
MY Mall. Tempat ini sudah seperti rumah kedua bagi Coffee Buy, dimana Building Management selalu memesan kopi 20-30 cup sehari. Semenjak mereka tahu bahwa pemilik dari Coffee Buy adalah teman CEO Mall ini.
Hari ini dia tidak bekerja, mudah-mudahan tidak ada yang mengenalinya.
“Pam!!”
Shit. Baru aku berharap bahwa tidak ada yang mengenaliku, tapi justru sekretaris periang ini mengenali wajahku. Apa iya aku harus memakai masker supaya tidak ada mengenaliku di luar.
“Hai Jen,” sapaku sambil mencoba tersenyum.
“Tumben, mau makan disini?”
“Enggak, mau ketemu… ”
Aku berhenti bicara, aku harus bilang apa? Kenalan? Teman? Apa iya orang seterkenal dia mau berteman denganku.
Lagi pula tidak semua orang tahu nama keluarga itu, jadi kurasa dia tidak akan mungkin mau berteman denganku.
“Pacar ya?”
Intonasi Jenni benar-benar menggoda dan aku tahu dia menggodaku karena hanya aku yang terlihat tidak pernah peduli dengan perempuan.
Jika Rein selalu menyempatkan diri untuk menggoda beberapa staf, dan Julian hanya sering bicara dengan Jenni dan Elena, hanya Pamungkas atau aku yang pergi saat mengirimkan kopi dan tidak bicara banyak.
Mengantar. Meletakan. Meninggalkan invoice. Pulang.
“Enggak, sejak kapan lagian-”
“Aji!”
Kini suara periang itu terdengar, selayaknya nama yang dia punya, cerah, ceria dan… manis…
Ya, aku tahu dia tinggi, dia memakai rok ⅞ berwarna kuning, dengan sweater putih oversize, rambutnya yang tergerai dan kacamatanya yang besar itu menghiasi wajahnya.
Dia terlihat berbeda saat di cafe semalam, dan bahkan lebih berbeda lagi saat tadi pagi mereka bertemu.
Dia berjalan ke arahku dan Jenni terlihat lebih antusias dari sebelumnya. “Pamungkas… ” Jenni benar-benar menggodanya kali ini.
“Ini temen kamu?” kini Daisy berdiri sangat dekat denganku, lengannya menyentuh lenganku.
“Ah, Jen ini Daisy. Daisy ini Jenni. Jenni sekretaris Wakil CEO MY Mall.”
“Oh hai! Daisy Ansara, nice to meet you.”
“Ya hai, Jenni Renz.”
Mereka berdua bersalaman, tapi Jenni tidak melepaskan tangannya dari Daisy. Sepertinya Jenni mulai menyadari siapa orang di hadapannya.
“Jen, udah ya gue mau pergi sama Daisy bye!”
Aku buru-buru melepaskan tangan Daisy darinya. Daisy hanya mengikuti langkahku, aku tahu dia pasti bertanya-tanya tapi aku sedang tidak mau menjawabnya.
“Temen kamu lucu banget, dia beneran sekretarisnya wakil CEO?”
“Iya.”