Pamungkas tidak berbohong ketika dia butuh waktu 40 menit untuk memasak, wajahnya terkesan lain ketika dia di dapur. Tenang itu sudah pasti, tapi ketika dia memasak, ada ekspresi lain yang terpancar.
Bahagia.
Pamungkas yang selama ini terlihat datar, diam dan tenang, punya ekspresi lain di wajahnya, mungkin dia tidak menyadari hal itu tapi orang lain yang melihatnya menyadari hal itu.
Daisy terpana melihat Pamungkas yang sedang memasak, ketika setiap pagi dia melihat Pamungkas yang begitu dingin dan jarang membuka hati ataupun terlihat tersenyum, kali ini berbeda.
“Day, udah kelar,” ucapnya sambil meletakan piring di meja.
Daisy hanya melihatnya dan tidak bereaksi. Pamungkas mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Day, ayo makan, udah jam delapan.”
“Oh, iya, oke.”
Daisy berjalan ke meja makan, tanpa di sangka, Pamungkas menarik kursi untuknya dan membiarkan Daisy duduk terlebih dahulu baru dia duduk.
“Sorry ya kalau kurang enak.”
“Keliatannya sih enak, aku cobain dulu ya.”
Daisy memotong sedikit daging itu dan menguyahnya, matanya berbinar dan dia menatap Pamungkas, dia meutup mulutnya seakan tidak percaya.
“Wah, gila, ini enak banget asli. Kamu beneran koki ternyata ya.”
Pamungkas tersenyum, dia mengambil piring Daisy dan menyingkirkan piringnya sebentar. Dia memotong daging kecil-kecil supaya Daisy bisa dengan mudah makan.
“You don’t have to do that, Ji.”
“It’s ok, I like to.”
“Ji, aku boleh nanya sesuatu?”
“Boleh tanya aja, kenapa? Kamu mau tahu apa?”
“Kenapa kamu tahu pesenan aku dalam dua hari? Bahkan yang lain aja belum hafal?”
“Oh, kalau pagi, aku emang sendirian, tapi kalau sore, aku di dapur, dan kadang aku suka denger pesenan kamu, aku emang bukan Julian yang suka basa-basi. Intinya, aku tahu pesenan kamu gak pernah berubah.”
“Hmm, terus kalau soal aku berenti senyum maksudnya apa?”
Pamungkas berhenti memotong steak, dia melihat Daisy yang sedang minum wine sambil menunggunya. “Maaf.”
“Jangan minta maaf, aku gak masalah soal itu, aku cuma penasaran, kenapa?”
Pamungkas menghela nafasnya sebentar. “Sebenarnya, aku berpikir kalau kamu terlalu banyak tersenyum, you know, like someone act that everything is okay but you’re not.”
“Do I look like that?”
“I don’t know,” Pamungkas mengembalikan piring itu ke hadapan Daisy. Dia lalu tersenyum. “Tapi intinya, aku cuma berharap kamu bisa senyum memang untuk sesuatu yang membuat kamu bahagia, bukan karena untuk menyenangkan orang lain.”
“Thank you, kamu juga makan.”
Mereka berdua makan dengan tenang, dengan bertukar pikiran dan membicarakan hal yang tidak masuk akal.
“Ah, what should I do, Ji? Your food is so delicious.”
“Tell me if you want it again. I’ll cook for you.”
Pamungkas mengambil piring bekas makan mereka dan menaruhnya di tempat cuci piring. Mereka berdua pindah ke sofa sambil membawa botol wine itu.
“Kamu besok udah pergi lagi ya?” tanya Pamungkas.
Daisy mengangguk. “Begitulah, sebenernya capek. Turnya gak akan selesai sampai 2 bulan lagi.”
“Kali ini seminggu lagi?”
“Ya,” Daisy meminum lagi wine itu. “Aku pergi ke Semarang, Jogja, Bali minggu ini.”
“I know.”
“How do you know?”
“Kamu kan nyuruh aku buat search kamu di Google. Dan aku juga liat Instagram kamu.”