Aku duduk di meja makan, menatap laki-laki yang baru aku kenal memasak di dalam apartemenku. Aku mulai berpikir, jika hubungan kami berkembang cukup pesat seperti ini apa yang akan terjadi dalam waktu seminggu ke depan.
Entah keraguan atau ketakutan, aku mulai berpikir jika hubungan ini tidak berhasil apa yang akan terjadi.
Pamungkas memang tidak terlihat seperti orang yang ingin untuk menjalin sebuah hubungan, dia mendekatiku karena merasa bersalah akan ucapannya yang kasar.
Dan aku hanya mengikuti permainannya. Aku mengikuti apa yang dia lakukan sebelumnya.
Pamungkas tampan? Jelas. Tingginya yang mungkin 185cm, memiliki rahang yang jelas, badannya pun terbentuk sempurna, tegap dengan otot yang mengelilingi tubuhnya.
Jika aku bisa sedikit berhayal, dia pasti akan dengan mudah mengangkat tubuhku, atau menahan tengkukku supaya dia mudah menciumku.
Gila. Ya, untuk apa aku memikirkan itu.
Rambutnya yang selalu tertata rapi, dengan potongan wolfcut yang cukup populer belakangan ini, jadi rambutnya tetap telihat pendek walau sebenarnya cukup panjang.
Dan jika dia memasak, dia akan mengikat rambut bagian atasnya, aku tidak menyadari itu sebelumnya, mau bagaimanapun kondisinya, dia selalu dalam kondisi prima.
Terlebih lagi, adam-apple yang ada lehernya, ketika dia menelan makanan itu akan bergerak sempurna.
Wow. I need to stop to think like that.
Mungkinkah aku bisa tidur nyenyak tanpa obat hari ini? Ketika melihatnya saja sudah cukup membuatku tenang, dan merasa bahwa hari ini jauh lebih baik dari hari sebelumnya.
“Stop staring at me,” suaranya menyadarkanku.
Aku melihatnya meletakan mangkuk. “Kamu gak makan?”
“Aku udah makan tadi sebelum closingan. Kamu makan aja.”
“Thank you.”
Aku makan sambil menatapnya yang membersihkan dapurku. Aku tahu apartemenku cukup berantakan, karena memang, aku tidak sering berada di sini.
“Setidaknya jangan tinggalin piring kosong kalau kamu mau keluar kota.”
Benarkan, dia mengkritisi dapurku, apa semua koki begini? Tapi memang itu aku akui.
“Iya aku tahu tentang itu, is it turn you down when you saw my kitchen was a mess?”
Wow, kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku, ada apa ini? Situasi macam apa ini, apa hormonal?
“What do you mean about turning me down?”
“I don’t know. Just asking.”
“Just eat then. How is it?”
Aku kembali mengambil satu suap dan menatapnya. “What else do I have to tell you? It’s good, your food is always good. I even empty the bowl.”
Dia tersenyum lalu mengambil mangkuk itu, aku berjalan ke arah kulkas yang berada di dekat tempat cuci piring, karena kondisinya yang cukup sempit mau tidak mau aku menahan badannya untuk bisa lewat.
“Sorry,” ucapku sambil menahan lengannya sedikit.
Betapa terkejutnya aku ketika aku merasakan bahwa lengannya begitu keras. Otonya benar-benar kuat.
“Day,” panggilnya.
“Oh, kenapa?”