“Hai, Luna,” sapa perempuan dengan nada rendah namun tetap elegan sembari dia melepas kacamata hitamnya.
“Hai, Jane long time no see.”
Perempuan yang di panggil Jane itu menatap Luna lalu tersenyum. “I miss the air.”
“Your brother, wanna meet him?”
“Not now. Biarkan saja dia bermain dengan tenang sampai akhir bulan ini, kakek bagaimana?”
“Dokter tidak bisa memastikan, kenapa?”
“Just asking.”
Jane berjalan ke arah mobil van yang terparkir di pinggir, namun dia berhenti lalu menatap Luna. “Hey, you mentioned that he's my brother, but let's not forget that he's your brother too. Luna Parma Terra.”
“Gue gak pernah lupa, Jane Barbara Terra.”
Kedua perempuan ini merupakan anggota keluarga Terra sekali kakak dari Pamungkas dan orang yang di maksud oleh Rein tadi pagi adalah Jane, kakak tertua dari tiga bersaudara itu.
Jane Barbara Terra, berumur 37 tahun dia menggantikan posisi kakeknya sementara dia masih terbaring sakit, dia bertugas untuk mengurus semua kontrak perusahaan mereka yang ada di luar negeri.
Luna Parma Terra, merupakan anak kedua dari ketiga bersaudara itu, berumur 35 tahun dia bertugas untuk mengawasi pekerjaan mereka yang ada di dalam negeri, selagi menunggu anak laki-laki satunya di keluarga itu untuk pulang.
“Kak,” Luna memecah keheningan diantara mereka berdua, walau mereka terlihat saling menjatuhkan satu sama lain, namun itu hanya untuk pekerjaan, dan ketika mereka tidak bekerja, semua akan berbeda lagi.
“Kenapa?” Jane tetap menatap keluar jendela dia menghiraukan adiknya yang sedang bicara.
“Lo yakin biarin Pamungkas main sampai akhir bulan?”
“It seems that he is aware his time is up. Have you already contacted Rein?”
Luna terdiam. “Gue hubungin Rein untuk ngasih tahu Pamungkas untuk pulang.”
“Dan gue udah nanya ke dia kapan pulang, gue juga sengaja balik cuma pake business class. Lo pikir untuk apa?”
“I don’t like this.”
“Whether we like it or not, we don't have a choice in what we desire, as our lives are predetermined before birth.”
“It sucks to be in this family.”
“Some believe that we are fortunate to have a good family and certain privileges.”
***
‘Yet here I am.’
Begitulah ucapan Pamungkas dalam hati. Dia tahu bahwa waktunya telah habis, atau mungkin hampir habis. Sejak kakaknya mengirim pesan dia tahu bahwa mereka berdua mungkin akan melakukan sesuatu yang mungkin tidak bisa dia pikirkan.
Melihat foto dimana wanita itu sudah sampai di Indonesia, dia hanya menimbang satu hal, apa yang terjadi di dalam rumah dan di dalam perusahaan.
Karena tidak mungkin, wanita itu pulang ke Indonesia dan meninggalkan pekerjaannya di Amerika.